Di antara bisingnya kendaraan proyek, Ni Made Sujati melayani pembeli.
Pedagang warung kecil ini membuatkan kopi untuk salah satu pekerja proyek jalan di atas perairan (JDP). Suaminya, Nengah Sudiasa juga sibuk melayani seorang pembeli yang berbelanja makanan ringan untuk bekal memancing.
Nengah Sudiasa dan Ni Made Sujati adalah pasangan suami istri yang berjualan di jabe (halaman) Pura Karangasem Tuban tepat di samping ujung JDP di sebelah timur Bandara Ngurah Rai.
Jabe Pura Karangasem juga merupakan jalan menuju loloan (muara) tempat melangsungkan upacara melis dan ngayut (penghanyutan abu ke laut dalam prosesi ngaben) warga adat desa Tuban, Badung, Bali. Jabe Pura juga menjadi tempat parkir bagi pengunjung ekowisata mangrove Wanasari Tuban.
Dengan menggunakan gerobak berukuran tidak lebih dari 2 x 1 meter, Sudiasa dan Sujati memajang barang dagangan. Nasi jenggo, nasi kotak, kopi, minuman dingin dan berjejer memenuhi warung mereka. Warung itu beratapkan seng dengan kombinasi terpal dan diteduhkan lagi pohon kelapa hijau yang tidak terlalu tinggi.
Di samping warung terdapat dipan bambu dengan atap asbes yang menjadi tempat duduk pembeli. Di belakang dipan terdapat papan putih berisi pengumuman dan jadwal antrian kelompok nelayan Wanasari.
Pak Nengah, begitu Nengah Sudiasa biasa dipanggil, merupakan satu dari 94 anggota kelompok nelayan Wanasari yang juga mengelola ekowisata mangrove Wanasari. Pak Nengah memiliki satu buah perahu dan menjadi nelayan sejak tahun 2008. Sebelumnya Pak Nengah bekerja sebagai kernet mobil angkutan umum jurusan Tegal Tuban.
Sumbangan
Pak Nengah lahir tahun 1963 di Desa Ulakan, Kecamatan Manggis, Karangasem. Dia mulai merantau ke Badung saat berumur 13 tahun. Saat ini dia dan istrinya telah menjadi krama (warga) adat Tuban.
Pak Nengah dan istrinya mulai berjualan sejak tahun 2005. Menempati lahan yang merupakan milik Desa Tuban. Dia tidak dipungut biaya sewa namun memiliki kewajiban menjaga kebersihan areal tersebut termasuk kebersihan kamar mandi umum yang berjarak kurang lebih 20 meter di depan warungnya. Dia menaruh kotak sumbangan kebersihan seikhlasnya untuk pengunjung yang menggunakan kamar mandi umum itu.
“Karena tidak ada yang stand by menjaga maka kadang ada yang memberi kadang tidak. Tergantung kesadaran pengunjung saja,” tuturnya.
Semenjak ada proyek pembangun JDP yang tepat di depan jabe Pura Karangasem, penjualan warung Pak Nengah mengalami peningkatan cukup tinggi. Hampir setahun belakangan ini omzet warungnya rata-rata Rp 1 juta per hari. Sebelum ada proyek JDP penjualan rata-rata per hari berkisar Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu.
Banyak buruh proyek yang membeli nasi jinggo, kopi, dan rokok saat istirahat siang di warung Pak Nengah.
Pembangunan jalan tol ini bagi Pak Nengah ibarat simalakama. Dia sudah tidak bisa melaut untuk mencari ikan sejak dimulainya pembangunan JDP. Awal proyek kelompok nelayan Wanasari sempat dipekerjakan untuk mengangkut buruh dan bahan bangunan ke tengah laut untuk pemasangan tiang pancang.
Menabrak
Selama kurang lebih tujuh bulan, akhirnya pekerjaan tersebut dihentikan karena material dan buruh JDP sudah bisa menggunakan kendaraan darat menuju ketangah laut.
Dari proyek JDP kelompok nelayan Wanasari juga mendapat kompensasi karena tidak bisa bekerja mencari ikan. Dana kompensasi tersebut sebagian dikelola dalam kelompok untuk mengembangkan budi daya kepiting dan ekowisata mangrove.
Saat ini, perahu Pak nengah hanya disewakan untuk pemancing yang ingin memancing ke tengah laut. Namun Pak Nengah tidak dengan mudah memberikan perahunya disewa karena sulit mengemudikan perahu sejak pembangunan JDP.
Perubahan kedalaman laut menyebabkan perubahan arus menjadi lebih deras. Belum lagi jarak tiang pancang JDP yang sangat rapat menyulitkan perahu untuk melintas di bawahnya.
Dia hanya menyewakan kepada orang yang sudah diketahuinya mampu mengemudikan perahu dengan baik, karena risiko kerusakan perahu membutuhkan biaya besar jika sampai menabrak tiang pancang JDP.
Kini, Pak Nengah lebih memilih membantu istrinya berjualan di warung karena pada jam makan siang pembeli di warungnya sangat ramai oleh buruh proyek JDP. Pagi dan sore pembelinya kebanyakan pemancing dan pengunjung ekowisata mangrove Wanasari.
Dia mengaku peningkatan penjualan warung selama pembangunan JDP cukup membantu ekonomi keluarganya. Meskipun sejak enam bulan lalu ada warga yang juga membuka warung sejenis di areal yang sama.
Pak Nengah berharap jika pembangunan JDP selesai pembelinya tetap ramai seperti sekarang. Jika sudah beroperasi, dia berharap JDP bisa membawa pengunjung lebih ramai ke ekowisata mangrove Wanasari baik untuk berekreasi dan memancing. Dengan begitu rezekinya akan terus mengalir. [b]
menarik nih. ternyata gede juga pendapatan mereka, sampai 1 juta per hari. itu bener kan ya?
cuma, yg perlu diperhatikan itu setelah proyek selesai. apakah mereka masih akan mendapatkan penghasilan sama? atau mereka malah akan “mati” karena sudah tak bisa melaut lagi?
kalau gerbang keluar JDP arah bandara ini selesai, apakh pak nengah masih bisa jualan di sana?
Mas anton: dari penuturan pak nengah begitu mas. 1 Juta itu pendapatan kotor (total penjualan) besaran labanya saya rasa tidak etis menanyakannya 🙂
Mbok luhde: Sebenarnya itu merupakan tanah desa Adat (laba pura). Pengelolaannya juga belum secara profesional mengenai hak dan kewajiban. Memang berpotensi menimbulkan konflik kedepannya. Semoga pemerintah desa dan kelompok nelayan bisa merumuskan solusi terbaik.