Panas sangat terik pada Jumat (2/11/2018) lalu di kaki Gunung Agung, Karangasem, Bali. Debu beterbangan karena angin kencang, menempel di wajah berpeluh, baju, dan kamera. Hampir 300 siswa SMP dan gurunya berlarian ke dua titik kumpul sambil melindungi kepala dengan tangan dan tas.
“Linuh, linuh. Hidup, hidup,” teriak sebagian siswa. Linuh adalah istilah lokal untuk gempa. Hidup merujuk pada doa dan harapan. Kata-kata yang sering terucap oleh warga Bali saat gempa mengguncang.
Drone sudah mengudara dioperasikan peneliti Institut Teknologi Bandung, Dr. Asep Saepuloh. Siap merekam simulasi evakuasi jika ada bencana seperti gempa bumi. Dalam waktu sekitar 50 detik, semua anak dan guru sudah berkumpul di titik aman, halaman sekolah di Utara dan Selatan. Tiap kepala sekolah langsung mengabsen, memanggil tiap nomor siswa sesuai daftar siswa per kelas agar proses lebih cepat.
Ternyata ada dua siswa yang belum berkumpul. Beberapa siswa terlatih dalam kegiatan ketangkasan membawa tandu rakitan dari tali pramuka dan tongkat mencari 2 siswa ke dalam kelasnya. Dua siswa perempuan berhasil dievakuasi ke halaman karena sakit tak bisa lari.
Drone terus merekam tiap adegan dan mencatat waktu-waktu per tahapan simulasi siaga bencana di SMP Negeri 5 Kubu, sekitar 3 jam berkendara dari Sanur, Denpasar ini. Sehari sebelumnya, Asep juga menerbangkan drone dan memotret dan merekam video lokasi sekolah dan lingkungan sekitarnya dari udara.
Di hari pertama, peneliti ITB lain, Dr. I GB Eddy Sucipta, ahli geologi ini menceritakan pada siswa dan guru apa itu gunung api, dan menayangkan video jenis-jenis letusan di sejumlah daerah dan negara. Juga dijelaskan apa perbedaan lahar dingin, magma, dan bentuknya. Lokasi sekolah ini pernah dilalui awan panas saat Gunung Agung meletus tahun 1963.
Kemudian di hari kedua sebelum simulasi evakuasi dilaksanakan, para peneliti ini dengan bahasa yang mudah dimengerti menjelaskan ke siswa dan gurunya apa hasil pemetaan dan risiko bahaya karena lokasi dan situasi sekolah mereka.
Asep Saepuloh memulai dengan memperlihatkan foto-foto situasi sekolah dari udara. Dari hasil analisisnya, jarak lurus dari puncak gunung ke sekolah sekitar 12,7 km. Disimulasikan, jika gunung meletus dan mengeluarkan awan panas dengan kecepatan 150 km/jam (rata-rata kecepatan awan panas 300 km/jam) waktu yang diperlukan untuk evakuasi sekitar 4,8 menit saja.
Jarak yang harus dilalui sampai melewati jembatan dengan sungai besar aliran lahar sekitar 1,2 km. “Apakah memungkinkan lari sekitar 5 menit sampai melewati jembatan?” pria peneliti di Lembaga Pengabdian Masyarakat ITB ini memancing diskusi. Sementara dari hasil pemetaan, kondisi sekolah hanya ada satu pintu gerbang untuk masuk. Berukuran relatif kecil, apalagi jika ratusan orang keluar bersamaan. Risiko lain, hiasan arsitektur pintu gerbang bagian atas terlihat besar dan berat, jika runtuh sangat membahayakan kerumunan yang melewati.
Jalan utama sekolah melingkar menuju jalan raya, padahal jika dibuatkan jalan langsung lurus ke arah jalan bisa memperpendek waktu karena jaraknya kurang dari 200 meter. Peneliti merekomendasikan beberapa pintu darurat tambahan. Tinggi lantai kelas dengan halaman cukup terjal sekitar 80 cm, jadi siswa diminta berhati-hati saat lari dan melompati jika menuju titik kumpul.
Ada sejumlah hasil pemetaan lain terkait situasi sekitar sekolah. Misal sungai jalur lahar di dekat sekolah yang bisa melebar alirannya karena ada penambangan pasir yang menambah kemiringan tanah. Direkomendasikan pembuatan tanggul untuk mencegah limpasan lahar dingin.
Data penting lainnya, jika tsunami, ketinggian sekolah sekitar 25-30 meter dari laut dan ini cukup tinggi, dengan catatan tetap menjauhi pantai jika ada peringatan tsunami. Jarak sekolah ke pantai sekitar 300 meter.
Selain membuat pemetaan kerawanan sekolah, para peneliti ini juga memeriksa sejumlah sampel hasil letusan. Misalnya ditemukan kemungkinan endapan awan panas letusan-letusan sebelum 1963, seperti letusan1830.
Guru diberi catatan untuk mempersiapkan fasilitas pendukung keselamatan, seperti ruang kesehatan, P3K di tiap kelas, masker, dan helm jika ada. “Paling penting rambu-rambu bahaya dan rute evakuasi menuju titik kumpul. Biar oarang tuanya juga tahu ke mana anak mereka jika dievakuasi,” ingat Asep.
Siswa dan guru SMPN 5 Kubu, Karangasem menjadi lokasi pelatihan dan sosialisasi Sekolah Siaga Bencana (SSB) pada 1-2 November 2018 yang dilaksanakan oleh tim Kelompok Keahlian (KK) Petrologi, Vulkanologi, Geokimia, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB), Institut Teknologi Bandung (ITB) didukung komunitas filantropis I am An Angel (IAA).
Gunung Agung mempunyai potensi untuk meletus atau gempa pernah terjadi di daerah Kubu sehingga berisiko menjadi bencana karena di sekitar gunung banyak rumah, sekolah, dan lainnya yang bisa mengancam nyawa. Sekolah adalah salah satu lokasi yang paling berisiko karena banyak siswa, guru dalam satu area sedang belajar mengajar.
Upaya penyelamatan diri dan pengurangan risiko yang bisa dilakukan adalah sosialisasi SSB dan melatih bagaimana cara penyelamatan yang aman. Sejumlah hal yang harus dipertimbangkan di antaranya akses masuk dan keluar yang aman termasuk untuk tempat pengungsian sementara bagi masyarakat saat bencana. Fasilitas sanitasi dan air bersih yang memadai, pemantauan, pendanaan dan pengawasan terus menerus untuk perawatan fasilitas dan keselamatan, serta rambu keselamatan memadai.
Komponen pendidikan siaga bencana ada beberapa pilar. Pertama adalah fasilitas sekolah aman. Meliputi desain dan pembangunan sekolah yang sesuai dengan aturan dan standar keamanan bangunan, kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dan fasilitasnya pasca bencana, dan melakukan perawatan sarana dan prasarana pendidikan.
Indonesia merupakan daerah rawan gempa bumi karena dilalui oleh jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Indonesia juga memiliki gunung api aktif terbanyak di dunia, 127 buah, beberapa di antaranya merupakan letusan gunung api terkuat yang pernah ada. Meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1815, Gunung Krakatau pada tahun 1883, Gunung Agung pada tahun 1963, Gunung Galunggung pada tahun 1982, dan Gunung Merapi pada tahun 2010 menjadi catatan sejarah yang selalu dikenang oleh masyarakat Indonesia.
Selain itu, ratusan siswa dan guru juga dilatih tim jurnalisme warga Balebengong mengenal berita bohong (hoaks) agar tidak mudah panik dan menyebar informasi salah. Para siswa bercerita, menggambar, dan menuliskan pengalaman ketika harus mengungsi tahun lalu sebagai salah satu cara berbagi dan melepas trauma. Ni Ketut Ayu Sriani, 13 tahun dari Desa Tulamben dengan runut menuliskan perasaaan saat harus mengungsi pada 22 September 2017 lalu. Pada malam hari beredar foto-foto gunung penuh lava di medsos dan diyakini Gunung Agung sudah meletus. Humas Badan Penanggulangan Bencana Nasional kemudian menyebut hoaks karena itu letusan Gunung Tambora.
Ayu dan ribuan warga lain keluar rumah, berkendara, dan jalanan macet total. “Ada banyak gempa dan keluargaku takut,” cerita remaja perempuan ini. Ia tiba pagi hari di tempat mengungsi, Kota Tabanan, setelah semalaman berkendara menembus kemacetan karena panik. Padahal Karangasem-Tabanan bisa ditempuh dalam waktu 3-4 jam berkendara. Setelah mencari kos, Ayu harus memikirkan daftar sekolah terdekat karena imbauan melanjutkan sekolah walau sedang mengungsi.
Guru-guru sekolah ini pindah belajar sekitar 2 bulan dengan menumpang di desa tetangga, Jemeluk. Sementara para siswa tersebar di sejumlah kabupaten karena mengikuti keluarganya.
Asana Viebeke Lengkong dari IAA ingin mendampingi sekolah ini sebagai sekolah yang siap siaga bencana. Ia memperhatikan rekomendasi para peneliti untuk meningkatkan sarana dan minta para guru serius memberi perhatian. “Anda adalah kunci keselamatan siswa,” serunya.