Matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya. Pukul setengah 6 pagi saya sudah di kamar mandi, bukan cari inspirasi tapi saya harus bergegas. Setelan kebaya saya kenakan, mama bilang kebaya harus putih, kamen bebas. Namun, kebaya putih saya terbatas, tepatnya punya satu saja. Mengantisipasi itu, saya sudah siap membeli kebaya putih baru.
Setengah tujuh saya ke berangkat ke Besakih, kali ini bapak absen karena bekerja. Tiba di Besakih saya tiba pukul 08.15. Ada banyak pura dalam satu kawasan Pura Besakih. Persembahyangan pertama saya lakukan di Pura Dalem Puri Prajapati. Belum menginjakkan kaki ke dalam pura, saya lihat pemandangan tak enak. Sampah berserakan hingga keluar dari tempatnya. Ada pula sampah yang diletakkan begitu saja tanpa wadah.
Saya membatin, kenapa sampah berserakan begitu saja? Saya mulai mengamati, kalau bahasa metode penelitian skripsi dahulu, mengobservasi. Mata saya melihat laku sesama saya, manusia. Saya perhatikan makin lama, kaki ini terus melangkah sembari melihat dengan saksama yang nakal membuang sampah sembarangan. Namun, hingga adik saya menghampiri untuk mengajak sembahyang, saya belum juga menemukan keanehan.
Seusai sembahyang, saya lihat satu keluarga yang juga sehabis sembahyang di Pura Dalem Puri Prajapati. Mata saya membelalak, tapi mulut saya tak bisa berkata atau mengingatkan. Mereka meninggalkan sisa canang sehabis sembahyang dan tas plastiknya begitu saja. Dengan enteng mereka melanjutkan persembahyangan ke area pura lainnya.
Saya termenung sampai Mangku mengingatkan saya untuk nunas tirta. Apakah saya pelaku juga karena tidak mengingatkan mereka? Namun, keraguan saya jauh lebih besar. Saya ogah jadi viral di media sosial yang dikit-dikit main rekam karena mengingatkan orang agar buang sampah pada tempatnya.
Pikiran saya tidak fokus, saya coba cek beberapa sudut pura, dimana-mana disediakan tempat sampah. Memang sih tidak semua tong sampah terpilah tapi setidaknya bawa dulu lah sampah kalian.
Pindah ke area pura lainnya, mata saya makin enek. Kantong plastik kuning dan putih ditinggalkan begitu saja. Padahal tong sampah di depan mata tersedia. Saya merasa Tri Hita Karana hanya jadi subjek hafalan di sekolah dasar, supaya nilai agama Hindu aman. Nyatanya, tidak ada kesadaran yang benar-benar tumbuh.
Kondisi di dalam juga tak kalah miris, tidak hanya soal sampah, saat memasuki areal Pura Penataran Agung hanya satu pintu yang terbuka. Padahal jika diperkirakan dengan MapChecking, jumlah pemedek pada 11 April 2024 sangat padat, sekitar lebih dari 300 orang.
Tidak hanya sampah plastik, canang dan kwangen yang digunakan untuk sembahyang juga ditinggalkan begitu saja. Sehabis sembahyang dan prosesi kadewan-dewan tega nian begitu. Sebelum ke Penataran Agung, saya ke Pura Pedharman. Pedharman saya tidak begitu ramai seperti Pedharman Pasek, mereka harus berdesak-desakan untuk tiba di area itu. Pedharman saya Arya Wang Bang Sidemen, ada seorang teman yang bergurau barangkali nenek moyang saya adalah penjudi kelas kakap yang tobat. Saya hanya tertawa, tapi kalau mengetahui kisah Ida Manik Angkeran pasti tidak akan mengelak.
Sepi dan tak ada sampah terpantau. Saya mulai bertanya-tanya, apakah jumlah orang dalam satu kawasan mempengaruhi sampah yang dihasilkan. Oke, pasti ada tapi kenapa?
Pencarian Singkat, Masalah Sosial dan Psikologi
Sesuai sembahyang saya pulang dan membaca beberapa hasil riset yang mungkin potensial menjawab pertanyaan di kepala nan sesak ini. Ada tulisan menarik yang diterbitkan oleh Allegheny Front bertajuk The Psychology of Littering atau dalam bahasa Indonesianya, Psikologi Sampah. Dari tulisan yang terbit tahun 2016 itu, saya menyimpulkan bahwa pola pikir para pembuang sampah penting untuk ditelaah.
Mengapa orang membuang sampah sembarangan? Seringkali orang membuang sampah sembarangan hanya karena tidak ada tempat sampah di dekatnya. Daripada merasa tidak nyaman membawa sampah, masyarakat memutuskan lebih mudah untuk meninggalkannya.
Itu adalah salah satu terjemahan kutipan menarik dari paparan tulisan tersebut.
Lebih lanjut, Robert Cialdini, seorang profesor psikologi di Arizona State University, mengatakan bahwa keputusan untuk membuang sampah sembarangan sebagian besar didasarkan pada isyarat lingkungan – atau apa yang dilihat orang-orang di sekitar mereka.
“Semuanya tergantung pada norma, dan Anda mendapatkan isyarat tersebut dari lingkungan,” kata Cialdini dikutip dari The Atlantic. “Orang membuang sampah sembarangan karena alasan kenyamanan. Mereka tidak menginginkan hal ini. Pertanyaan krusialnya adalah mengapa mereka tidak membuang sampah sembarangan, padahal yang paling mudah adalah membuang sampah sembarangan. Mengapa orang mau menyimpan sampah?
Sikap seseorang terhadap lingkungan memang membawa perbedaan, namun apa yang dianggap sebagai norma adalah kuncinya,” lanjut Cialdini.
Jadi dapat disimpulkan, keputusan untuk membuang sampah sembarangan didasarkan pada tindakan orang lain, baik dan buruk. Jika suatu area terdapat banyak sampah, kemungkinan besar orang akan membuang sampah sembarangan. Sedangkan semakin bersih suatu area, semakin kecil kemungkinan orang akan mengganggu lingkungan tersebut dengan membuang sampah sembarangan.
Masih ada beberapa tanggung jawab pribadi yang terlibat dalam membuang sampah sembarangan. Menurut laporan yang dilakukan oleh Keep America Beautiful, orang lebih cenderung membuang sampah sembarangan ketika mereka “tidak merasa memiliki taman, jalan setapak, pantai, dan ruang publik lainnya”.
Sebaliknya, rasa memiliki ini ditemukan di sekitar rumah dan lingkungan masyarakat. Sebuah studi yang dilakukan oleh inisiatif Trash Free Maryland menemukan bahwa banyak orang, ketika menghadapi suatu kawasan yang dipenuhi sampah, merasa kecewa dengan keadaan mereka dan berharap kawasan tersebut lebih bersih.
Mereka juga merasakan apa yang disebut dengan rasa sia-sia dalam memungut sampah, karena banyaknya sampah. Alhasil sampah baru akan segera berhamburan setelah sampah lama terambil.
Hal-hal lain seperti rasa tak bersalah membuang sampah sembarangan karena ada petugas yang bekerja adalah pemikiran keliru yang mendarah daging. Secanggih apapun teknologinya, persoalan sampah tak akan tertangani maksimal apabila kesadaran diri masih digantung gengsi.
Saya juga banyak khilafnya, daya konsumsi saya masih tinggi. Ini juga berdampak pada sampah yang saya hasilkan. Namun, kesadaran memiliki dan bertanggung jawab atas sampah sendiri itu hal mendasar yang harus dipupuk dan disuburkan.