Mereka selalu tersenyum (meski tidak semuanya) dalam setiap foto diri yang dipasang di hampir setiap sudut dan pinggir jalan.
Foto-foto diri tersebut menjamur di masa-masa menjelang pemilihan umum. Senyum yang menyimpan sejuta makna. Namun yang pasti senyum mereka tentulah senyum harapan agar mereka dipilih. Para caleg, tidak hanya memendam harapan untuk dipilih. Dibalik senyum mereka juga tersembunyi hasrat. Tidak mudah mengetahui dengan pasti, apa hasrat dibalik senyum para caleg.
Dalam tulisan ini saya akan mencoba mengungkap hasrat terdalam di balik senyum para caleg melalui kajian terhadap baliho, banner dan spanduk yang sebar para caleg. Saya akan menggunakan analisa Semiotika, yang berakar pada ilmu linguistik.
Para pakar semiotika meyakini bahwa bahasa dan tanda bersifat arbriter (mana suka), tergantung dari pemaknaan yang diberikan oleh yang memaknai. Maka kehadiran sebuah tanda akan dapat dimaknai berdasarkan berbagai hal yang melingkupi kehadiran bahasa dan tanda. Bahkan sebuah tanda, bermakna tertntu bagi sebuah kebudayaan yang tidak sama dengan kebudayaan yang lainnya.
Karena itulah dalam perjalanannya semiotika tidak hanya membahas mengenai bahasa, melainkan banyak dipergunakan pada kajian-kajian untuk membaca tanda. Roland Barthes adalah penekun semiotika yang menerapkan untuk membaca bahkan membongkar makna-makna tersembunyi dibalik tanda.
Analisis semiotika merupakan pengembangan dari ilmu linguistik dengan menggunakan struktur pembacaan secara sintagmatik dan paradigmatik.
Dari pembacaan secara sintagmatik, makna denotatif senyum caleg akan bisa dipahami. Sementara dengan struktur paradigmatik, dengan memasukan nilai-nilai kultural, sosio ekonomi dan psikologi dimana sebuah tanda tercipta, kita akan dapat membaca apa yang tersembunyi dibalik senyum para caleg. Dalam semiotika, makna dalam struktur paradigmatik adalah makna konotatif.
Dalam membaca makna senyum seorang caleg secara sintagmatik dapat dikaitkan dengan penanda lainnya yang terdapat dalam baliho atau spanduk para caleg, seperti tulisan (frasa atau kalimat), angka dan gambar. Frasa yang paling umum dalam peraga kampanye tentu saja adalah “cobloslah” atau “pilihlah”. Kalau kalimat, biasanya berupa sebuah nama dan janji-janji atau apa yang akan dilakukan kalau terpilih. Sementara angka yang dicantumkan adalah angka berupa nomer urut caleg dan parpolnya. Gambar yang umum dipakai dalam peraga kampanye adalah gambar parpol dan gambar paku.
Berdasarkan analisis dalam struktur sintagmatik, berbagai penanda lainnya yang ada di dalam peraga kampanye memberi makna bahwa senyum dari seorang caleg adalah sebuah harapan agar para pemilih mencoblos nama atau nomer mereka ketika pemilu 9 April nanti.
Secara denotatif, senyum para caleg adalah senyum yang memohon dengan penuh pengharapan kepada siapa saja yang melihat alat peraga kampanyenya untuk memilih mereka. Kata “coblos” atau “pilih saja” yang dipertegas dengan tanda paku menghujam pada nomer urut sang caleg, menunjukkan rangkaian harapan dan permohonan tersebut.
Senyum mereka tidak merepresentasikan sebuah kebahagiaan dan ketulusan, tetapi adalah tanda dari adanya pengharapan agar dipilih.
Lalu bagaimana dengan makna konotatif, makna paling dalam, yang tersembunyi (disembunyikan?) dibalik senyum manis para caleg?. Untuk mengetahuinya, maka kita perlu memahami kultur, struktur dan sistem politik demokrasi yang dibangun di negeri bernama Indonesia ini.
Hasrat Korupsi
Di negara-negara yang sistem demokrasinya sudah mapan, perebutan tempat bagi anggota lembaga legislatif dilakukan oleh mereka yang telah mapan secara ekonomi. Mereka adalah para pengusaha yang memiliki keinginan mendedikasikan dirinya bagi perjuangan ideologi yang diyakini bisa membawa kebaikan bagi banyak orang.
Jika bukan pengusaha, maka mereka adalah yang memiliki modal politik yang cukup kuat karena telah menggembleng diri di partai politik. Dengan sistem politik yang sudah modern, mereka bisa digolongkan sebagai kader parpol yang memang benar-benar telah melalui proses berpolitik yang memadai.
Demokrasi di Indonesia menampilkan wajah yang berbeda. Menjadi anggota legislatif di Indonesia selama ini bukanlah dianggap sarana memperjuangkan ideologi, melainkan lebih dianggap sebagai kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan untuk menyambung hidup atau meningkatkan kekayaannya. Tidak mengherankan kemudian banyak para caleg yang terkesan muncul tiba-tiba (instan) dan berasal dari berbagai latar profesi yang sebelumnya mengenal politikpun tidak.
Di sisi lain, dengan kondisi ekonomi, karakter budaya dan tingkat pendidikan rakyat yang masih tertinggal, demokrasi di Indonesia sampai saat ini belumlah mampu dimaknai secara substantif. Pemilu sebagai perwujudan demokrasi tidak lebih hanyalah sebuah pesta bagi pemilih.
Layaknya sebuah pesta, akan muncul anggapan bahwa pemilu itu sesuatu yang berlangsung singkat. Pemilu hanyalah proses selama lima menit dibilik suara untuk mencoblos nama atau gambar parpol yang dianggap tidak memiliki implikasi apapun dalam jangka panjang.
Celakanya, pasca reformasi kran demokrasi yang terbuka lebar melahirkan banyak parpol dan memungkinkan ada banyak caleg yang bersaing. Maka berlakulah hukum pasar, di mana penawaran yang berlimpah, akan menjatuhkan harga. Artinya dengan ada banyak parpol dan banyak caleg, suara rakyat menjadi punya nilai ekonomis. Siapa caleg/parpol yang mau membeli suara, kepada dialah suara akan dijual.
Akibatnya jelas, tentu saja ongkos politik di Indonesia menjadi sangat mahal. Demokrasi pun lebih banyak ditentukan dari seberapa kepemilikan modal materi yang berani dibelanjakan atau lebih dikenal dengan demokrasi “wani piro”. Money politics, meski bukan menjadi satu-satunya faktor penentu, tetap merupakan kekuatan yang menentukan.
Maka, demi perjuangan mendapatkan pekerjaan dan kesempatan menjadi lebih kaya dengan terpilih menjadi anggota legislatif, banyak caleg yang tidak segan-segan merogoh uang dalam jumlah yang diluar batas kemampuannya. Bagi yang memiliki modal besar berupa asset tentu hanya perlu menggunakannya saja. Tetapi mereka yang tidak memiliki modal cukup pastilah akan memaksa diri dengan meminjam atau berhutang.
Tidak heran kalau kemudian ada banyak caleg yang pasca pemilu dan gagal menjadi manusia yang kurang waras. Bahkan jika kurang kuat secara bathin sangat mungkin memilih bunuh diri.
Dengan realitas demokrasi tersebut, maka senyum para caleg sesungguhnya bukan sekadar senyum mengharapkan agar dipilih, tetapi juga sarana untuk menyembunyikan betapa pahitnya perjuangan para caleg dalam demokrasi “wani piro”.
Selanjutnya, dalam senyum sang caleg juga tersembunyi hasrat yang besar untuk mengembalikan ongkos politik yang telah mereka keluarkan jika nanti sudah terpilih. Bahkan tidak tertutup kemungkinan setelah modal kembali, kekayaannya pun kemudian diupayakan terus bertambah. Itu artinya korupsi menjadi pilihan yang logis sebab jika hanya mengandalkan dari gaji dan tunjangan, untuk balik modal saja masih sulit.
Para pemilih sebaiknya benar-benar mewaspadai seulas senyum para caleg yang diumbar dalam baliho, banner dan spanduk. Jangan sampai terpincut senyum manis, karena bisa jadi tu hanyalah senyum publik bukan senyum otentik. Jika senyum otentik mencerminkan kejujuran dan ketulusan, maka senyum publik para caleg adalah senyum yang menyembunyikan banyak hasrat, selain hasrat berkuasa, bisa jadi hasrat untuk korupsi. [b]