Kapan turis akan datang lagi di Bali? Jika kenormalan baru mensyaratkan sejumlah hal seperti penurunan kurva dan kasus positif baru, kondisi di Bali penambahan kasus cenderung fluktuatif. Bahkan pada 2 Juli, malah rekor penambahan kasus baru 113 pasien dalam satu hari sejak awal pendataan 10 Maret 2020 lalu. Saat ini komulatif per 26 Juli 3219 kasus, dalam perawatan 601 kasus, sembuh 2570 kasus, dan 48 meninggal (2%).
Data ini, terutama kematian perlu dipertanyakan. Karena ada sejumlah kasus positif yang baru dipastikan setelah pasien meninggal namun tak tercatat dalam jumlah kasus meninggal.
Sampai kapan Bali atau Indonesia bisa dinyatakan bebas pandemi halnya Selandia Baru? Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, salah satu ahli epidemiologi Bali mengatakan kampanye turisme tidak bisa jalan bareng dengan penanganan Covid-19. “Saya juga pelaku usaha wisata, saya punya hotel, tapi saya tidak yakin warga asing diijinkan ke Bali karena mereka memantau angka-angka statistik,” urai dokter senior yang baru dilibatkan sebagai tim ahli tracing kasus oleh Pemprov Bali ini.
Sebagai ahli kesehatan ia memilih setia pada analisis kesehatan dalam memberi masukan. Termasuk apakah Bali akan kembali ramai turis mulai pembukaan awal September nanti.
Wirawan meyakini, turis mancanegara baru akan diijinkan oleh pemerintahnya untuk datang ke Bali bila terpenuhinya indikator-indikator epidemiologi. “Bukan dari pernyataan bahwa kita telah siap dengan protokol kesehatan,” ingatnya. Walaupun turis mancanegara mengatakan ingin ke Bali, tetapi bila tidak diijinkan oleh pemerintahnya, mereka tidak akan bisa datang.
Indikator-indikator epidemiologi tersebut adalah pertama, jumlah orang (bukan jumlah spesimen) yang ditest PCR swab, minimal 1 per 1000 penduduk per minggu. Jika penduduk Bali sekitar 4,6 juta maka targetnya sekitar 650 orang per hari tes swab PCR. Target ini akan tercapai jika penelusuran kasus optimal. Karena tidak sembarang orang bisa dites swab.
Kedua, persen positif (positivity rate) stabil di bawah 5%. Tidak fluktuatif. Positivity rate adalah persentase dari pasien yang memiliki hasil tes positif Covid-19. Caranya menghitung jumlah positif dibagi jumlah yang dites. Ini sangat tergantung
Dikutip dari artikel Kompas.com dengan judul “Melebihi Batas WHO, Positivity Rate Covid-19 di Indonesia 12,3 Persen, Apa Dampaknya?”disebutkan hingga 24 Juli 2020, ada 777.100 orang dites swab secara nasional. Ada 95.418 kasus infeksi positif, maka positivity rate secara total di Indonesia sekitar 12,3 persen. Artinya, setiap 100 orang Indonesia yang dites swab/PCR, akan ada 12 orang yang positif.
Ketiga, rata-rata jumlah orang kontak yang ditelusuri (tracing) dari satu kasus minimal 25 orang secara rata-rata dari keseluruhan kasus. “Dari penelusuran kontak kasus positif, Bali rata-rata 14 orang sementara standar WHO 25 orang,” sebut epidemiolog yang sebelumnya terkenal karena memberikan analisis data kasus HIV dan AIDS di Bali sejak awal ditemukan.
Keempat, reproduction rate (RT) atau angka penularan stabil di bawah 1. Ini dihasilkan dari modeling atau penghitungan memakai rumus disertai asumsi untuk menyimpulkan satu orang positif bisa menulari berapa orang? Angka ini di Bali diduga di bawah 1, namun perlu dipastikan lagi dengan data akurat.
Menurutnya turis tidak akan diijinkan datang oleh konsulatnya jika RT di atas 1 dan positivity rate di atas 5. “Bila 4 indikator tersebut belum bisa kita capai dalam waktu lama, tidak terbayangkan kondisi penduduk Bali yang hidupnya tergantung dari sektor pariwisata,” imbuhnya.
Di laman pendataan kasus Covid-19 Bali, angka-angka indikator ini tak ditemukan. Hanya ada angka pertambahan kasus, meninggal, dalam perawatan, dan sembuh. Menurut Wirawan indikator-indikator ini sangat penting ditampilkan secara rutin. Kurangnya keterbukaan membuka data ini menurut Wirawan juga akan mempersulit Bali untuk meyakinkan turis asing datang.
Kunci lain adalah pencegahan seperti penerapan protokol kesehatan. Alasannya, beda dengan SARS, virus penyebab Covid-19 ini berada di hidung dan tenggorokan, sehingga bersin atau bicara bisa menularkan jika berhadapan dengan orang yang positif.
Menurutnya dibandingkan HIV yang waktu perawatannya lama, Covid-19 ini bisa ditangani cepat jika sejumlah syarat diikuti. Misalnya penemuan kasus aktif dengan tracing yang optimal, deteksi dan pengobatan dengan kepastian jumlah ruang perawatan, isolasi, dan karantina untuk orang tanpa gejala OTG). Masalah lain, jumlah OTG ini besar rata-rata 40% jika tak dikarantina, akan jadi biang kerok wabah dan sulit selesai.
Sebagai pulau kecil yang kondisi ekonominya tergantung pariwisata, menurutnya Bali harusnya bisa lebih progresif menangani pandemi ini. Kebijakan pusat juga tak serta merta bisa diterapkan di Bali karena beda persoalan. Misalnya di Bali tidak ada pabrik atau industri besar, yang dominan jasa pariwisata yang lebih sensitif pada penyakit menular dan bencana.
“Tampaknya nunggu vaksin saja. Proyeksi kasus sulit karena data kurang akurat. Seperti ramalan cuaca, kalau data suhu, kelembaban, arah angin tidak akurat, ya ramalannya juga,” jelas Wirawan.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dokter Ketut Suarjaya mengatakan cara penelusurannya dengan tes swab pada hasil rapid reaktif. Sejauh ini, dari yang diswab, sekitar 30% positif PCR-nya. “Sebagian besar tidak bergejala,” sebutnya.
Hanya yang bergejala diisolasi dan dirawat di rumah sakit. Sedangkan positif tanpa gejala dikarantina. Ada enam tempat isolasi saat ini yakni Bapelkes, Hotel Ibis Kuta, Gran Mega, dan Hotel Ramada. Kapasitasnya 600 tempat tidur.
Ada 13 rumah sakit dengan kapasitas mencapai 585 tempat tidur ruang isolasi. “Selama ini terisi 250-300 bed,” jelasnya ditemui 22 Juli 2020. Sementara ruang karantina provinsi rata-rata terisi 250 bed, bahkan sempat 500 pada saat puncak kasus di awal Juli.
Ada juga yang karantina mandiri jika terkonfirmasi positif dan tanpa gejala. Dengan pengawasan oleh rumah sakit, desa adat, dan lainnya.
Suarjaya menyebut angka kesembuhan di Bali cukup tinggi, sekitar 74 persen. Angka kematian dinilai masih rendah meskipun sempat naik, sekitar 1,7 persen.
Ia menyebut tidak hanya mengobati di hilir, tapi juga mencegah di hulu. Lewat edukasi dan promosi sehingga mereka memahami bahwa COVID-19 ini bisa dicegah. “Kita jangan terlalu pesimis, paranoid dengan pandemi ini agar bisa menaikkan imun,” imbuh Suarjaya.
Jika dlihat kasus per kasus, kematian dominan pada usia tua dan komorbid (dengan penyakit penyerta). Terbanyak ginjal, diabetes melitus, paru menahun, dan jantung. Umurnya di atas 45 tahun.
Naiknya kasus positif menurutnya karena beberapa hal, pertama karena disiplin yang kurang. Orang dengan risiko tinggi disebut disiplinnya rendah. “Sebenarnya banyak yang mungkin positif, tapi memang tanpa gejala. Tiap kita tracing, kita ketemu orang tanpa gejala. Jadi, makin banyak tracing ya makin banyak kita mendapatkan OTG,” sebut Suarjaya.
Situasi kesehatan ini makin menguatkan bahwa pandemi ini belum memperlihatkan titik akhirnya di negeri ini. Alih-alih promosi dan menggaet turis untuk plesiran, bukankah lebih realistis untuk menguatkan yang nyata dan beri harapan di tengah krisis bencana ini yakni bahan pangan.
Masalah lain adalah, serapan pagan lokal dalam bantuan-bantuan bansos sembako sangat minim. Hal ini terangkum dalam diskusi publik daring melalui bertajuk “Cek Ricek Data Bansos Covid-19 di Bali dan Pemanfaatan Hasil Desa” yang digelar oleh kolaborasi sejumlah lembaga, Selasa sore (4/8/2020), antara lain Balebengong, Sakti Bali, LBH, dan AJI Denpasar.
I Wayan Parmiyasa, Kabid Pemberdayaan dan Penanganan Fakir Miskin Dinas Sosial dan P3A Provinsi Bali menyatakan paket sembako tidak ditentukan pihaknya, namun pusat dan Pemprov. Padahal, penyerapan produk pangan lokal sangat penting mengingat anggaran untuk itu cukup besar.
Dari data Dinsos Bali, penyerapan BPNT/bansos pangan/program sembako dari Kemensos di Bali untuk April dan Mei mencapai lebih Rp 51 miliar. Itu belum termasuk bantuan pangan yang bersumber dari provinsi, kabupaten, desa, maupun desa adat.
Nyoman Suma Artha dari Pasar Rakyat Bali mengatakan hasil pertanian lokal di Bali banyak yang tidak terserap di pasar. Padahal banyak yang membutuhkan. Karena itu ia ikut mendistribusikan dengan membeli dari petani untuk dijual, dan sebagian hasil diputar lagi untuk sumbangan ke dapur-dapur yang jadi relawan produsen nasi bungkus gratis. [b]