Liputan Mendalam

Oleh: Ni Wayan Yeniari & Kadek Ayun Wardimas

Robi memerlihatkan sedotan plastik dalam genggaman tangannya yang dia kumpulkan dari pantai di Bali. Vokalis dan gitaris band Navicula itu seolah ingin menunjukkan, sampah-sampah plastik yang kita hasilkan sehari-hari akan mengotori lingkungan, termasuk berakhir di pantai.

Namun, ironisnya, kami justru menonton film ini dengan menggenggam gelas plastik dan sedotan plastik di tangan. Pada akhir April itu, kami masuk terakhir. Kaki kami terasa gemetar. Hati berdegup kencang. Ingin rasanya kami menyembunyikan wajah agar tidak ada satu pun penonton lain melihat. Namun, kami tidak bisa. Kami harus tetap melangkah dan menghadapi.

Hati kami merasa semakin bersalah saat melihat Robi dalam film Pulau Plastik. Robi dengan tegas menyampaikan bahwa di Indonesia beredar lebih dari 93 juta sedotan plastik setiap hari. Kami yang sedang menonton film tersebut termasuk dalam mereka yang memproduksi sampah plastik itu.

Gelas plastik dan sedotan di tangan kami memang sedikit. Namun, ketika dijumlahkan dengan sampah plastik dari warga lain, jumlahnya bisa mencapai ribuan ton per hari.

Menurut I Gede Hendrawan, dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana, mengungkapkan, setiap hari Bali menghasilkan sampah hingga 4.281 ton. Dari jumlah tersebut sebanyak 48 persen sampah terkelola dan 52 persen sampah masih belum dikelola dengan baik. Dari sampah yang belum dikelola dengan baik itu, 22 persen terbuang ke sekitarnya, 19 persen masih dibakar, dan 11 persen terbuang ke saluran air setiap harinya.

Penelitian yang menggunakan metode survei dan kajian lapangan ini dilakukan pada Januari hingga Mei 2019. Dalam penemuannya, peneliti menemukan bahwa 60 persen sampah yang mereka temukan adalah sampah organik, 20 persen sampah plastik, 11 persen kertas, 2 persen besi, 2 persen gelas dan lainnya 5 persen.

Hendrawan menambahkan bahwa sampah plastik paling banyak terbuang ke sungai. Sebanyak 20,7 ton tiap km persegi terbuang ke sungai, 3,9 ton terbuang di pantai dan 2,1 ton tiap km persegi terbuang di daratan. Meskipun demikian, Hendrawan mengapresiasi bahwa sudah 48 persen sampah telah ditangani oleh pemerintah ataupun komunitas.

Sampah di TPA Temesi Gianyar

Bali sendiri termasuk salah satu provinsi yang sudah memberikan perhatian terhadap isu plastik sekali pakai. Gubernur Bali Wayan Koster bahkan sudah mengesahkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Nyatanya, menurut Hendrawan, efektivitas peraturan ini masih perlu dikaji lebih lanjut.

Di masa-masa awal (berlakunya Pergub), mungkin ada perubahan. Namun, walapun minimarket dan supermarket masih menerapkan larangan plastik sekali pakai, saya pikir efektivitasnya perlu diuji setelah dua tahun penerapannya. “Apakah ada perubahan atau tidak? Itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut,” Hendrawan bertanya.

Menurut Hendrawan, Pergub Bali tentang sampah plastik sekali pakai perlu dibarengi dengan pengelolaan sampah secara komprehensif oleh pemerintah dan masyarakat. Pengelolaan sampah tidak bisa dilakukan secara parsial. Semua harus disiapkan dan dilakukan bersama-sama.

“Masyarakat perlu dididik, infrastruktur disediakan, dan sistem pengelolaan harus dibangun dengan baik,” katanya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gianyar

Tak Cukup

Pengelolaan sampah di Kabupaten Gianyar bisa menguatkan pernyataan Hendrawan. Peraturan saja memang tak cukup. Perlu ada penyediaan fasilitas pengolahan yang tidak hanya memadai, tetapi juga terjangkau oleh warga.

Tempat pembuangan akhir (TPA) Temesi adalah satu-satunya fasilitas pengelolaan sampah di kabupaten seni ini. Toh, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Gianyar, pada tahun 2020, TPA Temesi sudah penuh. Banyaknya sampah tercampur antara organik dan anorganik di TPA membuat beban sampah pun menumpuk dan sulit dikelola.

Ketua Yayasan Pemilahan Sampah Temesi, I Wayan Cakra, membenarkan informasi Bappeda Gianyar. Setiap hari, sekitar 400 ton sampah warga Gianyar masuk TPA Temesi. Rinciannya, sekitar 70 persen adalah sampah organik, 15 persen sampah anorganik, dan sisanya merupakan sampah residu.

Karena TPA sudah penuh, pengelola pun memperluas lahan TPA terbesar di Gianyar itu. Namun, menurut Cakra, perluasan itu pun bukan menjadi solusi jangka panjang.

Cakra menambahkan, jumlah sampah di TPA Temesi sebelum dan selama pandemi COVID-19 cenderung stabil. Artinya, pandemi tetap tidak menjadikan volume sampah menurun. Masih tingginya volume sampah di TPA Temesi itu diperparah dengan belum adanya pemilahan sampah secara optimal dari sumbernya, warga. Akibatnya, masih perlu pengelolaan sampah lebih lanjut di TPA Temesi.

Aplikasi digital Griya Luhu

Pengelolaan sampah di Kabupaten Gianyar bisa menguatkan pernyataan Hendrawan. Peraturan saja memang tak cukup. Perlu ada penyediaan fasilitas pengolahan yang tidak hanya memadai, tetapi juga terjangkau oleh warga.

Tempat pembuangan akhir (TPA) Temesi adalah satu-satunya fasilitas pengelolaan sampah di kabupaten seni ini. Toh, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Gianyar, pada tahun 2020, TPA Temesi sudah penuh. Banyaknya sampah tercampur antara organik dan anorganik di TPA membuat beban sampah pun menumpuk dan sulit dikelola.

Ketua Yayasan Pemilahan Sampah Temesi, I Wayan Cakra, membenarkan informasi Bappeda Gianyar. Setiap hari, sekitar 400 ton sampah warga Gianyar masuk TPA Temesi. Rinciannya, sekitar 70 persen adalah sampah organik, 15 persen sampah anorganik, dan sisanya merupakan sampah residu.

Karena TPA sudah penuh, pengelola pun memperluas lahan TPA terbesar di Gianyar itu. Namun, menurut Cakra, perluasan itu pun bukan menjadi solusi jangka panjang.

Cakra menambahkan, jumlah sampah di TPA Temesi sebelum dan selama pandemi COVID-19 cenderung stabil. Artinya, pandemi tetap tidak menjadikan volume sampah menurun. Masih tingginya volume sampah di TPA Temesi itu diperparah dengan belum adanya pemilahan sampah secara optimal dari sumbernya, warga. Akibatnya, masih perlu pengelolaan sampah lebih lanjut di TPA Temesi.