MEN COBLONG benar-benar nelangsa.
Sesungguhnya apakah yang ingin diperbaiki oleh negeri ini. Di bulan Juni, bangsa ini merayakan hari kelahiran Pancasila, yang membuat umat yang hidup di seluruh ceruk negara Indonesia harus menyadari bangsa kita adalah bangsa yang majemuk. Bangsa yang memiliki beragam budaya dan busana, juga berbeda cara menghadap Tuhannya.
Kita paham, bahkan khatam bahwa bangsa ini sesungguhnya sedang mengalami luka “borok” cukup ganas. Untuk itu diperlukan teknologi canggih mencari “imunisasi” paten untuk mengusir segala rusuh dan kecurigaan antar sesama umat Indonesia terhadap prilaku beragama. Sangat menyedihkan ketika bangsa ini mulai terserang “penyakit” merasa lebih unggul, dibanding yang lain.
Sesungguhnya jika mau merunut sejarah, harusnya bangsa ini “wajib” sadar bahwa sesungguhnya “persaudaraan”, “kerukunan” kita sedang dicederai. Kepercayaan makin digerus. Karena apa? Karena beragam kebijakan-kebijakan yang diambil para petinggi negeri ini makin hari lebih rumit dari makna sebuah “puisi”.
“Kamu itu ada-ada saja. Apa hubungannya puisi dengan beragam peraturan di negeri ini?” sahabat Men Coblong mendelik sambil menatap Men coblong serius. “Aku paham, kamu itu penulis cerita, juga penulis puisi yang pandai bersilat kata-kata yang hanya kamu pahami. Jangan aneh-aneh. Peraturan kok disamakan dengan puisi, agaknya kau juga mulai pandir. Ikut-ikut membingungkan.”
“Ini serius. Coba kamu bayangkan, setiap peraturan yang diucapkan pejabat B, diplintir pejabat C, diterjemahkan berbeda lagi dengan pejabat D. Yang mana sesungguhnya omongan-omongan itu layak kita percaya? Harusnya setiap hal yang menyangkut keputusan publik sebaiknya dibicarakan dulu dengan para pejabat-pejabat itu. Sehingga keputusan yang sudah mereka pahami benar-benar satu suara. Makanya kubilang peraturan dan beragam keputusan di negeri ini lebih rumit dari “puisi”,” Men Coblong tetap ngotot.
Sahabat Men Coblong menatap lebih serius ke dalam mata Men Coblong.
“Iya juga ya. Katanya korupsi harus diberantas. Tapi faktanya orang-orang yang mendukung anti korupsi justru di perkusi,” sahabat Men Coblong mulai paham arah pembicaraan Men Coblong.
Sebelumnya pada 29 Mei 2018 KPU menyatakan keputusan untuk memasukkan larangan mantan napi kasus korupsi menjadi caleg ke dalam peraturan KPU tentang pencalonan sudah final. “Sampai sekarang keputusan kami belum berubah terkait rencana itu (melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg),” kata Komisioner KPU Ilham Syahputra.
“Kau masih ingat kan pernyataan itu?” tanya Men Coblong serius.
Sahabat Men Coblong semakin paham. Sesungguhnya lebih rumit memahami bahasa para pejabat.
Men Coblong terharu ternyata di tengah beragam virus “penyakit” masih ada juga orang-orang yang waras.
Aturan larangan eks napi korupsi menjadi caleg yang digodok KPU masih mendapatkan penolakan. Sungguh suatu hal yang aneh. Masak sih ada orang yang “tega” dan bersedia memilih wakilnya yang hobi korupsi?
Men Coblong senang dengan beragam penolakan, tetapi KPU memastikan melanjutkan penyusunan peraturan KPU (PKPU) untuk segera disahkan.”Ya, jalan terus. (Saat ini) sedang difinalisasi. Disusun ulang, dibaca lagi, dicermati lagi. Karena nanti saat dibawa ke Kemenkum HAM tinggal akan diundangkan saja,” kata anggota KPU Hasyim Asy’ari.
KPU mengatur pelarangan tersebut dalam peraturan KPU atau aturan internal parpol soal rekrutmen caleg. KPU mengusulkan larangan ini masuk dalam Peraturan KPU Pasal 8 tentang pencalonan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Namun usulan ini tak disetujui Komisi II DPR, yang tetap ingin eks napi kasus korupsi tak dilarang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
KPU RI heran dengan sikap Komisi II DPR yang keberatan dengan rancangan PKPU soal larangan eks napi korupsi untuk mencalonkan diri jadi anggota DPR ataupun anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Draf Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur eks narapidana kasus korupsi dilarang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif segera rampung. Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mendukung aturan yang dibuat KPU itu.
“Kami sangat mendukung ya upaya pencalonan anggota DPR/DPRD dari KPU yang melarang parpol untuk mencalonkan mantan napi korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak. Bagi kami ini terobosan hukum luar biasa yang bertujuan juga untuk menjaga integritas hasil pemilu kita,” kata Titi saat berbincang via telepon, Sabtu (26/5/2018).
Padahal sebagai umat negeri ini Men Coblong sadar eks koruptor dilarang nyaleg bisa membantu proses seleksi para caleg yang berlaga di Pemilukada. Sebab, Pemilu menentukan tata kelola pemerintahan yang akan datang.
Yang mengikis “penyakit” di negeri ini adalah korupsi. Sungguh aneh, para petinggi negeri ini justru menolak satu-satunya solusi untuk menata negara ini lebih baik justru ditolak.
Bulan Juni, bulan Pancasila. Semoga di tengah hiruk pikuk “tahun politik” ini para aparatus itu sadar tugas mereka membasmi habis segala bentuk “kecurangan” termasuk korupsi. Karena sampai hari ini Men Coblong belum melihat orang-orang yang tertangkap korupsi merasa malu.
Benar kan, lebih rumit dari “puisi” para aparatus itu? [b]