Menarung Jiwani diputar perdana di Denpasar Cineplex pada 16 September 2016.
Film pendek karya Rai Pendet dan kawan-kawan ini menjadi film kedua produksi pembuat film asal Bali yang dirilis secara resmi di Denpasar Cineplex, salah satu bioskop arus utama di Bali.
Sebelumnya ada Janggan karya Erick Est yang dirilis pada tahun 2014.
Sejak awal film, realitas tentang Bali yang ingin dibangun pembuat film dalam Menarung Jiwani adalah Bali yang adiluhung dan magis, melalui jiwa seni tradisi yang mendarah daging. Dalam film ini seni tradisi itu diwakilkan oleh tarian barong.
Menarung Jiwani dibuka dengan kutipan adegan Pekak (kakek) Raos tengah duduk di sebuah balai. Dia menembangkan potongan Pupuh Ginada eman-eman kepada dua anak muda yang duduk di undakan lebih rendah darinya.. “Eda ngaden awak bisa. Depang anake ngadanin..” Adegan ini menjadi semacam highlight dari keseluruhan cerita yang diambil dari salah satu adegan menuju pengujung film.
Cerita film ini sederhana saja. Tentang keseharian anak-anak muda Bali yang tergabung dalam sanggar kesenian (tari dan tabuh, seperti yang dimunculkan dalam film ini). Persiapan mengikuti lomba tari barong yang tinggal dua minggu lagi tiba-tiba diinterupsi Nyoman. Salah satu anggota sanggar ini ngotot minta diberikan kesempatan untuk menarikan barong di bagian depan.
Tarian barong di Bali umumnya dibawakan oleh dua orang. Satu orang memegang kendali kepala barong dan tubuh serta dua kaki bagian depan. Satunya lagi mengendalikan tubuh dan menjadi kaki barong di bagian belakang. Di sanggarnya, Nyoman dan Wayan dikenal sebagai pasangan yang paling “klop” dalam membawakan tarian barong. Wayan di bagian depan, dan Nyoman di bagian belakang.
Setelah diberikan kesempatan, nyatanya Nyoman pun kurang menguasai cara menarikan barong di depan. Ia tak luwes melakukan perpindahan ketika menggerakan kepala barong. Berbeda dengan Wayan. Ia tidak menunjukan kesulitan sama sekali menari di belakang. Sampai di sini, apa yang dikatakan Pekak Raos kurang tepat. Menarikan barong di depan dan belakang ternyata tidak “sama saja”.
Seminggu sebelum lomba, Wayan dan Nyoman melakukan pementasan rutin dengan bertukar posisi. Nyoman menari di bagian depan. Wayan di belakang. Sudah bisa ditebak. Pertunjukan amburadul karena Nyoman tidak terbiasa menari di depan. Kawan-kawan sanggar marah-marah. Mereka juga khawatir dengan formasi baru ini. Apalagi lomba sudah dekat. Wayan meminta kawan-kawannya untuk tenang. Nyoman pergi dengan kesal.
Upaya untuk menghadirkan Bali yang memiliki taksu juga nampak dalam pilihan-pilihan dialog selama film. Sayangnya, hal ini terkesan dipaksakan. Sebab, upaya-upaya itu dihadirkan melalui hujaman nasihat. Nasihat Pekak Raos, nasihat Luh Ayu, dan nasihat Robi Navicula (sang pembimbing anak-anak ngelawang, yang muncul tiba-tiba dan dengan efektif memberikan kesadaran pada diri Nyoman yang takabur).
Tuturan Moral
Film ini sesak oleh tuturan moral yang ditujukan silih berganti pada Nyoman. Barangkali jika dibandingkan dengan kadar sesumbar Nyoman, lebih banyak nasihatnya dibandingkan sikap sesumbar Nyoman yang muncul dalam film.
Pekak Raos sendiri, jika tak salah hitung, selama film memberikan nasihat sebanyak empat kali. Nasihat pada Nyoman ketika ia minta menari di depan. Nasihat pada anak-anak sanggar ketika Wayan memantik dengan pertanyaan “bagaimana gerakan yang harus dilakukan agar bulu-bulu barongnya terlihat hidup”. Juga nasihat di balai menuju penghujung film yang dibarengi dengan menembangkan Pupuh Ginada.
Film ini tidak memberikan ruang pada tokohnya, Nyoman, untuk mengalami konflik internal dengan dirinya sendiri. Padahal itulah yang digadang-gadang dalam sinopsisnya: film tentang pergulatan di dalam diri penari barong. Keinginannya untuk menari di bagian depan seketika goyah hanya karena ia tampil kurang baik di sebuah pementasan rutin dan menerima serbuan nasihat mencerahkan dari orang-orang di sekitarnya.
Menarung Jiwani membahasakan Bali melalui kolase-kolase gambar bangunan rumah dengan ukir-ukiran Bali, shot-shot transisi bunga jepun (kamboja), dan atribut sehari-hari yang tidak lepas dari kamen. Bahkan Luh Belong, ibu penjual tipat cantok dan Luh Ayu, putrinya, juga menggunakan kamen dan kebaya saat mengulek bumbu tipat. Tampak pula gambar-gambar dengan sorot cahaya matahari yang dibias sedikit kabut serta pilihan tone kuning kecoklat-coklatan sepanjang film.
Secara visual, Menarung Jiwani memberikan gambar-gambar yang baik. Konsep Bali yang dihadirkan dalam layar terbilang konsisten sejak awal hingga akhir film melalui gambar-gambarnya yang tenang. Penonton tidak akan terganggu oleh shot-shot extreme yang biasanya dihadirkan untuk membangun drama, sering kita dalam film-film yang sarat pesan moral.
Namun, tidak demikian dengan penggunaan musik dalam film ini. Kehadiran musik dalam Menarung Jiwani tidak cukup membantu dalam membangun emosi. Justru sebaliknya, ia malah mengaburkannya. Yang paling kentara adalah setiap kali Pekak Raos memberi nasihat, dari awal beliau membuka mulut sampai nasihatnya berakhir, musik tidak berhenti mengiringi. Bahkan dengan volume hampir setara yang justru menenggelamkan kalimat-kalimat Pekak Raos.
Penambahan musik ini barangkali dimaksudkan untuk menambah nilai khidmat pada nasihat Pekak Raos. Sayangnya, adegan yang berulang dengan mood sama, justru membuat nasihat-nasihat dalam film ini berakhir menjadi repetisi menjenuhkan. Akhirnya, adegan Pekak Raos duduk di balai bersama Wayan dan Nyoman yang mestinya menjadi gong film ini, harus kehilangan nilai tuturannya.
Sebelum film berakhir, penonton sudah dibuat terengah-engah kelelahan mendengarkan kombinasi nasihat-musik pengiring yang bertubi-tubi. Tangga dramatik film pun tidak terpenuhi sebagaimana ia diniatkan.
Tranformasi Nyoman dari kelewat sesumbar menjadi sadar berlalu tanpa konflik yang cukup berarti dengan dirinya sendiri. Dia selesai begitu saja berkat nasihat-nasihat orang-orang di sekitarnya. Barangkali ini adalah tafsir pembuat film atas Pupuh Ginada yang dijadikan kiblat oleh film ini. “Eda ngaden awak bisa. Depang anake ngadanin” (Jangan merasa diri bisa, biarkan orang lain yang menilai).
Tafsir dan Logika Cerita
Tapi, bukankah sia-sia belaka jika tafsir itu dihadirkan melalui dialog-dialog yang terlampau eksplisit dan menggurui tanpa diserta dinamika karakter tokoh-tokohnya, terutama Nyoman? Nasihat-nasihat tersebut akhirnya berakhir sebagai rangkaian kalimat sekadar lewat. Sebab, tokoh-tokohnya tak diberi waktu untuk mengalami, apalagi menjiwai, kecuali melalui gestur manggut-manggut tanda manut.
Karena ia adalah tafsir, maka ia pun menyisakan peluang untuk dibantah. Dalam film ini, celahnya adalah logika cerita yang tidak dibangun dengan kokoh. Keinginan Nyoman untuk menarikan barong di bagian depan sedari awal tidak dibarengi dengan alasan, baik melalui dialog maupun penanda visual.
Sebelumnya memang ada adegan ketika Nyoman mencoba menyampaikan sesuatu pada Wayan di belakang panggung usai pementasan rutin. Akan tetapi ia urungkan. Sayangnya adegan ini tidak cukup untuk dijadikan pemantik bahwa Nyoman memiliki keinginan terpendam. Satu-satunya alasan yang penonton tangkap dari keinginan Nyoman ini adalah pokoknya, “Saya ingin sekali menari di depan, dan keinginan ini sudah ada sejak lama.” Titik.
Sebuah keinginan tentu lahir didukung oleh motif tertentu, tak peduli jika motif itu tidak masuk akal sama sekali. Bisa saja sesederhana karena ia bosan menari di bagian belakang, atau sepragmatis karena menari di depan rasa-rasanya terlihat lebih keren. Sebab, di depan berarti memimpin, bukannya jadi ekor seperti yang selama ini Nyoman lakoni.
Jika kita menalar logika cerita Menarung Jiwani, bisa saja kita menarik kesimpulan bahwa Nyoman begitu mudah goyah dan seakan “tersadar” atas ketakaburannya bukan karena nasihat-nasihat luhur dari orang-orang di sekitarnya. Barangkali memang karena tekadnya tersebut tidak didasari oleh alasan yang kuat. Sehingga tak rugi pula bila ia tak jadi menari di bagian depan, sebab memang tak ada yang ia perjuangkan.
Menarung Jiwani mencoba mengangkat aktualitas nilai-nilai tradisi yang sering dianggap kuno dan hanya diperlakukan sebagai masa lalu. Padahal, nilai itu sesungguhnya masih relevan untuk diamalkan di masa sekarang dan mungkin di masa depan, di segala zaman.
Pupuh Ginada, atau yang oleh masyarakat Bali lebih dikenal sebagai Ginada eman-eman, yang dipilih dalam film ini, memiliki nilai universal. Bisa jadi paling relevan disandingkan dengan jiwa anak muda yang haus tualang dan tantangan.
Celakanya Menarung Jiwani kurang sabar. Film ini ingin lekas-lekas membuat penontonnya sadar dan tercerahkan. Jika diibaratkan orang tua, Menarung Jiwani bak seorang ayah atau ibu yang mendidik anaknya dengan cara mendikte mereka. Tapi sebagai anak, benarkah cara mendidik yang penuh ceramah sungguh efektif untuk menggugah kita? [b]