
Kemolekan Bali hanya tampak di permukaan. Apabila membedah Bali lebih dalam, Bali memiliki beragam persoalan yang belum terselesaikan. Persoalan itu menyangkut berbagai aspek, entah itu ekonomi, sosial, lingkungan maupun kebudayaan. Segala aspek itu, ada suatu hal yang menjadi benang merahnya yaitu desa adat.
Desa adat merupakan entitas yang diakui oleh negara. Masyarakat desa adat di Bali (krama), memiliki otonomi khusus dalam mengelola masyarakat dan wilayah desa adatnya. Namun, otonomi tersebut kerap menimbulkan gesekan-gesekan antara satu pihak dengan pihak lainnya maupun antar kelompok lainnya. Gesekan itulah melahirkan konflik atau sengketa adat di Bali.
Apakah konflik adat dan sengketa adat itu sama? Apabila mengacu pada KBBI, konflik diartikan sebagai percekcokan; perselisihan maupun pertentangan. Sedangkan sengketa diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran; perbantahan. Arti lainnya dari sengketa yaitu pertikaian; perselisihan; perkara (dalam pengadilan).
Melihat makna dua kata tersebut, konflik memiliki arti lebih luas dibandingkan dengan sengketa. Sengketa dapat diartikan sebagai bagian dari konflik. Begitu pula dengan sengketa adat yang merupakan bagian dari konflik adat itu sendiri.
Kondisi konflik adat dan sengketa adat di Bali menunjukkan terus berdatangan. Berdasarkan tulisan I Wayan Windia yang bertajuk Menyelesaikan Konflik Adat, dalam kurun waktu 1999 hingga 2005 terdapat 112 konflik adat di Bali.
Melalui tulisannya Windia mengelompokkannya berdasarkan para pihak yang terlibat, yaitu 5 macam. Pertama, konflik yang terjadi antar desa adat. Kedua konflik desa adat dengan warga desa adat. Ketiga, konflik desa adat dengan lembaga lain. Keempat, konflik desa adat dengan pemerintah. Terakhir atau kelima, konflik desa adat dengan pendatang.
Namun, apabila mengamati dinamika konflik adat di Bali para pihak yang terlibat semakin beragam. Apapun persoalannya, percampuran tangah berbagai pihak justru memperkeruh konflik yang terjadi. Semisal, konflik adat yang semula melibatkan desa adat dengan warga desa adat justru bertambah lantaran adanya pihak lain, seperti desa adat bersama investor berkonflik dengan warga desa dengan melibatkan pejabat.
Semakin beragam pihak yang terlibat dalam konflik adat menciptakan atmosfer panas dalam kehidupan sehari-hari. Perlahan konflik yang menggerogoti tubuh desa adat berbuah pecah belah persaudaraan dalam lingkaran daerah adat tersebut.
Para pihak yang belakangan terlibat dalam konflik adat tanpa koridor peranan yang jelas dengan narasi provokatif. Menghasilkan arus lingkaran konflik tak berkesudahan. Konflik adat di Bali dapat berlangsung selama berbulan-bulan, bertahun-tahun bahkan tanpa adanya batas waktu yang diketahui. Penawaran penyelesaian konflik pun tak jarang berat sebelah atau tidak berkeadilan.
Konflik tak terlepas dari adanya kepentingan yang berbeda antara dua belah pihak yang berkonflik, ini tak jauh berbeda dengan sengketa. Persoalannya kian rumit karena bias kepentingan entah untuk publik atau kelompok atau bahkan untuk pihak ‘besar’.
Apakah konflik maupun sengketa adat dapat dihindari? Jawabannya tidak. Meniadakan konflik adalah kemustahilan. Paul Bohannan dalam bukunya Law and Warfare dapat dijadikan sebagai acuan.
Bohannan menyatakan bahwa:
“We shall never banish conflict. Rather, conflict must be controlled and must be utilized profitably in order to create more and better cultural means of living and working together. In short, conflict, whether it be marital or political, can, if it is adequately institutionalized, be used as the growing point of culture and of peace”.
Konflik semestinya dimaknai sebagai proses alami dalam mencapai kedamaian dalam kehidupan. Lebih lanjut, Bohannan juga menyatakan:
“We are coming to know that conflict is not something to be “stopped”, for that is merely wishful thinking of blindest sort. Rather, society and individuals should be equipped to deal with it and profit from it. Conflict is useful. In fact, society is impossible without conflict. But society is worse than impossible without control of conflict.”
Terbentuknya masyarakat mustahil tanpa adanya konflik. Namun, konflik tetaplah membutuhkan kontrol agar terkendali. Bali mengenal Majelis Desa Adat (MDA) Bali, yang semestinya berperan sebagai penengah atas konflik yang terjadi. Bagaimana peranan MDA belakangan ini? Entahlah, beberapa konflik yang terjadi di Bali masih belum dapat ditengahi.
Konflik maupun sengketa adalah dinamika yang terjadi dalam interaksi sosial bermasyarakat. Namun, ketika konflik terus bergulir atas dasar kepentingan pihak-pihak tertentu, disitulah peranan ‘ratu adil’ dibutuhkan. Masihkah ada di pulau dewata?
Misalnya saat ini terjadi sengketa desa adat di Bugbug, Karangasem. Dipicu dari berbagai lapisan konflik mulai dari pemilihan pimpinan adat kemudian berujung pembangunan resor pariwisata di wilayahnya. Siapa yang berperan sebagai ratu adil?
Saat ini utk sementara ratu adilnya adalah advokat Erwin Siregar dan Hotman Paris, krn solidaritas komunal adat di Bali sepertinya mati suri oleh sipirit kapitalisme yg hadir lewat pariwisata.