I Ngurah Suryawan, Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa
Masyarakat antropologi Indonesia pada 9 Fabruari 2024 menyuarakan keprihatinan yang berisi pesan keteladanan dalam membangun demokrasi yang berdaulat dan bermartabat. Acara tersebut berlangsung di kediaman Bung Hatta di Jakarta. Sebelumnya, berbagai insan academia dari berbagai kampus di negeri ini juga menyuarakan keprihatinan semakin carut-marutnya politik yang meghalalkan berbagai cara untuk kekuasaan.
Salah satu pidato Bung Hatta, Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensia (1957) juga sudah mewanti-wanti para-academia bahwa berdiam diri melihat kesalahan dan keruntuhan masyarakat atau negara berarti mengkhianat pada dasar kemanusiaan, yang seharusnya menjadi pedoman kaum intelegensia pada umumnya.
Bung Hatta adalah salah satu negarawan dan pemimpin republik yang memberikan ketauladanan dengan melihat politik tidak semata-mata cara meraih kekuasaan dengan berbagai macam cara, tapi jauh melampaui itu, yaitu kesadaran bahwa kekuasaan memiliki limitasi ketika mengarah ke otoritarianisme. Kekuasaan yang otoriter akan melahirkan gelombang perlawanan untuk meruntuhkannya. Satu hal lain lagi yang selalu didengungkan Bung Hatta adalah demokrasi yang menekankan prinsip sosialisme berupa persaudaraan, keadilan, dan kesetaraan. Nilai-nilai inilah yang banyak absen dalam kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini.
Seruan yang disampaikan oleh para-academia ini tentu berimplikasi politik serius. Hal itulah yang kemudian dipertanyakan dengan tudingan bahwa para guru besar dan komunitas akademik di kampus partisan karena baru bersuara menjelang pemungutan suara 14 Februari 2024. Seruan ini dianggap juga merugikan salah satu calon presiden dan menguntungkan calon presiden lainnya.
Tapi alih-alih merespon dengan mencermati substansi seruan, pemerintah justru menanggapi suara insan academia ini dengan sangat pragmatis yaitu menyempitkan sekaligus mendangkalkan subtansi seruan. Cara berpikir pragmatis ini biasanya akan menerabas etika, moral, dan nilai bersama. Cara tidaklah penting, tapi tujuan yang utama. Padahal dalam cara itulah komunitas dan negara bangsa ini berjuang untuk menyepakati etika, moral, dan nilai-nilai Reformasi 1998 untuk masa depan demokrasi Indonesia.
Memperjuangkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi suatu keniscayaan. Jika tidak, sebenarnya kita sedang mempertaruhkan peradaban negara bangsa ini. Kita perlu berefleksi secara mendalam apakah nilai-nilai untuk melawan rezim otoritarian dan KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) yang diperjuangkan rakyat, mahasiswa bersama elemen masyarakat sipil pasca Reformasi 1998 berjalan dengan baik di berbagai sendi kehidupan saat ini?
Kebatinan
Saya merefleksikan seruan insan academia tersebut dengan perspektif yang melampaui pragmatisme yaitu menjadi suara kebatinan yang semestinya dihayati secara mendalam dalam pergumulan komunitas, negara bangsa, dan totalitas gerakan kebudayaan. Saya mengikuti pandangan Ki Hadjar Dewantara yang meyakini nilai-nilai kebatinan yang menyatu dalam kebudayaan negeri ini dalam kecerdaasan budi pekerti dan pendidikan komunitas, yang sebenarnya menjadi ruh dari pendidikan karakter manusia Indonesia. Nilai kebatinan itulah yang mendidik manusia Indonesia tidak terperangkap dalam pola pikir pragmatisme dan terbelenggu rezim struktural yang mematikan pergolakan serta kemerdekaan berpikir.
Kebudayaan sebagai (suasana) kebatinan masyarakat itu cair dan harus selalu cair. Kebudayaan sebagai nilai kebatinan tidak boleh dibekukan, apalagi dibirokratisasi dan dikomersialisasikan. Hanya kemapanan struktur masyarakat dan yang membeku-bekukan kebudayaan dalam lembaga-lembaga bentukannya (Laksono dkk, 2016). Relasi saling memerdekakan itulah syarat ideal bagi semua pihak yang terlibat dalam gerakan kebudayaan dan juga pendidikan karakter itu sendiri. Pada sisi lain, sisi kebatinan itu merekat kuat dalam organisasi, relasi, dan organisasi sosial yang sebenarnya tumbuh organik. Negara dan otoritasnya kemudian menindas sekaligus mengkerdilkan spirit gerakan kebatinan ini untuk berbagai kepentingan pragmatismenya.
Pragmatisme politik yang nir-etika dan nilai karena mementingkan tujuan bukan cara (proses) sejatinya merefleksikan kegagalan transmisi nilai kebatinan tersebut. Pendidikan gagal memberikan oase untuk menjadi teladan (momong), prakarsa (among) dan fasilitator (ngemong) yang menyemaikan nilai kebatinan tersebut (Laksono dkk, 2016). Maka lahirlah orang-orang Indonesia yang sebenarnya tidak melakukan gerakan pembaharuan dalam dirinya karena menyingkirikan nilai kebatinan dengan pragmatisme.
Tingkah polah adab berpolitik yang menindas spirit dan nilai gerakan kebatinan itulah yang kita saksikan akhir-akhir ini. Berbagai cara berpikir pragmatis muncul menuduhnya mencari momentum menjelang Pemilu 2024. Tentu, sikap dan gerakan insan academia akhir-akhir ini tidak muncul begitu saja, tapi justru merupakan momentum kulminasi dari berbagai praktik politik yang menindas nilai kebatinan tersebut.
Daya Ubah
Dari mana sumber nilai kebatinan tersebut? Sumbernya adalah pada komunitas di desa atau kampung seantero negeri ini. Almarhum Nico Aso Lokobal, salah satu budayawan terpenting orang Hubula/Hugula di Lembah Palim Wamena, Tanah Papua mengungkapkan bahwa salah satu spirit nilai-nilai kehidupan orang Hubula/Hugula terletak dalam totalitas relasi (keterhubungan). Totalitas relasi yang dimaksudkannya adalah keseluruhan hubungannya dengan kaum kerabat keluarga sendiri, relasi dengan anggota marga, relasi dengan alam, dan relasi dengan leluhur, serta relasi dengan Kaneke (benda sakral). Setiap anggota keluarga yang keluar dari lingkaran relasi tersebut dianggap terputus dari kehidupan. Hanya dalam dan melalui relasilah seorang anggota keluarga memperoleh keselamatan hidup. Maka dari itu, kepercayaan orang Hubula/Hugula meyakini jika ingin hidup baik harus selalu berada dalam lingkaran relasi (Lokobal, 1992: 11-12; Lakobal, 1991).
Nilai kebatinan orang Hubula/Hugula di Lembah Agung Baliem pegunungan Tanah Papua memberikan pelajaran kepada kita bahwa kekuatan dari relasi adalah solidaritas dan kesatuan itulah kekuatan untuk melakukan daya ubah sosial. Nilai-nilai relasi sosial itu yang hidup dan embedded, yaitu tertanam dan mengakar kuat dalam system sosial budaya yang hidup di tengah masyarakat. Sistem itulah yang perlahan-lahan mulai (di)hancur(kan). Tentu, hal ini tidak hanya terjadi pada orang Hubula/Hugula, tapi berlangsung massif di berbagai komunitas di negeri ini.
Penghancuran kekuatan gerakan rakyat itulah yang membuat politik pragmatis begitu mudah berkuasa merajalela pada massa-rakyat. Sehingga, buruknya situasi sosial politik hari ini sebenarnya peringatan bagi insan academia dan seluruh elemen masyarakat sipil untuk kembali mentautkan (engagement) totalitas pengetahuan, pengabdian masyarakat, dan advokasinya dengan komunitas di senatero negeri ini untuk memperjuangkan daya ubah sosial yang dirusak oleh pragmatisme kekuasaan. Situasi hari ini mencerminkan rapuhnya organisasi, relasi, dan solidaritas sosial yang terus-menerus dihantam kroni kuasa negara cum kapital.
Konsolidasi
Momentum seruan moral para-academia tersebut tentu saja tidaklah cukup. Situasi carut-marut yang terjadi akhir-akhir ini juga menjadi “dosa” para-academia dan gerakan masyarakat sipil secara keseluruhan. Apa dosanya? Membiarkan sebagian besar massa-rakyat justru diorganisir oleh oligarki—bertemunya kepentingan penguasa dan pengusaha—dan para broker yang “menjual” kata masyarakat justru untuk merampas kedaulatannya. Kondisi inilah yang tersebar secara pelan tapi pasti mengalirkan pandangan pragmatisme di tengah masyarakat.
Situasi ini diperparah dengan tiadanya komitmen dari bagian masyarakat sipil yang masuk ke arena kekuasaan. Mereka ini adalah akademisi, budayawan, mantan aktivis, tokoh masyarakat dan pemuda yang justru “membusuk” di tengah labirin kekuasaan. Situasi sosial politik akhir-akhir ini menjadi momentum untuk kembali lagi memulai kerja bersama antara academia kampus dan “academia kampung”. Tujuannya adalah membangun kembali lagi reruntuhan pondasi gerakan masyarakat sipil yang diporak-porandakan kekuasaan. Tentu ini tidak mudah karena hasrat penghancuran akan terus membayangi.
Tentu para-academia tidak cukup hanya membuat seruan moral semata. Semuanya harus dibumikan di tengah masyarakat, ditautkan dalam sebuah agenda konsolidasi gerakan masyarakat sipil, dan diperjuangkan dalam sebuah gerakan sosial politik yang massif. Jika tidak, seruan moral para-academia tersebut akan dengan mudahnya dicampakkan hanya oleh Bansos ratusan ribu rupiah.