Liputan Mendalam

Oleh: Made Putri Wahyuni

Lovina adalah nama yang diberikan Anak Agung Panji Tisna pada hotelnya di Kabupaten Buleleng, Bali. Love diambil dari bahasa Inggris yang berarti Cinta dan Ina adalah Bahasa Bali yang berarti Ibu. 

Lovina adalah sebuah makna untuk mencintai Ibu Bumi, atau alam semesta yang kita huni. Kini Lovina adalah destinasi wisata paling populer di Bali Utara. Ribuan warga menggantungkan penghasilannya pada pesisir dan Lumba-lumba.

Perjalanan naik perahu bermesin dan menunggu hadirnya koloni lumba-lumba dikenal dengan istilah dolphin watching. Dampak ikutannya meluas, masyarakat menawarkan jasa sunset trip, mancing, snorkeling, dan diving

Anak Agung Ngurah Sentana seorang sejarawan dan penggiat pariwisata di Buleleng bercerita, pariwisata mulai tumbuh di Desa Kalibukbuk pada tahun 1953. Tiga buah kamar berdinding bambu bedeg berdiri di pinggir pantai, dibangun oleh seorang sastrawan penulis novel Sukreni Gadis Bali, bernama Anak Agung Panji Tisna. 

Ia ditertawakan karena membangun penginapan di daerah sepi dan tidak seramai Sanur atau Kuta. Namun ia tidak menyerah. Pada tahun 1974 dibangunlah Hotel Tasik Madu, tetapi sayangnya hotel tersebut roboh saat gempa dahsyat Seririt pada 1976 dengan kekuatan 6.3 skala richter dengan ratusan korban jiwa. Gempa ini juga berdampak di kabupaten sekitarnya.

Hotel yang luluh lantak ini kemudian direnovasi menjadi Hotel Lovina Beach di tahun 1982. Nama Lovina ini pun jadi begitu populer dan digunakan sebagai nama kawasan objek wisata sampai saat ini.

Sekitar tahun 1980, masyarakat digegerkan dengan kehadiran lumba-lumba yang sering melintas di sekitar Pantai Kalibukbuk hingga Pantai Kaliasem. Memiliki badan yang lebih besar dari ikan pada umumnya dan sifat ramah kepada manusia, masyarakat dan turis pun ingin melihat langsung. Awalnya lumba-lumba masih bisa dilihat dari pinggir pantai, tetapi terus menjauh karena wisatawan ingin melihat lebih dekat. 

Masyarakat yang mukim di pinggir pantai pun berinisiatif menyewakan kapal nelayannya dan mulai menyediakan jasa dolphin watching. Awalnya guide mengantar wisatawan dengan jukung tradisional dengan mengayuh sampai ke tengah laut. Seiring makin banyaknya turis, dan lebih efisien maka pemandu beralih menggunakan perahu mesin. 

Sejak itu, makin banyak penginapan dan restoran serta usaha kecil lain meramaikan pariwisata bahari di sekitar Lovina. Ada tukang pijat, penjual suvenir, gelang, dan warung.

Wisata Dolphin Watching

Walau saya mukim di Desa Kalibukbuk, salah satu desa yang mewilayahi pesisir Lovina, saya pun antusias mengikuti perjalanan dolphin watching

Pada Minggu 6 Juni 2021, aku dan temanku Pande ingin melihat langsung lumba-lumba liar di sekitar pantai Lovina. Sebelumnya kami sudah janjian dengan guide yang aku kenal namanya bli (sebutan untuk kakak, bahasa Bali) Komang Sucita. Ia sudah menjadi guide dolphin watching sejak 2012.

Selama pandemi Covid-19 ini beliau harus mencari nafkah tambahan dengan bekerja paruh waktu menjadi cleaning service di hotel. Karena rumahku dan Pande beda arah, akhirnya kami berdua sepakat langsung menuju lokasi di Pantai Bali Bagus Lovina. Sampai di lokasi tepat jam 6 pagi, kami pun langsung berangkat menggunakan jukung merah yang bisa menampung 5 penumpang.  

Matahari sudah terbit, kaki langit memerah dan membuat permukaan laut lebih jelas terlihat. Setelah 10 menit kapal melaju menuju tengah laut, terlihat puluhan kapal yang sudah berangkat mendahului kami. 

Pemandangannya indah sekali di tengah laut lepas berwarna biru tua dan langit berwarna jingga yang rasanya hangat. Sampai di tengah laut kapal wisata kami berhenti di kerumunan kapal lainnya yang mematikan mesin, suasananya nyaris sunyi dengan turis sigap mengambil gadget, mengabadikan momen menggunakan handphone mereka. 

Lumba-lumba mulai muncul ke permukaan, sekelompok lumba-lumba berwarna abu-abu gelap dengan hidung tumpul panjang perlahan melintasi kapal kami. Setelah 3 menit melihat pemandangan indah tersebut, salah satu kapal mulai menghidupkan mesin dan mengejar kelompok lumba-lumba itu. 

Tak mau kalah, Sucita juga menghidupkan mesin motor perahunya dan mengikuti kelompok lumba-lumba tadi. Mungkin karena bising dan ramai sekali jukung yang mengejar, akhirnya kelompok lumba-lumba itu kembali bersembunyi dan masuk ke dalam air. 

Pagi itu ada puluhan perahu wisata yang sedang melihat lumba-lumba. Kelompok perahu wisata terbelah menjadi 2 lokasi. Pertama ada di timur dan yang lain ada di barat. Karena kelompok lumba-lumba berenang menyebar, jadi susah untuk melihat pergerakan mereka. 

Mata harus waspada agar bisa membedakan lumba-lumba dalam riak ombak. Perutku juga sedikit mual karena perahu yang tiba-tiba ngebut atau berputar arah untuk bisa lebih dekat dengan lumba-lumba. 

Jika sudah dekat dengan kelompok lumba-lumba kecepatan mesin perahu akan diturunkan, biasanya hanya bisa lihat lumba-lumba di permukaan sekitar 1-3 menit saja. Dengan catatan tidak ada perahu yang memotong jalur mereka. 

Saya sedikit kesal dengan perahu yang ngebut dan langsung berada tepat di jalur pergerakan mereka. Kalau jadi lumba-lumba pasti sudah bad mood deh ibaratnya, seperti lagi makan tapi diajak untuk main dengan teman. 

Sebenarnya saya merasa bingung harus merasa senang atau sedih saat melihat lumba-lumba liar ini.  Saya senang karena keberadaan mereka disini bisa membangun ekonomi masyarakat pesisir tapi saya juga sedih jika lumba-lumba terganggu dengan adanya banyak kapal wisata yang setiap hari mengantarkan puluhan tamu. Apa mereka bisa merasakan stres? Bagaimana jika mereka meninggalkan laut Bali utara ya?

Hari itu rasanya beruntung sekali karena kami bisa melihat banyak anak lumba-lumba yang berukuran kurang lebih 40-70 cm, balapan dengan kapal wisata dan lompat indah di udara. Katanya dari bulan Maret mulai banyak terlihat anak lumba-lumba. Kalau yang suka lompat tinggi itu jenis lumba-lumba spinner atau orang lokal di sini menyebutnya lumba-lumba gelatik. 

Ada lagi lumba-lumba yang jadi maskot patung di Pantai Lovina itu namanya lumba-lumba botol. Ada juga lumba-lumba yang malu-malu karena jika didekati, beberapa menit kemudian sudah masuk lagi ke dalam air. Jenis lumba lumba itu adalah fraser (perutnya berwarna pink) dan pantropical spotted (perutnya ada motif bercak-bercak). 

Yang paling jarang muncul, mungkin setahun sekali kalau lagi musim tuna itu adalah killer whale. Pernah juga Sucita melihat hiu macan, waktu itu hiu tersebut hanya menabrakkan diri ke kapalnya. 

Sebelum pandemi, Sucita bisa mengantar tamu setiap hari, dan selalu full, terik atau hujan pasti mau diantar. “Bli libur cuma waktu gelombang tinggi saja. Biasanya pada sasih kawolu (bulan Januari-Februari), Bli gak berani dah. Sekarang itu kalo gelombang ngeri sekali, apalagi kalau anginnya kenceng takutnya bisa kebawa gelombang kalo maksain jalan,” kata bli Jerink, panggilan akrab Sucita. 

Di Desa Kalibukbuk ada komunitas guide kapal wisata namanya Komunitas Tirta Bahari, dengan 48 anggota kapal aktif untuk membahas peraturan atau mencari relasi ke hotel-hotel yang menyediakan jasa trip dolphin watching. 

Sebagai siasat bertahan, mulai awal ada pandemi ada imbauan untuk membebaskan anggota menetapkan tarif ke penumpang kapal. “Biasanya harga normal Rp100.000 per orang tapi karena pandemi kasih harga bensin aja gak apa deh. Karena sepi pengunjung teman-teman Bli juga banyak yang mengambil kerja serabutan jadi pedagang toko online, supir traktor, kuli bangunan, bantuin istrinya jualan di pasar, dan ada juga yang menjadi nelayan,” lanjutnya.

Setelah 2 jam lebih menikmati wisata dolphin watching dan lumba-lumba yang makin menjauh ke barat, kami balik ke tepi pantai untuk snorkeling. Air laut berwarna hijau tosca dan berbagai macam ikan hias berukuran sedang berenang di antara terumbu karang yang sudah mati. 

Jenis ikan cukup banyak. Saya melihat ada ikan karang parrot fish dan ikan berwarna warni lainnya. Banyak wisatawan yang snorkeling di sekitar kapal dengan memberikan serpihan roti ke ikan-ikan kecil. Ada juga yang bersantai di atas kapal sambil menyantap bekal makan siang. Sayang waktu itu sedang banyak ubur-ubur, kami berenang sebentar saja karena tak tahan rasa gatal yang ditimbulkan. Hari menjelang siang, kami balik ke pantai untuk mandi dan bersih-bersih. 

Setelah bersih, kami siap dengan petualangan yang lainnya. Kami berkendara menuju lokasi selanjutnya yaitu pusat perbelanjaan di pertokoan dekat maskot lumba-lumba. Dengan membayar tiket masuk Rp 2000 rupiah kami memarkirkan motor dan berjalan kaki mengelilingi jalan setapak yang waktu itu sepi. 

Saat kami melihat-lihat pertokoan di sekitar Pantai Lovina, seorang ibu bertanya harga gelang kaki yang sebelumnya aku beli dari penjual suvenir di tempat kami menyewa kapal wisata. “Harganya berapa dik? Sini ibu kasih setengah harga, biar dagangan ibu laku saja.” 

Kami pun melihat-lihat suvenir dagangannya sembari duduk di teras ruko yang tutup. Di sebelah, seorang ibu sedang menjahit pesanan daster dari pelanggannya, ekspatriat asal Eropa. Kami menikmati udara sore hari yang panas dengan mendengarkan cerita kedua ibu yang bekerja di pantai ini.

Ibu penjahit juga ikut mengobrol bersama kami, dan satu ibu lainnya memilih tiduran di teras plesteran beton sambil mengibas-ngibaskan tangannya agar mendapat udara sejuk.  

Nama penjual suvenir itu adalah Luh Resmi, ia tetap setia dengan pekerjaannya sebagai penjual suvenir karena tak ada pilihan lain. Waktu muda ia bertani di tanah milik ayahnya, tetapi kini warisan tanah sudah dijual untuk membayar pendidikan anak. “Dulu berfikir menikah dengan nelayan ya tidak perlu punya tanah karena tinggal di pinggir pantai bisa jual ikan saja untuk memenuhi kebutuhan hidup, makanya tanahnya dijual saja juga untuk kepentingan anak sekolah,” ia bercerita. 

“Tapi nyesel juga kalau pandemi seperti ini pemasukan tidak ada karena bapak sudah sakit jadi tidak bisa cari ikan atau nganter tamu, mau menanam juga tidak bisa karena tanahnya kan punya orang lain,” lanjutnya.

Anak-anaknya pun kena PHK dan kembali tinggal di rumah. Suaminya sudah setahun mengalami stroke. “Sebenarnya ibu sedih sekali karena pandemi ini bingung cara memenuhi kebutuhan rumah, tapi ya ibu syukuri saja masih bisa jualan sambil ketemu teman dan mengurus keluarga di rumah,” matanya berkaca-kaca. 

Namun ia bersiasat. Selain tetap jual suvenir, ia berjualan buah potong keliling. Resmi mengatakan sebelum pandemi banyak tamu yang suka sekali makan buah markisa. Buah markisa itu dibeli dari temannya yang tinggal di Bedugul, harganya Rp20.000/kg. “Karena lagi gak ada tamu jadi gak bisa jualan markisa, kalau siang-siang makan markisa itu rasanya segar sekali.” 

Saya juga penggemar buah ini sampai diberi bibit markisa yang tumbuh liar di taman sekitar pantai. Obrolan kami berlanjut sampai tengah hari, kemudian pamit pada para perempuan pekerja keras yang masih bertahan di Lovina.

Saat tiba di parkiran, kami melihat papan spanduk yang berisi tulisan “kode etik”. Karena penasaran saya menarik tangan Pande untuk bisa membaca spanduk itu sebelum pulang. Ternyata Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Yayasan WWF Indonesia sudah membuat kode etik untuk melakukan pengamatan terhadap lumba-lumba. 

Di situ ditulis cara terbaik untuk pengunjung dan kapten kapal menerapkan pariwisata melihat lumba-lumba secara keberlanjutan (sustainable dolphin watching). Dijelaskan jika durasi pemantauan sebaiknya tidak lebih dari 30 menit, saat berada dekat lumba-lumba sebaiknya mematikan mesin atau menghindari kecepatan yang menimbulkan ombak, jarak untuk melihat lumba-lumba sebaiknya tidak kurang dari 50 meter, tidak memotong jalur pergerakan kelompok lumba-lumba dan masih banyak lainnya.

Saya berkeinginan membuat infografis lain agar lebih banyak orang yang memahami dan mengingatkan kapten kapal tentang kode etik selama berwisata dolphin watching. Jika wisatawan mengetahui adanya kode etik ini, mereka wajib mengingatkan kapten kapal agar mematuhi aturan yang ada. Karena kesejahteraan hewan juga harus dijaga, agar pariwisata dolphin watching bisa tetap berlanjut. 

Siasat Pemandu Jasa Dolphin Watching

Karena industri pariwisata dolphin watching di Lovina menurun, masyarakat pesisir harus memutar otak untuk bertahan hidup. Banyak yang beralih profesi hingga menekuni pekerjaan yang dulunya dilakukan untuk part time saja. 

Made Sadra adalah salah satu kapten kapal dan pemandu yang segera bangkit dengan menekuni bisnis reparasi sayap jukung. Selama pandemi ia beruntung masih dapat konsumen yang mau membayar Rp3-6 juta rupiah untuk pembuatan sayap jukung yang memakan waktu pembuatan 10-14 hari. 

Ada juga Swena yang sudah berumur 80 tahun memutuskan pensiun menjadi guide dolphin watching. Ia ingin mendedikasikan waktunya untuk menjadi nelayan kapal kecil dengan pendapatan paling banyak Rp100.000 dalam sehari. 

Untuk memulihkan wilayah pesisir yang terdampak pandemi COVID-19, Pemerintah Indonesia melaksanakan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) melalui kegiatan restorasi terumbu karang atau Indonesia Coral Reef Garden (ICRG). Saya berkenalan dengan Kadek Fendi Wirawan seorang pemuda yang melanjutkan sekolah S2 bidang kelautan di Universitas Diponegoro, Jawa Tengah.

Ia jadi koordinator pengawas dari Yayasan LINI Indonesia untuk program ICRG daerah Kaliasem, kawasan Lovina. Program ini merupakan program padat karya yang sudah melibatkan 250 orang lebih pekerja yang ikut membantu seperti penyelam, nelayan angkutan wisata, tukang bangunan, dan pemuda yang terkena PHK. Kegiatan ini dibiayai oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan dana sekitar Rp115 miliar. Untuk Bali Selatan sebanyak Rp100 miliar dan Bali Utara sebanyak Rp15 miliar. Di Bali Utara ada 8 lokasi pelaksanaan kegiatan ini antara lain: Kaliasem, Tukad Mungga, Baktiseraga, Pacung, Bondalem dan Les di 2 lokasi. “Waktu menentukan lokasi juga kita sudah survei terlebih dahulu, dengan lokasi yang sebelum pandemi COVID-19 banyak wisatawan yang berkunjung atau lokasi yang terumbu karangnya sudah benar-benar mati itu menjadi lokasi prioritas untuk dilaksanakannya kegiatan padat karya ini” tutur Fendi.

Penanganan Mamalia Terdampar

Kami tertarik mengetahui lebih jauh apa itu pariwisata berkelanjutan. Akhirnya saya mengunjungi kantor Yayasan WWF Indonesia di Renon, Denpasar, tidak sulit untuk mencari lokasinya lewat google maps. 

Saya disambut oleh Dwi Suprapti seorang spesialis penyu dan mamalia laut, Jaya Ratha Supervisor komunitas I AM Flying Vet, dan Fici Iman asisten spesialis kelautan. Mereka bercerita mengenai megafauna akuatik (penyu, hiu, pari, mamalia laut seperti lumba-lumba, paus, dugong dan pesut) yang terdampar.

Dwi Suprapti dan Jaya Ratha merupakan dokter hewan. Mereka banyak bercerita mengenai tugas di lapangan selama melakukan nekropsi pada hewan laut yang terdampar. Baru pertama kali aku mendengar istilah nekropsi yang ternyata adalah kegiatan membedah jasad hewan yang sudah mati untuk mengetahui penyebab kematiannya. Yayasan WWF Indonesia terlibat bersama Dokter Hewan Megafauna Akuatik Indonesia membentuk I AM Flying Vet, sebagai respon terhadap kondisi meningkatnya kejadian megafauna akuatik terdampar.

Kita bisa melihat kasus dan bisa juga melaporkan kasus megafauna akuatik terdampar melalui situs www.whalestrandingindonesia.com atau fans page facebook Whale Stranding Indonesia. Selanjutnya aku penasaran apa penyebab megafauna bisa terdampar ya?  Salah satu jenis yang sering terdampar adalah lumba-lumba. 

Bagaimana cara mengetahui penyebabnya dari hasil nekropsi? Jaya Ratha menjelaskan bahwa ada banyak hal yang menyebabkan megafauna bisa terdampar, dan melalui nekropsi bisa melakukan diagnosa penyebab kematian. Sama seperti manusia yang perlu otopsi untuk mencari tahu penyebab kematian, hewan juga perlu nekropsi agar masyarakat maupun pemerintah terkait bisa melakukan penanggulangan agar kejadian megafauna akuatik terdampar bisa diminimalisir. 

Dalam pelaksanaan nekropsi ada 5 kode kejadian terdampar yang harus dilihat terlebih dahulu sebelum proses evakuasi. Kode 1 yaitu terdampar hidup, hewan masih hidup, bergerak, menunjukan refleks dan bernafas. 

Kode 2 yaitu terdampar, kemungkinan baru mati yaitu hewan tidak bergerak, tidak ada refleks, kondisi daging masih kencang, bangkai tidak berbau, mata hewan masih berkilau. Kode 3 yaitu mulai membusuk, kondisi bangkai mulai membengkak, mulai keluar cairan tubuh, bangkai mulai berbau. 

Kode 4 yaitu pembusukan tingkat lanjut, bangkai sudah sangat membusuk, kulit mulai mengelupas dan sangat berbau. Kode 5 yaitu kerangka atau mumi, bangkai sudah menjadi kerangka. 

Jika masyarakat atau komunitas terkait menemukan megafauna akuatik terdampar kode 2 sampai 4 segera hubungi dokter hewan dan kantor desa terdekat. Bisa juga hubungi Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) atau lembaga peduli satwa terkait untuk penangannya. 

Jika menemukan megafauna akuatik terdampar masih hidup atau kode 1, masyarakat bisa membantu untuk langsung menggiring hewan ke laut atau mengevakuasi hewan terdampar. Sambil menunggu dokter hewan dengan menjaga area sensitif seperti blow hole/lubang nafas di atas kepala agar tidak ketutupan atau kemasukan air atau pasir. Menjaga kelembaban kulit dengan memberikan handuk basah di badan (kecuali sirip dan lubang nafas) serta hindari kerumunan agar hewan tidak stres.

Jaya mengingatkan untuk tidak menarik sirip hewan agar tidak terjadi cedera serius pada tulangnya. Untuk bangkai hewan yang terdampar atau kode 5, dapat dilakukan pembakaran, penguburan atau penenggelaman sesuai anjuran pemerintah terkait. Ini biasanya dilakukan tim penangannya.

Infografis Kode Etik Wisata Lumba-lumba

Comments 1

  1. Hema says:

    Tulisannya enak dibaca

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.