Lebih dari 50 orang menghadiri Histeria Pewarta Warga 2023, sebuah perhelatan adu ide dari desa-desa yang dihelat di Dharma Negara Alaya (DNA) Denpasar, 22 Desember 2023.
Mereka mengapresiasi 10 presenter yang mempresentasikan masalah dan solusi desanya menghadapi perubahan di Bali. Tema ide sangat beragam mulai dari dampak lingkungan, sosial-budaya, ekowisata, dan pertanian.
Sejumlah masalah dan perubahan yang dibagi di Histeria di antaranya terancamnya garam tradisional dari Desa Les, Tejakula, Buleleng. Dampak pengerukan bukit untuk material pusat kebudayaan Bali di Klungkung, perubahan ruang dan sosial di Batubulan, dan penanganan Lembaga Perkreditan Desa yang bermasalah.
Selain itu ada pemaparan tentang siasat menghidupkan desa untuk mencegah makin banyak anak muda yang meninggalkan kampungnya. Ada juga ketakutan hilangnya gula tradisional Dawan karena makin sedikit pembuatnya, serta upaya revitalisasi pengetahuan bambu di Desa Tigawasa, Buleleng.
Histeria Pewarta Warga adalah bagian dari kegiatan berkelanjutan pengembangan desa melalui anak-anak mudanya. Dimulai dari program rutin Kelas Jurnalisme Warga (KJW) BaleBengong sampai merintis tur khas Melali ke Desa.
Ni Ketut Juniantari, Koordinator Histeria mengatakan kegiatan ini dilaksanakan untuk mengapresiasi anak-anak muda di desa-desa di Bali yang sudah mengikuti sejumlah kegiatan selama ini. Apresiasi sebelumnya Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) sudah jadi skala nasional karena diikuti pewarta dan pengelola media-media warga dari berbagai daerah di Indonesia. “Perlu ada ruang baru untuk mengapresiasi pewarta warga di desa-desa. Adu ide ini mendorong dibukanya masalah-masalah sekaligus mencari tawaran solusinya dari sudut pandang anak muda,” urai Juniantari.
Muncullah ide Histeria ini. Salah satu niat untuk mendorong kepercayaan diri untuk tampil dan presentasi ide di depan publik juga. Pitching ide, mengenalkan ide atau inovasimu pada orang lain.
Nyoman Nadiana dari Desa Les membagi keresahannya ancaman hilangnya petani garam tradisional di desanya yang tersisa kurang dari 10 ladang garam. “Tantangan petani garam dan masyarakat pesisir ini seperti mimpi buruk di tengah malam. Awalnya puluhan ladang garam menjadi kebanggaan kami,” kata salah satu pengelola ladang garam di pesisir Buleleng ini.
Hal yang membuatnya bangga karena sangat sedikit desa yang membuat dan memiliki ladang garam tradisional, Sedangkan masalah yang membuatnya makin khawatir adalalah ancaman abrasi dan alih fungsi lahan di pesisir jadi akomodasi wisata membuat pemilik ladang menjual lahannya.
Menurutnya ladang garam tradisional merupakan aset dalam community tourism, namun kini terancam hilang jika tak segera diproteksi.
Sementara itu Kadek Sudantara dari Desa Tembok, Buleleng risau dengan lemahnya pengawasan LPD di desa adatnya, Ngis. Sebagai penggerak pemuda desa, ia berharap majelis desa pekraman melakukan berbagai lankah strategis untuk mengawasi dan menindak LPD yang bermasalah.
Kerisauan Sudantara beralasan. Karena sebelumnya pernah ada pemetaan berbagai berita oleh alumni Sekolah antikorupsi Bali pada 2016-2020 ada 19 pengurus LPD yang jadi tersangka korupsi di Bali. Pelaku korupsi juga banyak dari aktor baru dari desa adat, yaitu bendesa adat/kepala desa adat dan kelian pura dalem. Dari 50 kasus yang dipantau, 98 orang menjadi tersangka. Jumlah nilai kerugian kasus korupsi yang melingkupi nilai kerugian negara, nilai suap/gratifikasi, dan nilai pungutan liar lebih dari Rp 63 miliar.
Untuk mencegah kasus-kasus seperti ini muncul lagi, ia berharap pemerintah memiliki mekanisme hukum jika LPD bermasalah, ada pelatihan tim pengawas LPD dari MDA untuk menilai laporan keuangan, dan perarem jika LPD bangkrut untuk menjamin dana warga.
Masalah dan solusi lain dipaparkan I Dewa Gede Darma Permana dari Desa Akah. “Kenapa anak desa ogah balik ke desa?” herannya. Ia dan teman-temannya merancang kampanye Bala Usada akronim dari berdaya dan melangkah bersama (pemerintah dan anak muda). Misalnya merancang kegiatan kreatif berkelanjutan di desa.
Tantangan terkait adat dan budaya dipaparkan Ni Nyoman Praba Putri Mahadewi, remaja dari Banjar Kekeran, Desa Penatahan, Kecamatan Penebel, Tabanan. Ia membagi cerita dari banjarnya tentang Ngaben satu hari mulai dari nyiramang, ngeringkes, bakar, ngayut, ngerorasin, sampai ngelinggihang. Menurutnya dengan konsep lebih ringkas dan sederhana, filosofi dan makna ritual tetap terjaga, sehingga anak muda tidak merasa terbeban dengan adat istiadat.
Presenteri ide lain adalah Osila dari Desa Besan, Klungkung untuk membuat kelompok pengerajin gula Dawan agar tradisi gula ini lestari di tengah berbagai tantangannya. Seperti gula oplosan dan menurunnya petani pemanjat kelapa.
I Gede Guntur Juniarta dari Desa Tigawasa membuat konsep bamboo experiences di desanya dengan workshop dan edukasi pengetahuan bambu. Ada juga Putu Mada Layana Sita dan Jyoti dengan presentasi ide bagaimana merawat ekowisata berkelanjutan Hidden Canyon Desa Guwang.
Dari Bali barat ada gagasan I Wayan Suweca tentang dampak kemarau panjang pada pertanian di desa lokasi eks transmigran TimTim yang sedang mengakses lahan tani. Kemarau makin panjang, air susah, petani gundah. Sejak awal April kemarau makin menyulitkan petani karena harus beli air, cabai, dan sayur tak mau tumbuh.
Berikutnya Ni Komang Ari Budiani membagi pengalamannya melihat pengerukan bukit untuk proyek pusat kebudayaan di Gunaksa. Ia risau akan dampak pengerukan sejumlah bukit sejak 2022. “Dampak negatif pengerukan bukit harus tersosialisasikan terhadap masyarakat dan pemerintah memfasilitasi upaya-upaya penanganan lingkungan jangka panjang,” kata anak muda Desa Pikat ini.
Salah satu ide terpilih oleh penonton adalah presentasi Ni Komang Rahma Tri Pratiwi yang membahas dilema desa budaya dan pengelolaan tanah ayahan desa di Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar. Dua gagasan pilihan lain adalah Guntur dari Desa Tigawasa dan Dewa dari Desa Akah.
Histeria Pewarta Warga kali ini adalah kali kedua dan akan dilaksanakan secara rutin setiap tahun untuk mendorong warga bersuara dan menyampaikan gagasannya pada masalah sekitar. Sebagai penutup, biduan dari Tegallalang, Satya Bhuana dan rekannya mengajak menyanyikan berbagai lagu tentang perubahan-perubahan sosial dan lingkungan di Bali dan gending rare.