Satu-satunya hal yang tak bisa direbut oleh negara adalah solidaritas.
“Kumaha carana urang hirup di situasi krisis seperti kieu?” tanya saya kepada Arif, salah satu pekerja rantau yang ramah menyapa ketika saya pertama kali pindah ke sini, dengan bahasa Sunda yang berantakan.
Artinya, “Bagaimana kawan-kawan bertahan hidup di situasi krisis seperti ini?”
“Saayana, Bang. Cuman cari kerjaan jadi kuli proyek, soalna pariwisata mati total. Tapi sialna, malah dibawa kabur ku mandor duitna. Nepika teu aya gaji pisan. Hangan ngan bisa silih bantuan wae,” jawab Arif mengeluh.
Artinya, “Kami hidup seadanya, Bang. Hanya mencari kerja sebagai kuli proyek, karena pariwisata mati total. Tapi uang pun dibawa kabur oleh mandor. Jadi tidak ada gaji sama sekali. Jadi cuma bisa saling bantu sesama kawan saja.”
Hari itu saya baru saja pindah dari kosan yang telah saya huni sejak pertama kali berkuliah di Bali, untuk tinggal di salah satu perkampungan buruh miskin yang terkamuflase oleh riuhnya citra pariwisata Bali. Perkampungan ini adalah salah satu hilir dari pekerja-pekerja rantau dari luar Bali, maupun warga Bali yang tidak berasal dari Kota Denpasar.
Saat memasuki gang sempit untuk mengakses perkampungan ini, saya seperti dibawa ke dalam mesin waktu layaknya melihat dua zaman berbeda sekaligus: hanya ada pemandangan rumah triplek yang berdempet-dempetan; bau pesing yang kadang tercium dari kamar kos karena tipisnya pembatas antara ruang tidur dan toilet; sampai jalan-jalan tanah yang kumuh tatkala hujan datang, yang memunculkan bukan hanya kenangan dan nostalgia yang puitis, melainkan juga gerutu tetangga.
Sangat kontras dengan “surga pariwisata” yang identik dengan pantai privat yang hanya bisa dinikmati dari kamar-kamar hotel mewah di kawasan ITDC Nusa Dua yang biayanya bisa mencapai belasan juta per malam.
Saat pertama kali pindahan ke kampung yang terletak di Desa Bualu ini, saya disambut oleh keributan pekerja-pekerja rantauan yang bertengkar entah karena alasan apa saat mabuk. Barangkali, ketika situasi memaksa mereka untuk bertahan hidup, masa depan tidak akan pernah bisa muat ke dalam kotak perencanaan, dan digantikan dengan asap rokok dan alkohol untuk mencari eskapisme dari pikiran-pikiran tentang keluarga di kampung, cicilan yang tak lunas-lunas, dan utang yang menumpuk ketika hampir tidak ada pemasukan sama sekali selain sisa-sisa tabungan yang kian menipis.
“Hal seperti ini sudah biasa di Kampung Bedeng sini. Kita nikmati saja, seperti menonton film action dengan gratis,” kelakar Fandi, kawan sekamar Arif yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, yang membuat kami semua tertawa.
Bagi warga di kampung ini, wabah COVID-19 seperti tak pernah terjadi. Mereka lebih khawatir mati kelaparan atau tidak bisa mengirimkan uang bagi keluarga di kampung ketimbang cemas karena pandemi. Bagi mereka yang hanya memiliki pilihan “bekerja atau mati”, wabah tak ubahnya sebagai penyakit orang-orang kaya. Karena sebelum adanya wabah, mereka pun sudah terbiasa berada dalam kondisi hidup dan mati, apalagi yang merantau jauh meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib.
Hanya saja, karena wabah tak mengenal sekat kelas, maka ia melahirkan kecemasan massal bagi hampir semua orang. Kecemasan eksistensial akan peristiwa kematian seperti ini adalah pergumulan yang sudah biasa bagi pekerja-pekerja miskin di sini. Itu sebabnya mereka tetap bisa menikmati hidup dengan humor di tengah ketakutan massal orang-orang akan kematian.
Terlebih lelucon semacam ini memang sudah menjadi selentingan wajib di antara kawan-kawan pekerja: baik di antara petikan gitar dan suara sumbang ketika menyanyikan lagu lawas 70-an; ketika sedang makan bersama; sampai ketika sedang bekerja. Mungkin karena humor bisa menjadi antidot dari penderitaan ataupun pelepasan dari kecemasan.
Namun, kita belajar dari psikoanalisis, bahwa humor juga bisa menjadi “gerbang awal” dari proses liberasi yang memiliki potensi subversif. Apalagi sejak Sigmund Freud, kita tahu bahwa lelucon bisa menjadi penanda dari apa yang disebutnya sebagai “kembalinya hal-hal yang direpresi” (the return of the repressed) – titik awal dari proses “pembebasan” subjek (subjektivikasi) dalam praktik psikoanalisis.
Berbicara soal humor, Umberto Eco pernah menerbitkan magnum opus-nya yang berjudul “Il nome della rosa” empat dekade silam. Melalui narasi yang anakronis, ia menceritakan kisah tentang seorang padri Fransiskan bernama William Baskerville yang menyelidiki kematian misterius sejumlah biarawan di sebuah biara terisolir di Italia Utara.
Di novel ini, Eco menggambarkan secara dramatik sosok pustakawan uzur, Jorge de Burgos yang menganggap tertawa sebagai tindakan yang heretik, sehingga ia menghalangi para rahib membaca teks humor. Alasannya sederhana: di dalam Injil, Yesus tidak pernah tertawa. Itu sebabnya Burgos melapisi setiap lembaran Poetry karya Aristoteles dengan racun, sehingga siapapun yang menyentuhnya pasti akan mati.
Bagi Burgos, karena Yesus tak pernah tertawa, sebagaimana tak pernah terekam dalam Injil, maka tertawa adalah haram. Kontras dengan William, ia menolak keyakinan skriptualis seperti itu: meskipun tak tertulis di Injil, bukan berarti Yesus tak pernah tertawa.
Di sini Eco bukan hanya sekadar menghadap-hadapkan dua posisi yang diametral: pikiran yang jumud dan jahiliyah akan selalu alergi dengan humor, atau sebaliknya, humor adalah posibilitas yang hanya bisa diterima oleh pikiran yang terbuka; melainkan lebih dari itu, Eco justru menggambarkan humor memiliki konsekuensi politis yang serius.
Dalam setiap catatan sejarah, humor kerap kali menjadi penanda dimulainya penyimpangan terhadap kekuasaan. Di bawah kekuasaan totaliter Soeharto, misalnya, kita tidak asing dengan senarai kelakar tentang Orde Baru: mulai dari anekdot tentang “Tukang Cukur dan Soeharto”, sampai akronim seperti “Harmoko” (Hari-hari Omong Kosong).
Begitu pula dalam Taurat: peristiwa tertawa dalam diri Sarah yang renta dan mandul, pertama kali disebutkan ketika ia diberitahu malaikat bahwa ia akan hamil dan mengandung seorang anak laki-laki. Peristiwa tertawanya Sarah itu kemudian ditafsirkan oleh sebagian kalangan sebagai sesuatu yang mencibir iman. Itu sebabnya bagi Burgos, humor adalah simtom kuasa kegelapan yang mengolok-olok (kekuasaan) iman.
Paralel dengan itu, maka cara paling baik untuk menjaga kewarasan di hadapan kekuasaan yang majal adalah dengan menjadikannya humor. Ketika penguasa sibuk berpidato tentang Indonesia sebagai bangsa yang besar, sebenarnya itu hanya proyeksi dari kemelaratan dan kemunafikan. Ketika pemerintah berbusa-busa mengatakan sudah melakukan yang terbaik untuk kesejahteraan rakyat, anggap saja itu sebagai sebuah lelucon yang garing.
Lagipula, pekerja-pekerja yang dipaksa untuk tetap bekerja di situasi wabah adalah produk dari nihilnya kebijakan pemerintah untuk menjamin penghidupan rakyatnya. Itu bukan sekadar masalah di level personal (oikos), seperti tudingan penguasa yang sering menyebut rakyat Indonesia susah diatur, melainkan simptom dari bobroknya domain—kebijakan—publik (polis).
Berawal dari humor-humor inilah, obrolan kami mengalir hingga berbicara ke urusan negara.
Menariknya, meski Arif hanya bekerja sebagai kuli proyek, ia memiliki hobi membaca buku-buku sejarah, sehingga mudah saja bagi kami bertemu di satu frekuensi yang sama. Karena percakapan inilah, kami bersepakat untuk membuat “dapur rakyat” untuk menghidupi sebagian pekerja yang kesulitan untuk makan, sembari mencari potensi logistik dengan mengandalkan jaringan kawan-kawan mahasiswa.
”Abdi mah geus teu percaya deui pamarentah, Bang. Dengan atau tidak adanya pemerintah, nasib ya kitu-kitu wae. Setiap harinya sudah pusing untuk cari makan, jadi tidak ada waktu untuk memikirkan urusan eta orang-orang pintar itu,” ketus Arif yang mengekspresikan ketidakpercayaannya kepada pemerintah, karena nasib yang tidak pernah berubah.
Secara arsitektural, karena bilik-bilik kamar di setiap kosan hanya disekat oleh triplek tipis, maka mudah saja mengajak kawan-kawan pekerja untuk terlibat bersama di dapur kolektif ini. Saking tipisnya sekat pembatas antar kamar, sampai-sampai Fandi yang suka memutar musik lawas Indonesia; tetangga di bilik lain yang senang mendengar koplo; dan saya yang membunyikan instrumental klasik secara bersamaan, bak mendengar komposisi “pseudo-campursari” yang ganjil.
Meskipun hampir tidak ada privasi di sini, tetapi pekerja-pekerja miskin kota sangat bergantung pada relasi sosial organik semacam ini untuk mencari lowongan kerja yang semakin sulit: dari informasi tetangga atau perkawanan, sehingga hal semacam itu tidak terlalu memusingkan mereka. Namun, di sisi lain, perkampungan ini bisa menjadi tempat yang sangat rentan untuk tersebarnya wabah, karena hampir mustahil untuk menjaga jarak di sini.
Hal ini pula yang menjadi masalah untuk memastikan protokol dapur rakyat yang kami buat agar tidak menjadi potensi penjalaran baru. Akan tetapi, ini bisa terjawab dengan mengkolektifkan pelataran empat bilik kamar untuk dijadikan pusat dapur, sementara makanan disantap di masing-masing kamar untuk meminimalisir gerombolan yang luas.
Dalam satu maxim Latin: “de gustibus non est disputandum”, urusan selera tak ada yang bisa dipertikaikan. Di sana, selera adalah perkara gustibus, soal perut. Oleh sebab itulah, dapur dan makanan bisa melampaui sekat-sekat identitas; mentransendensi pertikaian, dan menyatukan semua orang.
Dan sama seperti slogan dapur tersebut: “satu-satunya hal yang tak bisa direbut oleh negara adalah solidaritas”, maka dapur rakyat ini bukan hanya sekadar perkara biologis (untuk memenuhi kebutuhan dasar). Lebih dari itu, ini juga perkara yang politis (ekspresi perjuangan kelas). Karena, inisiatif ini lahir sebagai ekses dari penindasan kelas oleh kelas penguasa yang mengeksploitasi pekerja.
Dalam suatu obrolan menjelang tengah malam seusai memasak sejak sore, saya bertanya ke Arif. “Saumpama hirup urang sejahtera, naon nu rek dilakuken keur hidup, Rif?”
Artinya, “Jika seandainya hidup kita sejahtera, apa yang ingin kau lakukan dengan hidupmu, Rif?”
“Saencanna urang pernah boga cita-cita ti leuleutuk, tapi lamun urang sejahtera, urang haying mantuan loba jelem.”
Artinya, “Saya tidak pernah punya cita-cita sebelumnya. Bahkan sejak kecil. Tapi Kalau saya sejahtera, saya ingin bisa membantu lebih banyak orang”. [b]
Comments 1