Pagi cukup tenang di sebuah perumahan di daerah Panjer, Denpasar selatan pada akhir Agustus 2020 lalu. Rumah-rumah terlihat berpenghuni walaupun saat itu hari kerja. Bagi sebagian warga perkotaan, pandemi COVID-19 membuat hari kerja tiada terasa beda dengan akhir pekan. Pekerja yang biasa berjibaku di kantor kini menghabiskan lebih banyak waktu di rumah.
Begitu pula anak-anak sekolah, seperti Keenan. Bersama ayahnya, murid berusia tujuh tahun itu duduk bersebelahan di bale bengong, menyaksikan layar ponsel dengan saksama. Mereka menyimak sebuah video di YouTube menampilkan gerakan lincah seorang pemuda berbaju hijau neon.
Keenan kemudian berjalan ke depan rumah bersama kakeknya. Dia memungut beberapa butir batu dan mengumpulkannya dalam genggaman. Perlahan ia meletakkan batu-batu tersebut di satu titik di terasnya. Dengan lincah ia lalu berlari memindahkan batu tersebut satu per satu. Dari sisi satu ke yang lain, persis apa yang ditampilkan dalam video yang ia saksikan. Sang ayah pun membantu mengarahkannya sambil merekam gerakan tersebut menggunakan ponsel.
Pagi itu, siswa kelas 2 di sekolah dasar swasta di kawasan Denpasar Selatan tersebut sedang mengerjakan tugas mata pelajaran olahraga. Dengan wajah semringah, ia melihat sang ayah membantu mengirimkan video tersebut ke gurunya melalui surat elektronik. Satu tugas rampung sudah, tetapi dua tugas lain masih menunggu untuk dikerjakan. Keenan, dengan tetap didampingi oleh sang ayah, berusaha mengerjakan tugas selanjutnya.
Ayah Keenan, Indra (35), adalah seorang karyawan bagian penjualan dan pemasaran (sales and marketing) sebuah hotel di area Nusa Dua. Sebagai pekerja pariwisata, dia turut terkena dampak pandemi COVID-19 sejak Januari 2020. “Okupansi kami sudah benar-benar drop di Maret sehingga kami saat itu diminta mengambil cuti, karena pengeluaran terbesar di hotel adalah gaji karyawan,” ujar Indra. Ia dan karyawan lain pun dipaksa mengambil cuti hingga melebihi 12 hari. Jumlah maksimum hari cuti yang bisa diambil dalam satu tahun.
Kebijakan perusahaan mengharuskannya merelakan sebagian gaji untuk dipotong sesuai hari kerja. “Gaji pokok Mei itu sudah dipotong 25 persen, lalu Juni dan seterusnya sudah dipotong 50 persen,” lanjutnya. Pemasukan untuk gaji para karyawan di hotel memang mengandalkan biaya layanan (service charge) dari tamu. Sejak April, hotel tempatnya bekerja tidak lagi menerima biaya tersebut karena ketiadaan tamu.
Kini, Indra hanya bekerja sebelas hari dalam satu bulan. Setiap pekan, ia hanya bekerja dua-tiga hari. Padahal, biasanya ia bekerja Senin hingga Jumat.
Hal serupa juga dialami sang istri, Shanti (31), pegawai tetap di sebuah diler mobil di Denpasar. Ia juga terpaksa menaati kebijakan perusahaan yang mengharuskannya bekerja tidak sebanyak biasanya. Sebelum pandemi, Shanti bekerja Senin hingga Sabtu, termasuk tanggal-tanggal merah. Akan tetapi, kini ia hanya bekerja selama tiga hari dalam seminggu.
Pengurangan hari kerja memaksa Indra dan Shanti untuk berada di rumah lebih sering dari biasanya. Mereka kemudian bisa menemani Keenan belajar dari rumah dan mengamati tumbuh kembang Percy (2), anak bungsu mereka, dengan lebih cermat. Sebelum pandemi, sekolah dan pekerjaan sama-sama membatasi ruang dan waktu pertemuan mereka. Kini mereka bisa berbagi ruang dan waktu tersebut lebih banyak, bersama-sama.