Arak tak sekadar minuman, tapi juga bagian dari kebudayaan.
Gubernur Bali I Wayan Koster mengeluarkan aturan baru yang melegalkan minuman berfermentasi khas Bali, seperti tuak, arak, dan brem, pada awal bulan ini. Namun, aturan tersebut menimbulkan kontroversi karena hal itu berarti melegalkan minuman beralkohol seperti arak dan tuak.
Koster menjelaskan aturan ini penting untuk melindungi salah satu aset budaya lokal serta untuk mengembangkan potensi perekonomian rakyat dari industri minuman tersebut.
Tidak sedikit yang menyayangkan keputusan ini karena khawatir terhadap dampak negatif minuman beralkohol tersebut pada kesehatan. Mereka juga khawatir legalisasi ini dapat meningkatkan tingkat kriminalitas karena banyak kasus perkelahian dan pembunuhan diawali dari aktivitas minuman beralkohol. Meskipun belum ada satu pun penelitian yang bisa membuktikan hubungan antara tindakan kekerasan dan minuman alkohol pada masyarakat Bali.
Saya yang sudah meneliti sektor pertanian dan pariwisata di Bali serta dampaknya pada kehidupan sosial selama 23 tahun berpendapat bahwa masyarakat Bali memang membutuhkan legalisasi arak dan tuak.
Selain karena fakta di masyarakat yang menunjukkan adanya peran kunci minuman arak dan tuak dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali, beberapa penelitian terhadap sistem penjualan minuman tersebut memang mengindikasikan bahwa legalisasi ini akan menguntungkan masyarakat lokal.
Bagian Peradaban
Produksi arak dan tuak di Bali berkembang sebagai bagian peradaban umat Hindu.
Tuak adalah minuman yang airnya disadap dari bonggol buah kelapa atau pohon enau. Tuak yang baru disadap rasanya manis dan tidak beralkohol. Ketika didiamkan, tuak akan berfermentasi dan mengandung alkohol.
Arak berasal dari tuak yang disuling. Kadar alkoholnya bervariasi hingga 40 persen, tergantung lamanya proses penyulingan.
Tuak dan arak menjadi bagian penting dalam pelaksanaan upacara keagamaan Buta Yadnya, yaitu upacara yang bertujuan menjaga keseimbangan alam agar tidak mengganggu aktivitas manusia.
Dalam setiap upacara tersebut ada aktivitas menumpahkan arak dan tuak secara bersamaan ke tanah yang disebut metetabuh.
Upacara ini bisa dilakukan dalam skala kecil dan skala besar. Dalam skala kecil, upacara tersebut dilaksanakan di pekarangan warga setiap saat jika dipandang perlu. Sedangkan dalam skala besar, upacara Buta Yadnya dilaksanakan sehari sebelum Hari Raya Nyepi di perempatan besar di masing-masing ibu kota kabupaten di Bali.
Arak juga memiliki fungsi sosial yakni membangun kebersamaan dan memperkuat ikatan kekerabatan di masyarakat.
Arak sering digunakan sebagai simbol dimulainya hubungan antarbesan. Ketika dua keluarga calon mempelai bertemu, ayah dari mempelai laki-laki dan perempuan bersulang dan minum arak bersama untuk menandai keluarga yang bersangkutan sudah menjadi kerabat dekat.
Selain itu, sejumlah desa di Bali memang memiliki tradisi minum arak dan tuak yang diadakan bersamaan dengan pelaksanaan upacara agama di lingkungan keluarga, klan, maupun desa. Misalnya, tradisi masyarakat minum arak mengiringi upacara metatah (potong gigi) dan pernikahan di Kabupaten Karangasem, Bali.
Pemerintah daerah selama ini memang melegalkan penggunaan minuman arak untuk keperluan upacara agama. Yang tidak diperbolehkan adalah untuk keperluan komersial.
Namun, dengan adanya aturan baru, penggunaan arak untuk keperluan komersial diperbolehkan dengan melibatkan mitra lokal berbentuk koperasi. Hal tersebut penting mengingat pemasaran arak yang bersifat ilegal saat ini merugikan petani kecil.
Usaha Kecil
Sejumlah penelitian menunjukkan produsen arak umumnya bermukim di kawasan pertanian miskin. Mereka kebanyakan adalah petani yang membudidayakan pohon kelapa dan enau yang digunakan sebagai bahan baku tuak dan arak. Petani-petani tersebut berada di kawasan Desa Merita di Kabupaten Karangasem dan Desa Bondalem di Kabupaten Buleleng.
Penelitian pada 2015 menunjukkan penghasilan pembuat arak di Desa Bondalem hanya Rp 1,25 juta per bulan.
Dalam penelitian tersebut digambarkan seorang produsen hanya mampu menghasilkan arak 5 liter per hari. Jika satu bulan sama dengan 30 hari, maka produksi arak di satu produsen sebanyak 150 liter per bulan. Jika dirata-rata, maka petani mendapat harga arak Rp9.000 per liter.
Padahal harga di pasaran bisa mencapai Rp 70.000 per liter. Petani mendapat harga rendah dari pengepul arak yang selalu menentukan harga serendah mungkin. Alasannya, mereka harus menjualnya di pasar gelap dan kucing-kucingan dengan penegak hukum.
Lewat aturan baru, petani diharapkan dapat memiliki daya tawar lebih tinggi untuk mendapatkan harga pantas untuk produk minumannya. Petani juga bisa mendapatkan keuntungan lebih jika mereka bisa menjual produknya secara langsung pada konsumen baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri secara legal.
Dan pada akhirnya, petani yang tinggal di daerah miskin bisa meningkatkan kondisi perekonomian mereka.
Terbuka Lebar
Legalisasi arak akan memberikan spirit tumbuhnya ekonomi kreatif di pedesaan. Industri arak menjadi bukti bahwa tumbuhnya kreativitas dalam menyokong peningkatan nilai tambah produk pertanian. Selama ini produk pertanian hanya dijual dalam bentuk mentah sehingga harganya rendah.
Sepanjang adanya pembinaan dan pendampingan agar produksi arak memenuhi standar kesehatan dan dikemas secara profesional, arak bisa saja menjadi komoditas bisnis pariwisata yang baik.
Kementerian Perindustri pernah melaporkan ekspor arak Bali ke Jepang, Jerman, dan Australia pada 2011. Hal ini menunjukkan adanya prospek pengembangan industri arak Bali. Dengan adanya regulasi baru, peluang kerja dan bisnis bagi petani penghasil tuak dan arak semakin terbuka lebar.
Semoga saja mereka kian sejahtera. [b]
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali dan disalin dari The Conversation. Dimuat di sini seizin penulisnya untuk penyebarluasan informasi.