Apa yang diharapkan dari teater di tengah perkembangan seni tradisi di Bali?
Apakah teater dapat dipasarkan? Apakah teater mampu memperbaiki hidup, terutama pelakunya? Sejauh mana pelakunya mengamini teater sebagai jalan hidup? Lebih jauh lagi, apakah teater mampu mengubah sejarah bangsa saat ini? Di mana teater mendapat apresiasi yang baik?
Pertanyaan-pertanyaan bernada pesimis semacam ini selalu seksi untuk diresahkan bersama, terutama bagi mereka (termasuk saya) yang memilih kesenian teater sebagai ajang eksistensi kegelisahan.
Jika boleh berpendapat, teater kita (di Bali) lebih banyak tumbuh dalam hegemoni institusi pendidikan. Teater SMP, SMA, dan mahasiswa tumbuh menjamur di Bali, terutama di Denpasar.
Di luar itu hadirlah teater independen. Dia terbentuk berdasarkan visi dan misi yang sama antar-anggotanya. Kategori ini bisa dihitung dengan jari. Mereka tumbuh mandiri, bergerilya ke sana-ke mari. Namun, asiknya, dua kategori tersebut selalu bersinggungan jika satu pihak menggarap satu nomor pementasan.
Ada pula kategori tokoh teater. Para sesepuh teater yang masih sesekali berpentas, bernostalgia, kadang pula mencoba eksperimen-eksperimen kecil demi kejaran estetika. Namun, sayang sekali kategori ketiga ini jarang menelurkan regenerasi teater yang loyalis. Padahal, setiap garapan ada saja pemain baru yang berkolaborasi.
Terakhir, ada pula tokoh individu teater yang mendedikasikan pembinaan intens terhadap teater SMP dan SMA. Kategori ini murni membina, membina teater dari dasar, memperkenalkan murid-muridnya apa itu teater secara menyeluruh. Jumlah kategori ini banyak, malah setiap sekolah SMP dan SMA di Denpasar memiliki ekstrakulikuler teater.
Lalu seolah-olah, teater Bali ini dikuasai oleh anak-anak SMP dan SMA unyu-unyu atau mahasiswa yang masih mempertahankan keunyuannya. Garapannya, jika tidak drama modern, ya musikalisasi puisi dan tentu saja yang paling populer saat ini, operet.
Kemudian hadir kami, akhir tahun 2016. Teater Kalangan.
Teater yang sok-sokan mengibarkan bendera independen di tengah arus hiburan yang semakin meninabobokan. Di tengah arus utama bentuk operet yang menjadi acuan penilaian. Di tengah arus utama itu, kami di tepi mencoba melintas agar sampai di daratan seberang.
Rapat di Emperan
31 Desember 2017, pukul 01.00 WITA, di salah satu angkringan malam Kota Singaraja. Kami anggota Teater Kalangan mengadakan rapat kerja santai. Waktu itu ada saya, Sumahardika, Manik Sukadana, Gde Gita Wiastra, Agus Wiratama, dan Anang Duta (anggota Teater Orok).
Berteman kopi, es susu, gorengan, mie goreng dan telur ayam kampung setengah matang, kami terlibat dalam obrolan panjang. Evaluasi diri, evaluasi kelompok, diskusi pementasan, mengingat produksi sebelumnya, berdebat, saling mencaci, saling bercermin, saling memuja, kemudian dilanjutkan menyusun program tahun 2018. Mimpi, harapan, semangat, optimis, kami taruhkan segalanya.
Bagi saya pribadi ini adalah peristiwa sejarah. Pertama kali berkumpul untuk membangun pondasi masa depan. Di tengah fenomena dan kecenderungan teater Bali, kami mencoba memberi tawaran. Tawaran ini pun bersifat subjektif. Mungkin tidak semua orang menyukainya, tetapi adakah kami yang muda-muda ini harus memendam segala semangat hanya karena tidak sama?
Justru sebaliknya, berjuang dengan segala cara, untuk mencapai tahapan tertentu sebagai kelompok kesenian.
Rapat kerja santai itu berlangsung hingga pukul 07.00 WITA. Luar biasa.
Itu pertama kali kami berkumpul lengkap, dengan topik yang cukup menguras isi kepala. Jadilah sejumlah rumusan semacam butir-butir yang harus kami laksanakan sepanjang tahun 2018. Setelah rapat, kami semua kembali ke rutinitas, menjalani hari sebagaimana mestinya.
Sesekali berkoordinasi intens di grup Line. Sekadar bertanya progres program. Sekadar menyamakan frekuensi semangata gar alur kereta berjalan sebagaimana mestinya.
Malam itu adalah momentum atas semua upaya sepanjang 2017. Saya sendiri memiliki catatan khusus selama satu tahun terakhir. Saya masih ingat betul pertama kali menggarap pementasan respon puisi atas nama Teater Kalangan. Saya dihujat, saya dicaci, saya dihancurkan, saya dikritik. Pementasan saya dikatai pementasan sekelas anak SMP.
Pahit? Sangat!
Namun, bukan berarti harus berhenti. Setelah itu, sembilan garapan saya produksi melewati berbagai rintangan, sekaligus kesempatan diri dalam meningkatkan kualitas terutama cara berpikir untuk hidup dan bergaul di dunia teater.
Mulai saat itu saya berjanji untuk membuat suatu hal dengan perhitungan serius. Garapan selanjutnya, mengharuskan lebih cermat, lebih ketat, serta lebih teliti dalam mengevaluasi bentuk dan wacana.
Perhitungan itu pula membawa saya bertemu banyak komunitas, banyak indvidu, banyak jaringan. Pertemuan demi pertemuan saya lewati, mulai anak SMA, aktivis, seniman, photographer, pelukis, sound design, DJ, penulis, penari, desain grafis, kelompok sastra Bali Kuno, pengusaha, arsitek, kawan-kawan jalanan, dan lain sebagainya.
Sampai tulisan ini dibuat, pertemuan tersebut masih intens. Bahkan tidak jarang menghasilkan suatu ide wacana, pemikiran kritis yang merupakan benih-benih pemantasan minta untuk di wujudkan. Kemudian haisl akhirnya ialah anak rohani Teater Kalangan, tentu kami dokumentasikan, kami kritisi lewat tulisan, dan abadi di kepala masing-masing.
Memilih Jalan Teater
Menggarap pementasan sangat melelahkan, menyita banyak waktu, menyita banyak tenaga. Di samping berteater saya harus membagi diri untuk bekerja. Juga kawan lain, hidupnya tidak sepenuh berteater.
Lha teater kan susah duitnya. Ada yang bekerja, ada yang sibuk urus tugas mahasiswa, ada yang jadi guru, ada yang bekerja sambil kuliah. Jangan sampai teater ini jadi kambing hitam, ketika rutinitas terganggu.
Oleh sebab itu waktu harus dibagi ketat agar setiap produksi dan pekerjaan di luar teater mampu terselesaikan dan mencapai target. Berteater itu tidak mengharuskan saya menjadi seniman teater. Saya hobi. Namun, saya garis bawahi hobi itu dengan kualitas yang baik. Bukan sekadar. Bukan apa adanya. Bukan megah dalam kemiskinan.
Teater adalah jalan imaji demi menuntaskan kehausan berkesenian. Adapun bekerja adalah jalan nyata untuk urusan perut, urusan membeli pulsa, membeli kuota, membeli bensin, dan sebagainya.
Maka dari itu setiap menggarap pementasan dengan sadar kami paham. Tak ada amplop yang menanti. Tak ada fasilitas ala artis yang menunggu melainkan keberlimpahan ilmu, sahabat, jaringan yang menyambut.
Jangan disamarkan antara teater dan bekerja. Teater ya berteater. Bekerja ya bekerja. Jika suatu saat nanti teater menghasilkan uang, lebih baik diputar untuk pementasan selanjutnya atau mengirim salah satu anggota mengikuti residensi teater di luar kota.
Saya berharap kawan-kawan yang (saat ini) sedang berkecimpung di dunia teater, sadarlah teater itu pilihan. Lalu sikapi pilihan tersebut dengan baik, dengan bijak, agar segala permasalahan dapat teratasi dengan pilihan-pilihan nalar logika.
Ini tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri, tapi pada teater itu sendiri. Agar kesenian teater tidak dipandang sebelah mata. Di masyarakat, kita selalu berhadapan dengan stigma bahwa seniman teater itu arogan, tidak tepat waktu, seniman yang suka mengkhayal, latihan sampai malam, berpakaian kumal, rambut tidak terurus, dan yang paling melekat adalah suka mabuk.
Stigma ini terus berkembang. Tumbuh mengakar di kalangan orang awam. Karena belum ada pihak yang berusaha untuk mengubahnya. Hal ini tentu membuat resah terutama bagi keluarga yang anak-anaknya memilih jalan teater, baik ekstrakulikuler maupun jalan hidup.
Lalu, muncul pertanyaan, akan jadi apa kamu nanti setelah belajar teater?
Jawabannya adalah dengan karya dan proses kekaryaan. Bukan kalimat pembelaan. Satu yang kami yakini dalam hal ini, yakni berusaha tidak menyempitkan arti teater itu sendiri, tetapi memberi jangkauan luas. Seluas-luasnya. Teater tidak hanya mengejar hasil akhir berupa pertunjukan, tetapi lebih dari itu, ada usaha untuk mengeksplorasi diri sampai batas ambang.
Caranya? Jangan sekali-kali mementaskan pertunjukan ala kadarnya. Harus ada capaian tertentu semisal proses latihan, wacana yang diusung, tawaran bentuk pemanggungan dan lain-lain.
Saya dan kawan-kawan selalu berdiskusi tentang bentuk yang ingin dibawakan di setiap nomor pementasan. Misalnya, kami pernah membawakan pementasan dengan pendekatan teater boneka ala Teater Pappermoonpuppet Yogjakarta. Pernah pula dengan pendekatan tari, eskpresi dan impresi tubuh. Pementasan dengan pendekatan bunyi benda keseharian. Pementasan dengan pendekatan piodalan di pura. Pementasan dengan pendekatan simbol dan idiom-idiom tertentu. Pementasan dengan pendekatan ruang. Juga pendekatan lainnya.
Ketika teater dibenturkan, disentuhkan dunia berbeda, ini suatu upaya dalam mendewasakan diri untuk belajar hal baru. Di sinilah letak jangkauan luas itu. Tidak hanya bermain di ranah teater, perlu waktu, perlu tenaga, perlu konsistensi tangguh dalam menjalaninya.
Belajar hal baru ini saya terapkan dengan ketat dan disiplin terhadap diri saya sendiri juga saya ceritakan pada anggota yang lain. Saya membaca, mengamati, observasi, jalan-jalan, bertemu banyak komunitas, mengikuti banyak seminar, menonton film, menghadiri pentas musik, menghadiri festival sastra, kantong-kantong ini adalah amunisi baru dalam menyikapi suatu wacana.
Misalnya ketika berusaha melakukan pendekatan tubuh, saya dan kawan-kawan harus menonton pementasan teater Creamer Box Bandung di Youtube, atau belajar Gerakan Butoh dari jepang, belajar metode metode pantomime, belajar dan mencoba gerakan-gerakan penari Pina Bauch dan belajar gerakan dasar tari Bali. Bahkan, untuk suatu impresi tubuh saat berjalan di pasar, saya berkali-kali ke Pasar Badung untuk melakukan riset kecil-kecilan kemudian dimodifikasi untuk keperluan pelatihan.
Ini salah satu bentuk kedisiplinan. Kami terapkan bersama dan (syukurnya) kami amini bersama. Setiap anggota bebas kemana saja. Bebas menekuni apa saja. Bebas mengkritik apa saja. Bebas membawa wacana apa saja. Bebas membawa pengaruh apa saja. Namun, ketika dilempar keranah kelompok, ide-ide itu menjadi bentuknya kemudian kami adopsi bahkan menjadi bentuk yang sama sekali berbeda.
Secara tidak langsung setiap individu terus berkembang tanpa meninggalkan anggota kelompoknya. Maka tumbuhlah kami secara organis. Ruangnya luas, ramah, tapi kritis. Malah diskusi biasanya berkembang biak ke sana kemari, mulai dari wacana berat, lalu film baru dibioskop, acara musik, buku baru, workshop, dagang rujak enak, dagang bakso enak, warung nasi jaen hingga topik intim pun kami nikmati sebagai bagian pemupukan rasa kebersamaan.
Saya rasa kelompok ini akan teruji jika suatu ketika seluruh anggotanya telah bekerja, berkeluarga, dan berada pada pilihan, antara hidup normal kebanyakan dan hidup kurang normal di jalan kesenian. Jika pada situasi ini kawan-kawan saya masih bertahan, malah masih aktif berteater, memaruh waktunya, penghasilannya, hidupnya, demi berteater, kesadaran teater telah menubuh, mekanis dalam dunia nyata.
Kapankah itu? Pidan kaden gumi ne to nok. Kita tunggu saja.
Kerberpihakan, Pasar dan Mimpi
Teater bagi saya pribadi adalah ruang meramu. Seperti laboratorium bagi sang peneliti. Apapun yang disukai, dipelajari, kemudian kami ramu dalam proses hingga bentuk pementasan.
Kami mengamini bahwa bentuk teater realis sebagai metode latihan. Alih-alih memperkosa bentuk realis menjadi apa yang diinginkan, lebih lega rasanya menawarkan pendekatan yang berbeda.
Ya izinkanlah muda-muda ini berkembang agak liar, mencoba mencari estetika pemanggungan khas Teater Kalangan. Namun, secara sadar pula, segala tawaran tersebut memiliki alasan serta hukum sebab akibat terhadap wacana yang kami bawakan. Ini juga penting dalam setiap garapan. Alasan memiliki umpan kritik, umpan saran, umpan imaji saat menikmati peristiwa panggung yang kami tawarkan.
Di sisi lain kami ingin teater memiliki keberpihakannya. Kami sadari teater miliki kekuatannya sendiri dalam membangun nilai, menyampaikan pesan, serta mentransfernya kepada penikmat. Daya meramu ini menuntut kepekaan terhadap banyak hal. Teater tidak berdiri sendiri. Banyak komponen di dalamnya yang mendukung.
Jika teater hanya bicara karakterisasi, perihal menjadi seorang tokoh, bukankah seni tradisi Arja, Bondres, Drama Gong juga demikian? Untuk itu tantangannya, ada nilai tawar yang semestinya dipertimbangkan dalam menyikapi ruang di mana teater itu tumbuh.
Garapan “Buah Tangan dari Utara”, misalnya, adalah pementasan pesanan dari LBH-Bali. Kami mengambil isu tentang pembangunan pembangkit listrik tenaga uap di Kecamatan Celukan Bawang, Gerokgak, Buleleng. Kami observasi ke lapangan, wawancara mendalam, membaca AMDAL, membaca pemberitaan di koran, kemudian hasilnya dimusyawarahkan bersama, dan lahirlah pementasan.
Be nyak berpihak kan?
Dari wacana saja sudah terjawab. Kami ingin teater dapat mempengaruhi ke jalan benak, bukan sekadar pementasan yang ditonton selesai melainkan suatu peristiwa yang mengendap di kepala masing-masing penonton. Yah, setidaknya ketika pulang ke rumah, mereka merenung dan lebih syukur bisa melakukan sesuatu untuk kepentingan masyarakat.
Teater juga tempat meramu diri agar lebih matang, kedisplinan, ketaatan, manajemen waktu. Terus terang saya menginginkan sistem yang ketat, karena kesenian itu sebuah kedisiplinan. Nilai ini diterapkan dalam setiap latihan dan proses produksi. Semua memiliki time line yang ketat dan dipatuhi bersama kelompok. Namun, ingat, sebelum disepakati bersama, kedisipilinan ini kita ramu bersama, agar menemu bentuk kebersamaan. Tawar-menawar bagian penting untuk mendirikan pondasi suatu komunitas.
Kemudian di sisi yang jauh di sana, apakah nilai tawar ini dapat menggugah keiinginan orang untuk menonton? Bentuk-bentuk pementasan yang selalu bertaruh pada idiom, simbol, bahkan kadang tak berpegang erat pada teks.
Siapa yang mau menonton di tengah arus deras hiburan di televisi, film-film bioskop yang mempesona, atau drama media sosial yang harus diikuti agar tidak ketinggalan zaman?Jawabannya, sudah jelas, mencari penonton dan merawatnya.
Mencari penonton ala sistem jemput bola ala sales mobil, yang mengetahui betul siapa pembelinya dan paham betul spek mobilnya, sehingga antara pembeli dan barang dagangan memiliki kebersamaan pengalaman. Kemudian merawatnya seperti menanam benih hingga tumbuh besar dan berbuah. Merawatnya dengan merawat kualitas pertunjukan.
Kami usahakan setiap pementasan harus mengirimkan undangan fisik kepada penonton. Bukannya kami anti kecanggihan dunia teknologi, tapi ada yang hilang jika undangan hanya dikirim lewat broadcast line, atau mengirim email.
Apa yang hilang? Pendekatan bertatap muka dan mengobrol. Ini penting, saat mengirim undangan, anggota yang bertugas mengirim memiliki tedensi untuk membuat suatu percakapan terkait pementasan.
Selain undangan, ada pula flyer, video teaser yang kami garap secara serius. Hal kecil ini menunjukan keseriusan produksi. Hal yang paling penting ialah cacatan sutradara sebelum pentas, kami unggah di website, media warga, beberapa hari sebelum pementasan.
Catatan sutradara adalah bekal bagi penonton sebelum hari H. Artinya kami mempersiapkan penonton sebelum datang ke tempat pementasan. Kendati hasilnya belum maksimal, jika metode ini berulang dilakukan, tentu menjadi temuan metode dalam mempertahankan penikmat.
Secara tidak langsung kami telah memilih penonton sesuai keinginan. Saya selalu mencoba agar penonton yang hadir tidak hanya dari skena anak teater teapi dari berbagai komunitas di Bali khususnya di Denpasar. Hal ini masih diupayakan dengan maksimal, sebab bukan tidak mungkin teater berkolaborasi dengan bentuk keilmuan lain karena teater itu merupakan ruang kolektif yang dibangun bersama.
Nah itu persiapan sebelum pementasan. Saat pementasan berlangsung, kami juga memikirkan penonton agar tidak hanya duduk menonton, setidaknya ikut berpartisipasi membangun suatu peristiwa panggung bersama. Penonton itu pelaku, pelaku yang datang untuk mengkritik, memuji, bahkan menawarkan wacana berbeda saat pementasan berlangsung.
Targetnya adalah suatu peristiwa bersama antara penoton dan pelaku, bukan memisahkan penonton dengan pemain. Beberapa nomor pementasan hal ini menjadi titik cukup penting untuk dipikirkan. Sebab, tawaran-tawaran seperti inilah yang menjadikan suatu kelompok hidup dengan caranya sendiri.
Misalnya pada pementasan “Aku di Mana” satu pementasan pesanan dalam acara Anugerah Jurnalisme Warga (AJW). Saat itu penonton aktif ngobrol di Line, karena sebelumnya kami rancang agar semua yang hadir berada dalam satu grup Line padahal serangkaian acaranya AJW cukup padat, penonton yang datang masih bisa chat di line, kan lucu. Peristiwa itu, sudah terbangun, secara tidak langsung malah penonton tidak sadar mereka berada dalam lingkaran pementasan.
Kekhasan ini pula menjadi modal utama yang dengan segenap jiwa raga kami pertahankan. Seperti upacara-upacara piodalan di pura, teater tradisinya terbangun bersama. Jadi samar siapa pelaku dan penonton. Contohnya dalam pementasan Calonarang saat adegan kerahuan dan ngonying, atau tradisi tarian joged. Yang mana penari, yang mana penonton pun samar. Bahkan penonton pun ikut menjadi pelaku dalam menyoraki sang penari.
Ruang baur inilah yang ingin kami hadirkan di atas panggung Teater Kalangan. Menjauhkan ketengetan teater yang biasanya ditonton dengan khusyuk seperti menonton opera klasik di Eropa. Lah ini Bali e. Jadi jangan marah saat metode teater yang Anda yakini berubah. Bukankah begitu adanya suatu budaya? Selalu dinamis, bergejolak, sedemikiannya, demi mencari eksitensi di masyarakat.
Lalu, dengan sedemikiannya wacana yang saya utarakan. Apakah teater mampu mengubah hidup? Teater itu nggak ada duitnya lho. Teater itu susah cari makannya lho. Apa yang membuat bertahan?MIMPI !!!
Mimpilah yang membuat bertahan. Klise? Banget!
Namun, setidaknya selama 2017, otak-otak kami dijejali mimpi-mimpi tentang berbagai bentuk pemanggungan, metode dari luar, sampai bermimpi mengajak kolaborasi sejumlah seniman. Memperbanyak pengetahuan terhadap segala hal, untuk kemudian diadaptasi. Kami akan mecoba banyak hal untuk mencari ciri khas tersendiri, masa pencarian ini merupakan masa emas dan masa berkilau untuk mengibarkan bendera.
Kami ingin membangun teater dari nol dan menjauhkannya dari kesan suram yang tidak memiliki masa depan cerah. Stigma akan berubah jika suatu ketika ada pembuktian. Inilah tugas yang diemban bersama.
Lalu apa yang harus dilakukan? Ya berkarya, ya disiplin, ya tunjukkan pada lingkungan. Jangan sampai, nanti seperti kata kawan saya (Sumahardika yang menceritakan temannya) setelah berusia tua, dan tetap berteater, kemudian berpikir dan bertanya pada diri, kenapa aku berteater.
Pertanyaan semacam itu, sekaranglah dijawab sembari mencari dan mematangkan jawaban. Banyak tugas menanti. Kalau belum mampu menjawabnya, jangan ikut teater. BAHAYA!
Sepanjang tulisan ini saya susun, saya mengingat kenangan 2017 bersama kawan-kawan, hingga sampai pada tahap dan kesadaran seperti sekarang. Banyak nama telah bersinggungan baik secara pribadi, maupun secara kolektif. Tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu. Meskipun tidak menggarap pementasan lagi, kami tetap saling kontak sekadar bertukar cerita, atau curhat-curhat kesana kemari.
Penutup. Teater Kalangan sangat terbuka untuk siapa saja yang datang. Silakan datang dan ikut berproses di dalamnya, atau nongkrong-nongkrong cantik di angkringan, atau apapunlah yang bisa dilakukan bersama-sama. Siapa tahu membuahkan suatu karya, ide atau wacana.
Kami rumah untuk pulang. Jika merasa sendiri, datanglah. [b]
Biodata Penulis
Santiasa Putu Putra. Jong, nama panggilannya, terlibat di Teater sejak SMA. Banyak penghargaan ia peroleh di bidang drama modern, pembacaan puisi, dan pentas monolog. Sejak 2013, ia telah bekerja sebagai pengajar lepas Antropologi Ragawi dan staf Museum Etnografi di almamaternya, Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya; serta menulis untuk rubrik pendidikan dan budaya di koran harian Tribun Bali.
Beberapa karya puisi, opini, dan prosanya dapat dinikmati di Bali Post, Indopos Jakarta, PICA magazine Bali, dan tatkala.co (sebuah platform berita online). Memasuki tahun 2017, ia bergabung sebagai salah satu anggota Teater Kalangan, sebuah kelompok teater nirlaba yang bergerak di bidang seni pertunjukan, di mana ia aktif dalam aktor, penyutradaraan dan penulisan naskah.
penulisnya orgasme nih. hihi
Memilih teater sebagai jalan hidup?
Sukar sekali bung Santiasa Putra.
Mesti punya kerjaan lain kalau dapur mau berasap.
Pedagang nasi ayam betutu nggak ada salahnya.
Buka warung kopi & martabak buat seniman & seniwati nongkrong berdiskusi dan bermimpi OK!
All the best!
Ditunggu pementasan selanjutnya.