Oleh Swastinah Atmodjo
Belum lama ini, Denpasar mendapat penghargaan dari pemerintah pusat sebagai juara tiga dalam penilaian tata ruang kota, setelah Semarang dan Surabaya. Dari sisi apanya ya kok bisa? Pertanyaan itu otomatis muncul. Dari sudut pandang bagaimana penilai memberikan award tersebut?
Penghargaan tersebut menurut pengamat tata ruang Nyoman Gelebet pantas diberikan ke Denpasar menyangkut prinsip-prinsip tradisi. Namun dari sudut pandang masa kini, dinilainya kurang tepat. Sebagai ibukota provinsi, lanjutnya, aspek tata kota Denpasar masih cukup baik. Terutama di kawasan Denpasar Timur seperti Kesiman dan Sanur masih mempertahankan tradisi masa lalu semisal adanya telajakan, yaitu ruang atau space antara 1- 2 meter dari tembok rumah ke jalan. Ini biasanya oleh warga dimanfaatkan untuk menanam tanaman hias atau tanaman obat sehingga rumah lebih asri.
Yang membuat semrawut adalah beban masa kini semisal transportasi dan pengembangan bisnis, tegas Gelebet. Telajakan kini telah berubah menjadi trotoar. Belum lagi bila ada pelebaran jalan, pelinggih atau sanggah pun terpaksa dipindahkan atau malah ditiadakan.
Ia juga menyayangkan berdirinya perkantoran perusahaan di pusat kota dengan bangunan modern, seperti Kantor Pemasaran Garuda dan Pertamina di Jalan Sugianyar, sebelah selatan Lapangan Puputan Badung. ”Di situ kan ada Pura Jagatnatha dan Museum Bali. Harusnya ya jangan dirusak pemandangannya oleh bangunan modern begitu. Mereka kan perusahaan kaya, kenapa tidak membangun di tempat lain. Jangan memikirkan image usaha saja, tapi pertimbangkan pula pelestarian seni tradisi yang menjadi kekuatan dan daya tarik kita.”
Terlebih Denpasar mempunyai program wisata kota dengan puri, pura, pasar tradisional dan museum sebagai andalannya. ”Apa yang dijual, tidak lain tradisi,” tegas Gelebet. Biar pun kesannya sudah terlambat, menurut Gelebet tidak ada salahnya pemerintah maupun masyarakat sekarang mulai berlaku selektif terhadap pemberian perizinan dan rencana pembangunan, ”Jangan di semua tempat dijadikan ruko.”
Ia juga teramat prihatin dengan kawasan setra (kuburan) yang berubah menjadi kawasan pameran dagang semisal di Sesetan dan Gunung Agung. ”Setra itu sengaja di lahan luas, karena untuk prosesi penguburan maupun pembakaran mayat perlu tempat. Tapi sekarang malah dipangkas, dijual dengan menjadikannya tempat pameran dagang seperti itu, kan menyedihkan,” ucapnya.
Kata Gelebet, sepuluh tahun lalu di kawasan Denpasar masih banyak terlihat angkul-angkul atau penyengker di setiap rumah. Ketika Galungan tiba, warga memajang penjor di tempat tersebut sehingga tampak berderet rapi dan indah. Ia menambahkan, ”Sepuluh tahun mendatang tidak tahu jadinya, apalagi kalau pemimpinnya kurang perhatian terhadap masalah akar tradisi.” Sistem banjar yang begitu kuat pun, kata dia, bisa terkalahkan oleh kewenangan pemerintah.
Sebenarnya, Gelebet menandaskan, Denpasar sejak awal tidak dirancang sebagai sebuah kota melainkan bagian dari Badung. Lantas dilakukan pemekaran, terbentukah Pemerintah Kota Denpasar yang terdiri atas beberapa desa. ”Perhatikan saja, disini masih banyak desa ketimbang kelurahan. Berbeda dengan kota-kota besar lainnya. Karena kota ini gabungan beberapa desa. Sawah pun masih terdapat di sejumlah kawasan semisal di Kecamatan Denpasar Timur dan Utara,” urai dosen Fakultas Arsitektur Universitas Udayana ini.
Pemerintah zaman dulu yang notabene kerajaan, telah merelokasi pusat-pusat perdagangan sehingga lebih teratur. Kawasan pecinan berada di sepanjang Jl Gajah Mada, Kampung Arab di Jalan Sulawesi, dan kawasan Jalan A Yani menjadi Kampung Jawa. ”Itu bukan untuk pengkotak-kotakan, melainkan penataan. Dan buktinya memang bagus. Kalau sekarang semua campur, kekhasan juga semakin pudar,” sambung Gelebet.
Tentang tinggi bangunan, Gelebet yang merupakan anggota penyusun perda bersama para konsultan dan ahli arsitektur dunia mengaku salut dengan Sanur. Derasnya pembangunan akomodasi pariwisata tidak merubah keasrian Sanur, yang tetap banyak tanamannya dan aturan batas tinggi bangunan tetap dihormati. Dengan begitu warga dan wisatawan bisa melihat pantai, gunung serta langit dengan bebas. Kalaupun terdapat The Grand Bali Beach yang sampai 10 lantai, dikatakan Gelebet itu pengecualian karena dibangun jauh sebelum aturan ditetapkan.
Perda tersebut menurutnya dibuat untuk menjaga atsmosfer alam Bali. Perumusannya dilakukan tahun 1970 dengan dana dari lembaga keuangan dunia. Ketika itu, lanjutnya, pariwisata dunia mulai maju sehingga masyarakat internasional turut mengantisipasi dampak buruk dari perkembangannya. Bali menjadi salah satu pilot projectnya.
Ada tiga perda yang dirumuskan yaitu no 2, 3 dan 4 tahun 1974. Perda No 2 tentang bangunan-bangunan dalam arti luas, Perda No 3 mengenai lingkungan dan Perda No 4 menyangkut batasan tinggi bangunan yang diperbolehkan melebihi pohon kelapa. ”Dari perumusan hingga penetapan memakan waktu lebih dari tiga tahun, karena ada tawar menawar konsep dengan pemerintah,” kenang Gelebet. Perda tersebut akhirnya disahkan baik oleh pemerintah Provinsi Bali maupun pusat.
Dipergunakannya patokan pohon kelapa ada cerita tersendiri, lanjutnya. Dalam tim, tokoh lokal yang terlibat dalam perumusan selain Gelebet adalah perwakilan dari Departemen agama dan Pengelola Gedung Kertya. Awalnya patokan tinggi bangunan adalah pohon kepuh, semacam pohon peredu yang biasa ditanam di setra (kuburan). Tingginya bisa 10 – 20 meter.
Mengingat kurang populernya pohon kepuh, seorang arsitek Belgia yang juga anggota tim mengusulkan penggantiannya dengan pohon kelapa. Alasannya, kelapa lebih familiar. ”Keinginan mengubah perda itu sudah terlontar sejak dulu, dan selalu gagal. Itu hanya keinginan atau pikiran seorang makelar tanah. Saya salah satu yang selalu menentangnya. Sampai kapan pun, kalau Bali masih ingin diminati wisatawan, perda tersebut harus dipertahankan selain karena sangat sesuai dengan kondisi alam Bali sebagai pulau kecil.”
apalagi di jl. mahendradata bypas yang dari malboro tembus ke gunung agung sekarang banyak bangunan yang didirikann, dan itu membuat pemandangan tidak lagi indah, dan sawah-swah pun mulai berkurang. Apkah lahan di Bali akan semakin habis karena maraknya pembangunan beton-beton (alias penanaman beton)