“Bali Menunggu Stunami AIDS?,” demikian pernyataan Prof Dr. Mangku Karmaya, M Repro (Bali Post, 2005).
Peringatan akademisi Universitas Udayana terhadap keseriusan ancaman AIDS di Bali ini kini nampak semakin nyata. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus HIV dan AIDS di Bali terus meroket tajam.
Apabila tahun 2004 kasus HIV dan AIDS di Bali berjumlah 590 kasus, tahun 2006 tercatat 1.253 kasus, Maret 2010 tercatat 3.390 kasus, maka sampai Juli 2011 telah menjadi 4.631, terdiri dari 2.277 AIDS dan 2.354 HIV. Kasus HIV dan AIDS di Bali tersebut ditularkan melalui heteroseksual 3.397 kasus (73,35 persen), pecandu narkoba suntik 774 kasus (16,71), homo/biseksual 259 kasus (5,59), dari ibu ke anak yang dilahirkan 114 kasus (2,46), dan tidak diketahui 87 kasus (1,88).
Sampai akhir tahun 2011, proses penularan HIV melalui pemakaian narkoba suntik di Bali sudah berhasil ditekan. Namun, proses penularan HIV melalui heteroseksual nampak semakin terbuka, meluas dan semakin intens sampai ke wilayah pedesaan. Prevalensi penularan via heteroseksual 3 persen pada tahun 2003 telah meningkat menjadi 20 persen pada tahun 2009, dan 25 persen pada tahun 2011.
Pola penularan HIV di Bali saat ini masih terkonsentrasi pada populasi kunci. Misalnya, pekerja seks (PS) dan pelanggannya serta pemakai narkoba suntik. Namun, proses penularan HIV di Bali juga mulai bergeser pada masyarakat umum (general population), termasuk ibu-ibu rumah tangga serta bayi yang dilahirkannya.
Semakin banyak krama desa yang meninggal dunia akibat AIDS sebagaimana diberitakan media massa cetak akhir-akhir ini. Kecenderungan ke arah populasi umum ini antara lain dibuktikan dengan dua buah studi terbatas yang hasilnya adalah 0,5 persen – 1,5 persen di kalangan ibu-ibu yang melahirkan terinfeksi HIV (Wirawan, 2011).
Maraknya praktik seksual berisiko, termasuk yang dilakukan sebagian ”cewek kafe atau warung remang-remang” yang menjamur di hampir seluruh wilayah desa adat, turut mempermudah proses penyebaran HIV di Bali. Pengembangan program pemakaian kondom 100 persen (bagi pelaku seks berisiko) dan terlaksananya pengobatan penyakit infeksi menular seksaul (IMS) yang memadai menjadi kebutuhan mendesak untuk menekan laju penularan HIV melalui transmisi seksual ini.
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) tingkat Provinsi Bali dan kabupaten/kota se-Bali terus meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Upaya ini baik melalui program pencegahan HIV maupun program dukungan, perawatan dan pengobatan (care, support and treatment/CST) terhadap orang yang terinfeksi HIV.
Peningkatan kasus HIV dan AIDS bukanlah cermin dari kegagalan program. Sebaliknya, hal itu terjadi akibat kian gencarnya pelaksanaan tes HIV sukarela (voluntery counselling and testing/VCT) yang berhasil mengungkap kasus-kasus HIV dan AIDS baru. ”Bungkahan gunung es kasus AIDS” di Bali yang pada tahun 2006 terestimasi sebanyak 4000 kini semakin mencair berkat VCT yang semakin intens.
Reduksi
Upaya penanggulangan AIDS di Bali selama ini masih menemui berbagai kendala. Kendala paling mendasar adalah masih kuatnya stigma (cap buruk) yang terkait dengan AIDS dan korbannya. Akibat stigma, salah persepsi dan minimnya pemahaman tentang “masalah AIDS”, seseorang menjadi kurang atau bahkan tidak peduli terhadap epidemi ini. Cap buruk yang menyertai wabah AIDS juga telah menumbuhkan sikap dan perilaku diskriminasi yang memarginalkan orang terinfeksi HIV dan keluarganya.
Tindakan diskriminasi terhadap korban AIDS ternyata bukan hanya dilakukan oleh orang awam terhadap korban AIDS. Sebagian pemuka masyarakat bahkan petugas kesehatan yang seharusnya berkewajiban melakukan tugas pengobatan pun melakukannya. Ada sekelompok masyarakat yang masih alergi terhadap korban AIDS. Hal ini karena AIDS masih dikaitkan dengan persoalan moral dan kutukan.
Anggapan ini terjadi karena adanya pengaburan esensi masalah AIDS yang masih sering dikaitkan dengan nilai moral dan agama.
HIV dan AIDS perlu ditempatkan sebagai masalah sosial kesehatan, bukan sebagai masalah moral yang cenderung merancukan masalah HIV dan AIDS itu sendiri. Persepsi salah tentang AIDS termasuk AIDS sebagai penyakit kutukan Tuhan, AIDS penyakit pekerja seks (PS) dan pemakai narkoba suntik (penasun) perlu duluruskan. HIV hanya menular melalui perilaku seks berisiko (multipatner tanpa kondom), berbagi jarum suntik narkoba tak steril, dan pemakaian alat medis yang tercemar HIV.
Segenap pihak, termasuk, pendidik, pemuka masyarakat, mahasiswa, siswa, dan kader desa peduli AIDS (KDPA), penjangkau LSM, jurnalis, aktivis AIDS di perusahaan, pelaku bisnis pariwisata, konselor VCT dan tenaga medis lainnya bisa saling bekerja sama secara sinergis untuk mereduksi stigma AIDS, menekan laju penularan HIV dan menangani korbannya (ODHA). Jaringan kerjasama multipihak di Bali yang sudah tergalang selama ini perlu dimantapkan.
Krama Peduli AIDS
Meluasnya penularan HIV sampai ke wilayah pedesaan di Bali menuntut upaya penanggulanganya secara tepat. Pemerintah daerah kabupaten/kota didukung lintas sektor, dan LSM nampak semakin gencar dalam menanggulangi AIDS. Kuatnya komitmen pemda kabupaten/kota ini antara lain tercermin dengan penerbitan Perda Penanggulangan AIDS dan tersedianya alokasi APBD setempat untuk menunjang program penanggulangan AIDS.
Komitmen pemerintah tersebut tak akan banyak berarti apabila tidak didukung oleh partisipasi masyarakat. Untuk itu, pelibatan krama desa yang dimotori Kader Desa Peduli AIDS (KDPA) menjadi semakin penting untuk menghadapi “serangan AIDS” di Bali. Membentengi krama desa dari ancaman HIV dan AIDS merupakan bagian dari upaya menjaga dan meningkatkan kesejahteraan krama desa yang telah dirintis oleh Empu Kuturan sejak abad X silam.
Empu Kuturan telah membangun desa adat demi terwujudnya kesejahteraa masyarakat Bali. Pertama, adanya konsep Tri Hita Karana yang menjunjung tinggi keserasian hubungan antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan sesamanya (pawongan), dan manusia dengan lingkungannya (palemahan).
Kedua, semua orang yang tergabung dalam suatu desa pakraman adalah bersaudara, yang kemudian dikenal dengan istilah “krama desa”. Setiap krama berhak dijaga kehormatan dan kesejahteraan lahir batinnya. Peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi, misalnya, telah dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi ekonomi pertanian subak yang selanjutnya kini diperkuat dengan adanya Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di setiap desa pakraman.
Krama desa di Bali perlu dilindungi dari ancaman HIV dan AIDS. Upaya membentengi krama dari ancaman AIDS merupakan bagian dari upaya menjaga keharmonisan pawongan dan palemahan. Dengan dukungan Pemda dan masyarakat, kerjasama Majelis Madya Desa Pakraman dan KPA Kabupaten/kota setempat bisa segera diwujudkan untuk mengantisipasi masalah AIDS di daerahnya. Program desa adat (pakraman) perlu lebih diorientasikan ke aspek pawongan, di samping aspek palemahan dan parahyangan yang mendukung kehidupan adat-agama yang sangat baik selama ini.
Bencana tsunami AIDS bakal menjadi kenyataan apabila penularan HIV yang kian merengsek ke wilayah pedesaan di Bali saat ini tidak mendapatkan respon yang selayaknya. Sudah saatnya krama desa peduli AIDS menjadi subjek untuk melakukan pencegahan, yakni membentengi diri dan keluarganya dari ancaman AIDS serta peduli terhadap upaya perawatan, pengobatan dan dukungan (CST) terhadap orang yang (telanjur) terinfeksi HIV. [b]
persis. tulisan ini mendeskripsikan dengan amat jelas ttg situasi terkini HIV dan AIDS di bali. dari semula hanya pd populasi kunci, seperti IDU, gay, PSK, dan semacamnya, HIV dan AIDS makin menular pd ibu rumah tangga dan anak2.
parahnya, ketika epidemi ini makin menjalar ke populasi umum, pada saat yg sama justru ada penolakan dari warga. HIV dan AIDS masih dianggap penyakit kotor dan karena itu mereka yg meninggal pun harus dibuang.
menyedihkan..
mas anton…ini dayu, bole tanya data photo dan almt subjek dlm photo…kebetulan dayu diajak teman u/buat acara charity…tapi msh blm nemu topik…bisa kasih info? siapa tau kita bs bantu..suksma
Selama penanggulangan tidak dilakukan dg cara-cara yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi. Norma, moral dan agama tdk ada kaitannya secara langsung dg penularan HIV.
(Praktek) pelacuran, ‘gigilo’, dll. menjadi bagian dari penyebaran HIV, sehingga perlu ada program yg konikret. Mengapa Pemprov Bali tdk melihat keberhasilan Thailand menuruntkan insiden infeksi HIV baru pada laki2?