Jejak kaki raksasa menyambut tiap tamu di Pura Dhang Kahyangan Rsi.
Pura ini salah satu yang tertua di Desa Nyambu, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali. Sepasang jejak kaki berwarna keemasan degan ukuran dua kali kaki orang dewasa itu tergambar di batu padas berwarna kehitaman.
Warga desa setempat menjadikan batu itu sebagai tugu penyambut di pintu masuk kawasan tengah pura (mandala madya).
“Ini adalah jejak kaki Danghyang Nirartha, penyebar agama Hindu di Bali, ketika Beliau mampir ke desa kami,” Ida Bagus Sudiantara menjelaskan kepada wisatawan yang berkunjung ke Desa Nyambu akhir Maret lalu.
Lokasi Desa Nyambu berada di perbatasan antara Kabupaten Tabanan dan Badung. Bisa dicek di peta berikut.
Sudiantara sehari-hari bekerja sebagai petani. Di waktu luang, ketika tidak bertani, dia juga menjadi buruh bangunan. Namun, sejak tahun lalu, dia juga belajar menjadi local guide (pemandu lokal) di Desa Nyambu. Akhir Maret lalu dia untuk pertama kali dia mempraktikkan pengetahuan dan kemampuan barunya sebagai pemandu wisata.
Sebagai pemandu wisata yang baru belajar sejak tahun lalu, Sudiantara cukup bisa menjelaskan cerita di balik tempat-tempat wisata, terutama sekitar 67 pura di desanya.
Menurut Sudiantara, Pura Dhang Kahyangan termasuk salah satu pura yang dibangun Danghyang Nirartha. Bapak dua anak ini menuturkan, Danghyang Nirartha yang juga dikenal dengan nama Danghyang Dwijendra adalah penyebar agama Hindu di Bali. Pada abad ke-16, pendeta yang juga dikenal dengan julukan Pedanda Shakti Wawu Rauh itu melakukan perjalanan meninggalkan Jawa dan menyebarkan Hindu di Bali.
Desa Nyambu termasuk salah satu desa yang disinggahi Danghyang Nirartha ketika menempuh perjalanan dari Tanah Lot menuju Desa Mas di Gianyar. “Karena itu, Beliau membangun pura juga di sini,” ujar Sudiantara.
Jejak kaki emas raksasa di batu padas di Pura Rsi menjadi bukti jejak perjalanan tokoh penyebar Hindu itu di Bali. Di balik jejak kami emas itu, di bagian belakang batu padas tersebut, juga terdapat tiga warna yaitu hijau, putih, dan merah. Menurut Sudiantara, tiga warna itu mewakili tiga keturunan (klan) yang ikut membangun pura tersebut yaitu Manuaba, Mas, dan Keniten.
Hingga saat ini, keturunan tiga klan tersebut masih sembahyang di pura yang dikenal juga dengan nama Pura Rsi Mundeh tersebut.
Pura Rsi termasuk pura yang dibuat sebagai bagian dari ekowisata di Desa Nyambu sejak tahun lalu. Dengan total 67 pura, desa seluas 379 km persegi ini memiliki potensi sebagai tempat wisata sejarah pengembangan agama Hindu di Bali. Potensi itu pula yang dikembangkan warga desa melalui paket ekowisata.
Geliat wisata di Desa Nyambu sendiri bermula dari kerja sama British Council dan Yayasan Wisnu, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif menggagas dan menjalankan program ekowisata di Bali. Kedua lembaga ini didukung PT Langgeng Kreasi Jaya Prima, produsen minuman beralkohol dengan merek internasional, melalui program corporate social responsibility (CSR).
Pada 5 Februari 2015 PT Langgeng Kreasi Jaya Prima dan Wakil Bupati Tabanan telah menandatangani letter of intent (LoI). Keduanya sepakat mengembangkan ekowisata di Desa Nyambu dan melibatkan warga. Dalam ekowisata, keterlibatan warga desa dalam perencanaan dan pelaksanaan menjadi hal utama. Ekowisata juga tidak mengizinkan adanya turis dalam jumlah massal.
Karena itu pula, jumlah turis di Desa Nyambu baru dibuka untuk kalangan terbatas.
Yayasan Wisnu yang sudah 20 tahun berpengalaman mendampingi desa-desa di Bali dalam pengembangan ekowisata, aktif mendampingi warga Desa Nyambu sejak tahun lalu. Mereka melatih warga dalam perencanaan ekowisata termasuk pemetaan lokasi-lokasi yang menarik untuk menjadi tempat wisata.
Dewi Darmini, termasuk salah satu warga yang belajar menjadi pemandu ekowisata di Desa Nyambu selain Sudiantara. Menurut Darmini, secara umum ada tiga paket ekowisata yang dikembangkan di desanya yaitu Susur Sungai (sepanjang 1,5 km), Paket Budaya (1,4 km), dan Paket Alam (3,5 km). Ada pula paket sepeda di area persawahan sepanjang 7 km.
Informasi lebih lanjut tentang masing-masing paket dan apa saja objeknya ada di infografis berikut:
“Tamu bisa memilih paket sesuai minat masing-masing,” kata Darmini. Umumnya tiap paket bisa selesai dalam waktu sehari atau malah setengah hari.
Apa saja pilihan asyik jalan-jalan di Desa Nyambu bisa dibaca di lampiran berikut.
“Dinding Berbicara”
Di antara paket-paket ekowisata tersebut, Paket Budaya bisa jadi pilihan menarik karena Desa Nyambu memiliki keunikan tersendiri. Di satu desa saja ada 67 pura. Padahal, rata-rata desa di Bali “hanya” memiliki kurang dari 10 pura.
Banyaknya pura tersebut, menurut Sudiantara, tak bisa dilepaskan dari sejarah Desa Nyambu sebagai salah satu desa tua di Bali. Di desa ini masih ada beberapa orang Bali mula, orang Bali yang sudah ada sebelum zaman migrasi keturunan Majapahit akibat Islamisasi di Jawa.
Dari 67 pura di Desa Nyambu, ada 23 pura yang dijadikan sebagai bagian dari Paket Budaya. Selain Pura Rsi Mundeh, ada juga Pura Puseh, Pura Wisesa, Pura Penataran, Pura Taman Beji, dan lain-lain.
Pada umumnya pura tersebut sudah dibangun sejak abad ke-16. Karena itu, bahan-bahan bangunan di pura tersebut terlihat tua. Pura Wisesa yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari Pura Rsi Mundeh, contohnya, dibangun pada saat yang sama dengan pembangunan Pura Rsi Mundeh.
“Dulu pura ini menjadi tempat Danghyang Nirartha mengawasi pembangunan Pura Rsi,” kata Sudiantara. Pura Wisesa ini berada di belakang Pura Rsi dengan sawah di sekitarnya.
Bagi warga desa, bahan-bahan bangunan pura ataupun ornamen seperti ukiran yang berumur ratusan tahun itu memang sengaja dibiarkan apa adanya. Tujuannya agar kesan unik, tua, dan taksu pada pura masih terjaga.
Dari Pura Wisesa, pengunjung bisa menuju Pura Penataran yang memiliki “dinding berbicara”. Istilah “dinding berbicara” berasal dari dinding-dinding di bagian tengah (madya mandala) Pura Penataran. Dinding di bagian depan ini memiliki ukiran-ukiran dengan cerita dari dunia binatang (fabel) kontemporer.
Sudiantara, yang berpakaian adat Bali madya, menceritakan satu per satu fabel dan nilai moral di baliknya. Ada cerita tentang Cangak, burung bangau yang menipu ikan namun kemudian mati dicapit Yuyu, kepiting yang menyadari penipuan si burung. Ada pula cerita semut melawan gajah. “Cerita-cerita di dinding memiliki pesan moral yang relevan hingga saat ini,” kata Sudiantara.
Objek menarik lain dari Paket Budaya di Desa Nyambu adalah pohon manusia yang oleh warga setempat disebut kayu jeleme. Pohon yang menurut Sudiantara berusia ratusan tahun ini berada di hutan kecil bagian dari pura (teba pura) tempat tinggal makhluk-makhluk gaib yang disebut perencang atau buta kala.
Pohon dengan diameter pelukan dua orang dewasa itu memiliki sebagian akar di atas tanah. Getahnya merah seperti darah manusia sehingga disebut kayu jelema. Bagian bawah pohon diselimuti kain poleng, seperti umumnya pohon yang dikeramatkan oleh umat Hindu Bali.
Sudiantara menceritakan, pohon itu bisa menjadi obat bagi orang yang sakit, termasuk lumpuh sekalipun. Orang-orang yang sudah putus asa berobat di dokter modern bisa menggunakan kayu ataupun getah kayu tersebut dengan bantuan pemangku agar bisa sembuh. Namun, tidak sembarang orang boleh memotong sebagian kulit kayu itu atau getahnya. “Hanya pemangku di sini yang boleh melakukan,” ujarnya.
Karena dipercaya bisa menyembuhkan sakit itu, maha kayu jelema sangat dihormati warga desa, termasuk Sudiantara dan para tamu yang berkunjung ke sana.
Bagian terakhir dari perjalanan di Desa Nyambu adalah kuliner dan belajar membuat ketupat. Selain bisa menikmati sajian nasi merah ataupun sate lilit, tiap pengunjung juga bisa belajar membuat ketupat. Bahan terbuat dari janur itu bisa dibawa pulang sebagai kenang-kenangan tentang sejarah dan keramahan Desa Nyambu, seperti juga Sudiantara. [b]
saya tertarik berkunjung, berapa biaya untuk tiap paket wisatanya ya?