Dikirim Arief Budiman
Kita baru saja kehilangan salah satu orang terbaik negeri ini, dr A.A. Made Djelantik telah berpulang meninggalkan kita semua dengan begitu banyak nilai untuk kita teladani. Berikut saya sampaikan sebuah memoar dari Horst Jordt, presiden Walter Spies Society, Germany yang mengenal secara dekat sosok dr. Djelantik. Selamat jalan pejuang sejati…
Denpasar, 5 September 2007
Para anggota dan sahabat-sahabat “Walter Spies Society Jerman” yang terhormat,
Pada malam antara tanggal 4 menuju tanggal 5 September yang lalu telah berpulang dr. Anak Agung Made Djelantik dengan tenang di rumah sakit yang dahulu didirikan olehnya yaitu “Rumah Sakit Sanglah”. Direktur dari rumah sakit ini telah menyatakan kepada saya bahwa rumah sakit ini akan segera memakai nama dr. A.A. Djelantik.
Di saat itu hanya para keluarga dan teman-teman yang paling akrab berada disisinya.
Beberapa hari yang lalu telah saya bawakan sekuncup bunga anggrek putih ke tempat tidur di kamar sakitnya. Saya telah membawa juga dan menunjukkan kepadanya dalam bentuk yang baru dicetak untuknya karya Spies yang paling disenanginya, yang berjudul ” Scherzo fuer Blechinstrumente ” dan menulis di bawahnya:
“Dear dr. Djelantik! Once it was You, who advised and encouraged us to found the ‘Walter-Spies-Society Germany’ Thanks for all Your support. We admire You, we love You!”
Beliau sangat terharu dan mencoba tersendat-sendat berbicara mengenai ” Scherzo “. Setelah beliau sadar bahwa saya tidak bisa mengerti maksudnya, beliau merubah situasi menyedihkan ini dengan senyum dari kondisinya yang lemah sambil mengacungkan jempolnya ke saya.
dr. AA Madé Djelantik adalah pendiri “Yayasan Walter Spies Bali” dan sejak itu dengan kerja keras beliau setiap tahun dan kemudian karena masalah dana setiap 2 tahun mengadakan “Walter-Spies-Festival” dengan menfokuskan tema musik dan tari-tarian. Beliau mengingatkan para guru tari Bali untuk mementaskan kembali tari-tarian yang hampir terlupakan. Demikian juga koreograpi-koreograpi modern. Salah satu acaranya yang luar biasa adalah “Walter-Spies-Festival 1995?.
dr. Djelantik telah dipilih oleh Presiden Sukarno untuk mendirikan fakultas kedokteran di Universitas Udayana dan mengajar juga untuk beberapa tahun kemudian di situ. Selanjutnya beliau mengajar “Estetika ” di Akademi Seni Rupa ISI di Denpasar.
Setelah memutuskan untuk mempelajari kedokteran, maka beliau memulai studinya di Amsterdam. Pada tahun 1948 sebagai dokter muda bertugas di beberapa pulau di negeri Indonesia yang masih terbagi dua. Di antaranya di tempat pengasingan Pulau Buru yang diperintahkan oleh teman kecilnya Anak Agung Gede Agung, yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia Timur. Beliau dicurigai mempunyai hubungan yang meragukan dengan Ngurah Rai, teman sekolahnya yang melakukan perang gerilya di Bali. Kemudian setelah Belanda meninggalkan Indonesia, Dr. Djelantik baru mendapatkan kedudukannya sebagai dokter di Bali.
Tidak lama kemudian beliau diangkat menjadi kepala dokter yang bertanggung jawab untuk kebutuhan kedokteran seluruh provinsi Bali. Demikian juga tugas sebagai dokter pribadi Presiden Sukarno bila Proklamator ini datang dan berada di Tampaksiring. Pada saat itu beliau juga diberi tugas oleh Presiden Sukarno untuk membuka fakultas kedokteran di Universitas Udayana. Disamping itu Dr. Djelantik juga memegang jabatan sebagai Direktur Rumah Sakit Sanglah yang telah beliau membangun sebelumnya.
Setelah berpensiun dr. Djelantik diberi tugas oleh WHO ke negara-negara Afghanistan, Irak, Somalia dan Nepal sebagai ahli penyakit Malaria.
Beliau adalah seorang Bali yang bersifat luar biasa, berpendidikan tinggi, sangat berakar pada budayanya, hebat dalam pemikirannya. Pada banyak situasi beliau telah terbukti bekerja dengan mengagumkan dan menunjukkan keberanian yang besar.
Di samping bersemangat terhadap pekerjaan kedokterannya, besar juga minatnya terhadap musik klasik Eropa, seni lukisan, sastra dan filosofi, di mana semua yang ditulis oleh filosof Jerman dalam bahasa aslinya telah dibacanya. Pada satu acara perpisahan kematian untuk seorang teman dari Belanda, Dr. Hans Rhodius, penulis biografi Spies, beliau menyampaikan sambutan sepontan dalam Bahasa Belanda kelas atas yg. bahkan tidak di kuasai lagi oleh orang-orang Belanda kebanyakan. Ini amat mengharukan para tamu yang lantas mengucapkan pujiannya. Mereka sudah sejak lama tidak pernah mendengar pembacaan kesustraan yang demikian bermutu.
Sudah tentu tantangan hidupnya tidak akan bisa dikuasainya bila dia tidak mengabungkan kemampuannya dengan humornya, ironi dan ironi terhadap dirinya. Beliau dengan piawai mampu menolak perintah-perintah yang dianggapnya kurang masuk akal yang berasal dari otoritas pemintahan tanpa menyebabkan semua pihak menjadi tersinggung.
Beliau menggabungkan kesederhanaan dan percaya diri sendirinya, di mana berkat pendidikan yang didapat di Puri Agung Karangasem, istana dari ayahnya, raja terakhir Bali Timur.
Dr. Djelantik menulis riwayat hidupnya dalam otobiografi “The Birthmark – The Memoirs of a Balinese Prince” dan buku ini juga sebagai peringatan untuk istrinya Astri Swart yang meninggal di tahun 1997. (’Periplus’ Singapore 1997).
Setelah beliau di tahun 1999 siuman dari komanya di mana tubuhnya menjadi cacat, tetapi secara jasmani masih sehat, mulailah beliau melukiskan riwayat hidupnya dalam lukisan-lukisan. Lukisan tersebut yang diterjemahkan oleh Idanna Pucci, seorang penulis dari kebangsaan Itali yg. sangat briliant, berhasil menterjemahkan lukisan itu kedalam bahasa yg. Mudah dimengerti dan amat berkelas dan diterbitkan dengan judul “Against All Odds – The Strange Destiny of a Balinese Prince” (’Saritaksu’ Bali, 2005)
Pada tahun 1990 beliau mempublikasikan bukunya yang berjudul “Balinese Paintings” di Oxford University Press Singapore . Kemudian di tahun 1999 “Estetika – Sebuah Pengantar” diterbitkan oleh ‘Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia’, Bandung. Di tahun 1995 beliau telah menulis “The Magic Realism of Walter Spies” di halaman muka untuk katalog pameran “Walter Spies di Indonesia” dan sering memberi ceramah didepan forum mengenai Walter Spies.
Banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat di Bali saat ini menundukkan kepala di hadapan Dr. AA Made Djelantik yang terbaring diatas bale dirumahnya di Denpasar. Beliau pada tanggal 12 September akan diantar ke Istana keluarganya “Puri Agung Karangasem” di Amlapura, dimana mayatnya sesuai adat Hindu Bali akan dikremasikan pada tanggal 13 September. Abunya akan dihanyutkan ke laut melalui pantai di depan Istana Air Ujung.
Dengan rasa duka dan hormat yang dalam untuk Dr. Anak Agung Made Djelantik, Presiden kehormatan kita, kami mengucapkan Selamat Jalan ke tempat yang damai.
Horst Jordt
Dr. Djelantik sangat membanggakan. Terutama juga karena komitmennya terhadap seni dan budaya. Figur yang jarang kita temui di masa seperti sekarang ini. Bon voyage Dr. Djelantik
L.S.;
This prince and unofficial king of karangasem for some years from 1991 was a veryt helpfull man and never pushed you away.
I feel honoured to have known personally a bit this very friendly Bali prince.May his soul rest in peace.
Yours sincerelly:
DP Tick gRMK
secretary Pusat Dokumentasi Kerajaan2 di Indonesia “Pusaka”
Vlaardingen/Holland
pusaka.tick@tiscali.nl
Turut berduka cita atas wafatnya dr A A Made Jelantik. Banyak jasa beliau di bidang medis dan budaya.
Walaupun beliau tergolong tokoh, sangat mengejutkan sekali adanya pernyataan oleh Direktur RSUP Sanglah bahwa nama beliau akan diabadikan sebagai nama RSUP Sanglah.
Ada baiknya dilakukan kajian dari para ahli sejarah dengan menggali informasi dari narasumber yg masih ada, misalnya para dokter, bidan senior dan kalangan tua di Bali khususnya Denpasar untuk membandingkan figur-figur dokter pejuang Bali yang layak untuk diabadikan sebagai nama rumah sakit.
Sebagai gambaran: tokoh2x nasional yg diabadikan sbg nama RS seperti dr Cipto Mangunkusumo, dr Soetomo, dr Wahidin adalah dokter2x yg terlibat langsung pada revolusi kemerdekan RI.
Kekurangan dari dr Jelantik adalah keraguan kami akan patriotisme nya karena kedekatan keluarganya dengan penjajah Belanda. Beliau beristri orang Belanda, dan ayah beliu Anak Agung Anglurah Karangasem adalah raja Karangasem yang kepanjangan tangan penjajah Belanda.
Wirawardhana
Pemuda Bali di rantau
Turut berduka atas meninggalnya dr Djelantik.Beliau berjasa dibidang kesehatan,seni dan budaya.
Beliau tidaklah seorang pendiri RSUP serta beliau diragukan keberpihakannya pada pejuangan kemerdekaan. Belia bukanlah seorang pejuang. Sehingga sangat disayangkan kalau RSUP Sanglah diganti menjadi nama dr Djelantik. Nama rumah sakit hendaknya bernama seorang dokter pejuang seperti Cipto, Sutomo ataupun Wahidin.
Selain itu beliau bukanlah dokter kepresidenan dari Presiden Sukarno.
Diambil sebagian dari tanggapan pada Wibisono’s blog:
(http://dendemang.wordpress.com/2007/09/11/mengenang-dr-aam-djelantik-sebagai-pejuang/
Halaman 187
“We considered it not safe for you to be placed in Bali,” Gde Agung said
“Why?” I was astonished
“Please, don’t ask too many questions. The political situation in Bali is very tense. The Pemudas are very active supporting the Republic, they are planning something”
Kalau dibaca secara kritis, ini karena dr. Djelantik sudah menjadi incaran para pemuda. Wabah malaria saat itu terjangkit hampir di seluruh Indonesia. Pelukis Le Mayeur yang tinggal di bali, juga meninggal saat pulang ke Eropa karena terkena malaria yg dibawa dari Indonesia.
“Perihal malariologist apakah dunia kedokteran mengenal istilah tersebut? Apakah ada dokter ahli demam berdarah?”
Sesungguhnya ya memang tidak ada.
Ada kejadian yg menarik juga saat di Bali Hotel, Denpasar.
Halaman 176
The first public meeting, held in Denpasar, was for me quite embarrassing. Not having spoken the official Indonesian language for a long time, I was unable to make speech in public in my own language. I spoke in Dutch, translated, phase by phase, by the Assistant-Resident, Mr Major Polak.
Ada saksi yg saya kenal. Beliau mengatakan dr. Djelantik dilempar oleh para pemuda. Hal ini dilakukan karena dr Djelantik orang Bali berpidato dalam bahasa belanda serta diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh orang Belanda.
PB
Sebagai putra pejuang, saya berharap, hendaknya pengelola web memberikan link ke http://www.dendemang.wordpress.com atau http://www.zoegian.wordpress.com
Dalam blog tersebut terjadi diskusi tentang dr. Djelantik. Untuk suatu kebenaran kita harus berbesar hati.Mohon maaf mengecewakan komunitas dr Djelantik. Tapi itulah kebenaran
Bapak Ibu sekalian, sebaiknya kita bersama mengenal terlebih dahulu topik utama dibuatnya tulisan Horst yaitu mengenang seseorang yang berkesan yang baru saja meninggalkan dunia ini. Seorang budayawan. Seorang pejuang (bukan kemerdekaan) tapi tentunya dalam konteks profesi dan minatnya.
Tidak ada yang salah dengan Dr Djelantik ataupun keluarga, teman dan publik karena tidak ada satu pun dari mereka memohon menempatkan Dr. Djelantik dalam posisi yang istimewa setelah meninggalnya.
Jika secara jernih kita perhatikan tulisannya Horst, itu adalah sebuah puisi selamat jalan. Setidaknya menurut saya. Secara proporsional diskusi diluar itu kurang tepat konteksnya.
Niat penulis mengenang dr Djelantik. Ini saya hargai karena membantu saya pula mengenang beliau dan tanah kelahiran saya.
Tapi apakah pembaca memperhatikan isi dari kenangan Horst Jordt ini? Banyak kenangan yg membuat kita bertanya2x, sekaligus menyentakkan kita dari buaian puisi selamat jalan ini.
“Tidak ada yang salah dengan Dr Djelantik ataupun keluarga, teman dan publik karena tidak ada satu pun dari mereka memohon menempatkan Dr. Djelantik dalam posisi yang istimewa setelah meninggalnya”
Coba dibaca tulisan aslinya. Siapakah Direktur RS yg dimaksud? Bukankah keponakan beliau yg bergelar Prof Dr dr itu ? (Namanya secara jelas disebutkan di tulisan yg senada di web site yg lain). Apakah spontanitas atau suatu grand scenario? Tanyakan pada rumput yg bergoyang…
PB