“Jujur kami sudah putus asa karena waktu yang mepet..”
Nyoman Putri Pradievy Syanthi (16) berujar dengan nada rendah. Sembari menaruh tangan di pangkuannya, gadis berparas cantik ini menceritakan sepenggal demi sepenggal kisahnya di Denpasar, Senin lalu.
Terduduk berselujur kaki di gazebo SMAN 3 Denpasar, Utik, panggilan akrabnya, menuturkan kendala terbesar yang dihadapinya adalah deadline. “Melalui proses revisi serasa udah seribu kali lamanya,” ucapnya.
Utik adalah seorang Ketua Desk Buku Madyapadma Journalistic Park. Kini ia sedang disibukkan mengurus buku-buku yang akan diluncurkan pada puncak acara Apresiasi Sineas dan Jurnalis (Presslist) 7 tahun ini.
“Pas Januari 2016 lalu, aku cuma ngurus satu buku. Tapi sekarang aku ngurus empat buku sekaligus dengan tempo yang sesingkat-singkatnya,” kata Ucik sembari menirukan nada pembacaan teks Proklamasi pada mata pelajaran Sejarah.
Ah, memang untuk menerbitkan empat buku dalam durasi pendek itu tidak mudah. Terlebih lagi bagi kalangan siswa SMA sepertinya.
“Kami tetap pertahanin usaha penerbitan buku ini karena memang sudah dari dulu, MP (Madyapadma – red) menerbitkan karya anggota-anggotanya. Udah kayak perusahaan buku yang berdiri sendiri, jadi setidaknya harus jalan terus,” pungkas Utik. Mata sayunya menampilkan raut lelah, kala itu.
Fatima Gita Elhasni (17), salah satu tim penulis buku Madyapadma dalam rangka Presslist 7 mengemukakan bahwa dirinya memerlukan waktu kurang lebih dua tahun untuk menyusun buku. Maklum, dia ‘solois’, menulis sendiri bukunya sebagai hasil elaborasi pemikirannya terhadap isu-isu yang dianggapnya menarik.
“Jadi bukuku itu merupakan kumpulan artikel, tajuk, dan segala unek-unekku. Topiknya banyak deh pokoknya,” cerita Ima, panggilan akrabnya, sembari ‘membuang’ pandang, mencoba mengingat sesuatu.
Tak hanya sampai di situ, gadis berkacamata ini pun mengaku menyelipkan tulisan dengan topik yang dirasanya cukup sensitif di dalam buku solonya. “Ya, jadi ada satu tulisanku itu bercerita tentang mengkritisi banget sebuah fasilitas pemerintah. Awalnya takut, karena terlalu blak-blakan. Tapi, aku mencoba ngelawan ketakutan batinku aja sih,” ucapnya sembari memukul tembok di sampingnya, tanda kesal.
“Duh, jangan kebanyakan! Spoiler aja,” celetuk Ima.
Ya, hanya bermodalkan kekuatan tekad dan gaya khas Madyapadma yang haus akan kritik, dirinya terus maju. Memperjuangkan tulisan tersebut agar tidak jadi bahan editan sang editor bukunya. Layaknya sebuah surat wasiat, dirinya persembahkan buku yang ditulisnya kepada rekan-rekan di ekstrakurikuler Madyapadma Journalistic Park SMAN 3 Denpasar.
“Terutama guru pembimbingku, Ananta Wijaya dan A.A Sri Parmika, S.pd. Mereka yang memotivasi sejak awal aku mulai menulis dan tidak menyerah walau dikejar deadline,” kenang Ima dengan nada merendah.
Ah, Ima harus kuat. Toh, motto “Mestakung: Semesta Mendukung!” masih digenggamnya erat-erat. “Kalau emang pikirannya positif dari awal, pasti berhasil di akhirnya,” ucap Ima menutup sesi wawancara saat itu. [b]