Untuk itu, ia bersama para pegiat kesehatan mental di Bali menggagas dan membuat Love Inside Suicide Awareness (LISA) Help Line, sebuah layanan 24 jam berbasis komunikasi daring dan luring yang bisa diakses sejak 6 April 2021 oleh semua kalangan. Tanpa memandang jenis kelamin, agama, kewarganegaraan, orientasi seksual, maupun pandangan politik, secara gotong royong, menyeluruh dan bersifat insklusif.
Lucky Marmer pegiat Yayasan Bali Bersama Bisa menyampaikan, sejak dibukanya layanan darurat dan konseling L.I.S.A Helpline pada 6 April 2021 hingga 16 Juni 2021, terdapat 100 service users atau pengguna yang telah menghubungi layanan kesehatan mental ini, baik melalui WhatsApp (WA) Chat, WA Call, maupun telepon biasa. Terhitung 15 orang yang melakukan konseling dengan profesional maupun support buddy L.I.S.A, baik secara tatap muka mau pun secara online.
“Domisili mereka 33% dari Bali, sisanya dari luar Bali seperti DKI Jakarta, Manado, Yogyakarta, dan wilayah Jawa Tengah lainnya, Aceh, Surabaya dan daerah Jawa Timur lainnya serta Bandung. Dilihat dari segi usia, rata-rata 14 hingga 47 tahun, dominan usia 20-an,” ujar psikolog klinik swasta terkenal di Denpasar ini.
Ia menambahkan, warga masyarakat yang menghubungi L.I.S.A sebagaian besar memiliki pemikiran bunuh diri atau mengakhiri hidup, sebanyak 47 % dari total keseluruhan service users.
“Kasus umum yang mereka hadapi misalnya masalah dengan pasangan atau putus pacar, kesulitan finansial seperti memiliki utang, bullying atau perundunganm dan riwayat gangguan mental seperti depresi, bipolar disorder, gangguan kecemasan. Termasuk masalah KDRT dalam keluarga,” katanya.
Lucky menncontohkan satu kasus yang dialami Tia, bukan nama sebenarnya, seorang ibu berusia 30-an menghubungi L.I.S.A pada pukul 01.00 dini hari. Selama 10 menit ibu tersebut menangis dan mengatakan “Saya capek, saya capek” beberapa kali kepada support buddy yang bertugas.
Dalam kondisi demikian support buddy menuntun Tia untuk lebih rileks dan meneruskan jika ingin menangis, serta memberitahu bahwa support buddy bersedia mendengarkan jika ia sudah siap untuk bercerita.
Berselang beberapa menit, Tia terdengar lebih tenang dan dapat bercerita. Rasa lelah yang dimilikinya timbul karena adanya konflik dengan suami dan sikap suami yang overprotektif terhadap dirinya. Beberapa tahun yang lalu, Tia pernah melakukan upaya bunuh diri karena merasa sudah tidak mampu menahan beban emosionalnya, tetapi suaminya melihat dan memintanya untuk tidak melakukannya.
Pada saat menelepon ke layanan L.I.S.A, ia mengatakan bahwa ia sudah menyiapkan selendang untuk mengakhiri hidup. Tetapi, pikiran tersebut terhenti ketika ia selalu mengingat anaknya.
Akhirnya ibu tersebut memilih untuk menelepon ke layanan L.I.SA. Setelah satu jam Tia bercerita kepada support buddy tentang apa yang ia rasakan dan alami, ia mengaku merasa lebih tenang karena ada yang mendengarkannya.
Tia menyampaikan, dia akan berusaha melakukan komunikasi kepada suaminya, juga membuat daftar hal-hal yang coba akan ia lakukan agar rumah tangganya bisa lebih baik lagi. Support buddy juga memintanya untuk menyimpan nomor L.I.S.A Helpline untuk dapat kapan pun menghubungi kembali.
Apa yang dikerjakan oleh Tia, Dokter Rai, dkk merupakan daya lenting. Bagaimana komunitas mampu membantu pemerintah, bergerak secara mandiri mengatasi persoalan. Tak hanya dialami oleh diri sendiri sebagai pegiat kesehatan mental yang notabene terdampak pandemi, namun juga berusaha membantu anggota keluarga bahkan warga lain yang juga memiliki beban yang sama.
Program ini kolaborasi dari 11 LSM dan komunitas yakni Rumah BISAbilitas (beragam jenis disabilitas), Komunitas Seni Tuna Netra Teratai (Kostra), Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia simpul Bali, Komunitas Bipolar Bali, Movement of Recovery (yayasan gerakan pemulihan korban narkoba di Bali), yayasan Paramacitha (penanggulanan HIV/AIDS), Yayasan GAYa Dewata (LGBT), Love and Strong Women (komunitas wanita penyintas kanker), Gender, Sexuality and Human Right (GSHR) Udayana, Youthable (komunitas remaja), dan Komunitas Teman Baik (kesehatan jiwa).
Secara teknis, warga yang mengalami masalah dapat menelepon atau mengirim pesan ke nomor 08113855472 (Bahasa Indonesia) dan 08113815472 (English).
“Dilayani oleh pekerja sosial yang telah memperoleh pelatihan baik dalam bidang kesehatan mental atau ilmu yang lain. Jika dirasa perlu mendapat pertolongan dari professional kesehatan jiwa seperti psikolog atau psikiater,” pungkas Rai.
“Dilayani oleh pekerja sosial yang telah memperoleh pelatihan baik dalam bidang kesehatan mental atau ilmu yang lain. Jika dirasa perlu mendapat pertolongan dari professional kesehatan jiwa seperti psikolog atau psikiater,” pungkas Rai.
Ada hasil penelitian I Wayan Darsana dan Ni Luh Putu Suariyani berjudul Trend Karakteristik Demografi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali (2013-2018) yang dimuat pada Archive Community Health Juni 2020, yang diterbitkan oleh Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang mencakup topik yang luas terkait isu kesehatan masyarakat.
Data Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007, 2013, dan 2018 menunjukan gangguan jiwa dengan diagnosa skizofrenia di Indonesia memiliki prevalensi fluktuatif. Misalnya 2007 prevalensinya sebesar 4.1 per mil, pada 2013 turun menjadi 1.7 per mil, dan 2018 berlipat menjadi 7 per mil.
Provinsi Bali salah satu wilayah dengan prevalensi ganguan jiwa tinggi menunjukan pada 2018 menunjukkan 11 per mil, lebih tinggi dari prevalensi nasional sebesar 4 per mil.
Data RS Jiwa di Bangli pada 2013-2018, menunjukkan total kasus yang dilayani sebesar 4737, rinciannya skizofrenia 3032, dan lainnya 1705 kasus.
Isu kesehatan mental yang mulai ramai dibicarakan di Indonesia dan negara lain di masa pandemi mengisyaratkan bahwa perlunya layanan kesehatan mental yang lebih terintegrasi. Tak hanya oleh komunitas tapi juga negara, dalam hal ini pemerintah sebagai para pemangku kebijakan, baik di pusat maupun daerah. Agar akses makin mudah, dan penanganan lebih cepat.