Oleh Anton Muhajir
Meski produksinya sudah lancar, petani organik di Bali masih mengalami masalah di pemasaran. Mereka masih menghadapi rantai pemasaran produk pertanian yang sangat panjang dan merugikan.
Bedugul adalah salah satu pusat produksi sayur di Bali. Meski demikian, nasib petani sayur di sana justru tak sebagus pesona alamnya. Menurut Wayan Kanten, petani sayur di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng petani masih mendapatkan masalah pemasaran.
“Selama ini petani tetap miskin ternyata karena permainan di tingkat pemasaran. Sebab para pemain di rantai pemasaran sangat jahat. Mereka tidak ingin petani mengetahui pasar,” kata Kanten.
Menurut Koordinator Kelompok Tani Muda Mandiri tersebut, untuk memasarkan sayur-sayuran, petani setempat menempuh rantai pemasaran sangat panjang. Setelah panen paprika, tomat, wortel, sawi, dan sayuran lainnya, petani tidak langsung bisa menjualnya ke pasar.
Dari petani, sayur itu terlebih dulu dijual ke tengkulak, yang rata-rata adalah warga desa setempat. Petani tidak menjual ke tempat lain karena pada umumnya, sayur itu sudah dibeli tengkulak sebelum panen. Sistem pembelian yang disebut ijon ini terpaksa dipilih petani karena mereka terlilit hutang pada tengkulak.
“Akibatnya harga sayur pun terserah tengkulak. Kalau tidak dijual toh sayur itu akan busuk dan tidak laku. Petani ya mau tidak mau menjual dengan harga berapa pun,” kata Kanten.
Parahnya lagi, petani sering tidak langsung dibayar setelah sayur itu dibeli tengkulak. “Sistem pembayarannya tidak fair. Biasanya menunggu sampai dua atau tiga bulan kemudian baru kami dibayar. Itu pun tidak dibayar semuanya, tapi hanya sebagian,” tambah lulusan Fakultas Ekonomi IKIP Singaraja ini.
Oleh tengkulak, sayur-sayuran dari Bedugul itu dijual lagi ke pengepul yang biasanya berada di tingkat kota kecamatan. Tidak sedikit pula pengepul ini tinggal di Denpasar. Harga di Denpasar, berjarak sekitar 60 km dari Bedugul, pun naik dibanding harga yang dibeli tengkulak dari petani.
Dari pengepul, sayur dibeli oleh supplier di Denpasar yang kemudian menjualnya ke konsumen. Misalnya ke pasar atau hotel. Menurut Kanten, kalau pengepul mendapat pembayaran, mereka malah menggunakannya untuk keperluan sendiri.
Panjangnya rantai pemasaran ini, menurut Ni Luh Kartini, Koordinator Bali Organic Association (BOA), menyebabkan perbedaan harga cukup tinggi dari petani hingga konsumen. “Petani tidak pernah tahu berapa harga produk mereka dijual di pasar,” kata dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana Bali ini.
Karena itu, tambah Kartini, sistem pemasaran produk pertanian di Bali pada umumnya memang tidak fair. Petani tidak pernah dilibatkan dalam penentuan harga produk mereka. “Jadi yang kaya adalah tengkulak, pengepul, dan supplier. Sementara di sisi lain petani tetap miskin,” tambahnya.
“Kami sepenuhnya tergantung pada situasi pasar. Kalau harga sayur sedang naik, posisi tawar kami akan naik. Tapi, sebaliknya, kalau harga sayur turun, posisi tawar kami juga lemah,” kata Ketut Wiantara, petani lain yang juga anggota kelompok tani ini.
Sadar bahwa posisinya sangat lemah, maka petani di Pancasari membuat kelompok tani. Mereka juga mendapat advokasi pemasaran dari BOA. Dari sinilah, petani bisa membuka pasar lebih baik. Saat ini, produksi mereka dipasarkan ke beberapa toko maupun restoran organik seperti Bali Budha, Manic Organic, termasuk ke Aero Catering Service (ACS) di Bandara Ngurah Rai, Tuban.
Sebagai contoh, untuk ACS, petani anggota kelompok ini mengirim 4 kuintal sayur per hari. Omsetnya sampai Rp 27 juta per bulan.
Dengan sistem ini, kata Kartini, petani bisa langsung bernegoisasi dengan pembeli terkait harga produk pertanian.
“Enaknya lagi kami bisa mendapat pembayaran langsung tunai,” kata Wiantara.
Malang benar ya nasib petani kita,padahal terus terang aja bahwa kita ini kan masih sangat tergantung dari pertanian dalam negeri,bayangkan kalau petani kita pada ngambek semua, apa mau kita makan produk sayuran import yg ulat saja ngga sudi mengkonsumsinya.
Salut buat Ibu Ni Luh Kartini yg mau membantu pak tani mencari solusi pemasaran.
Oh ya kebetulan hari ini saya ikut meeting dengan GM ACS yg kebetulan membicarakan juga rencana menggunakan sayuran organic pada menu ACS ,mudah mudahan saya dan temen teman bisa mendorong program ini sebagai awal dari kegiatan baru yaitu back to nature,dan kita akan belajar bagaimana menghargai alam ini.
salam hormat buat semuanya.
maaf, pak…
saya (mahasisiwa kimia UGM) tertarik dan salut sama penelitian ni luh kartini, terutama tentang dampak pestisida dalam ASI.
kalo blh, saya mau minta alamat email nya beliau…
terimakasih..
nb:tlg bls ke email saya saja
Terima kasih atas info-nya. Sangat bermanfaat. Semoga Bali Organic Association (BOA) sukses dalam meningkatkan kesejahteraan para petani di Bali.
Saya ingin tahu lebih banyak tentang pertanian organik. Bisa minta email ibu Luh Kartini? Terima kasih sebelumnya.