Renon tampil sebagai wajah urban warga Kota Denpasar. Memerdekakan jiwa dan juga perut.
Gaya hidup warga Denpasar barangkali bisa dilihat di Renon, kawasan civic center atau pusat pemerintahan di jantung Kota Denpasar. Dari pagi sampai menjelang petang, kawasan Monumen Bajra Sandhi Renon dipadati beragam aktivitas warga. Dari sekadar aktivitas olahraga, arena bermain anak, sampai etalase bagi penghobi atau komunitas.
Disebut etalase karena para penghobi biasanya setiap akhir pekan berkumpul di sekitar kawasan ini. Mulai dari club motor, mobil, sepeda, sampai komunitas bartender dan kelompok spiritual. Sejumlah ruas jalan di kawasan ini bisa jadi etalase hidup karena dipenuhi kegiatan penghobi dan komunitas itu. Aktivitas ini memungkinkan karena ruas jalan cukup lebar dan tak terlalu ramai.
Bagi yang tak suka berkelompok, kawasan ini juga ramah bagi aktivitas individu seperti olahraga, bermain layangan, atau sekadar cuci mata. Area monumen dibagi menjadi beberapa ruang terbuka seperti lapangan rumput untuk bermain bola, trek joging, lapangan-lapangan kecil untuk tempat bermain anak, dan ruang terbuka lainnya. Anehnya, walau kawasan ini tampak padat, tapi sellau masih ada ruang yang cukup luas untuk beraktivitas. Tak terasa sumpek. Mungkin karena pembagian area yang baik dan suasana rindang penuh pohon.
Setelah jiwa, pasti berlanjut ke perut. Khasanah kuliner nusantara di kawasan ini melengkapi kemerdekaan itu sendiri. Di sepanjang jalan kawasan Renon, kita dimanjakan beragam makanan khas daerah tersedia. Misalnya Restoran Cianjur yang menyediakan masakan khas Jawa Barat, Warung Be Tutu Gilimanuk khas Bali, Warung Blitar, dan Warung Lombok.
Kebanyakan warung memasang identitas daerahnya sebagai nama warung, jadi tak sulit menentukkan pilihan bagi pendatang yang baru melintas Renon. Selain identitas kedaerahan, sebagian lagi memilih nama warung sesuai dengan menu makanan yang dijual. Misalnya satu porsi ayam bakar dijual Rp 15.000 – Rp 20.000.
Makanan dengan harga di bawah Rp 10.000 rupiah per porsi juga tak sedikit. Ada soto sapi, bakso, nasi campur, sate, dan lainnya. Yang menarik, akulturasi juga nampak di bisnis makanan di daerah ini. Tak hanya itu, sepuluh ribu perak juga cukup untuk ditambah makanan penutup seperti jagung bakar atau es kelapa muda. Hmm, gimana nggak merdeka, nih perut?
Uniknya, akulturasi juga nampak pada bisnis makanan di daerah ini. Ada siomay khas Bandung yang dijual oleh kebanyakan etnis Lombok. Saking larisnya siomay ini, warga Lombok yang berjualan terus bertambah. Sampai ada perkampungan warga Lombok yang terus berkembang di daerah ini.
Satu lagi keistimewaan tempat makan di kawasan ini adalah memberikan ruang bagi lokasi mengisi perut yang nyaman sambil ngobrol santai. Misalnya warung dengan gaya bale bengong atau makan di taman terbuka. Jadi tak sekadar mengisi perut juga kongkow-kongkow sepuasnya.
Satu hal yang menjadi persoalan klasik adalah pedagang yang sering melanggar peraturan berdagang di area taman monumen. Barangkali tak hanya di Bali, di semua tempat umum yang ramai di Indonesia sulit menertibkan pedagang. Pemandangan kejar-kejaran aparat Tramtib dan pedagang masih beberapa kali terlihat.
Pedagang nekat karena permintaan makanan dan minuman pengunjung memang tinggi. Ni Nyoman, misalnya. Perempuan muda pedagang asongan ini nekat setiap hari berjualan mulai pukul empat sore di dalam kawasan Bajra Sandhi. Ia menjajakan beragam buah segar. Jika ada razia, ia mengaku tak risau karena dagangannya mudah dipindah untuk menghindari digaruk petugas.
Pedagang acung memang sulit diatur karena mereka mobile, dengan menjunjung dagangannya atau pake sepeda masuk ke tengah taman. Tantangannya, mereka harus diminta bertanggung jawab menjaga kebersihan dengan membawa kantong sampah sendiri untuk menampung sampah pembelinya. Ini terbukti efektif di Pantai Kuta. Pedagang di pantai itu punya aturan soal tanggung jawab menjaga kebersihan.
Bajra Sandhi
Monumen Bajra Sandhi, dikenal dengan monumen perjuangan rakyat Bali. Dalam monumen ini ada sejumlah jejak sejarah yang memperlihatkan perjalanan perjuangan rakyat Bali melawan pemerintah kolonial Belanda. Seperti diorama peristiwa perang, dan sejumlah dokumen.
Namun, museum mini ini lebih banyak dikunjungi para peneliti atau siswa. Barangkali karena terkesan serius. Kalah oleh kehebohan para penghobi, komunitas, dan pengunjung di areal taman dan sekitarnya yang dipadati aktivitas olahraga, rekreasi, atau sekadar cuci mata. Inilah kemerdekaaan jaman sekarang, bukan? [+++]
-tulisan ini dimuat di Media Halo edisi Juni 2007-
Iya tuh, gue uga antara kasihan dan kesel ngelihat dareh dimana gue tinggal jadi semrawut karena banyaknya pedagang. tapi it’s okay aja kalu mereka tetap jaga kebersihan dan tidak ngerusak keindahan serta tanaman. Kebetulan juga gue tinggal di bilangan ciung wanara II. Salam buat semuanya.