Teks dan Foto Anton Muhajir
Pagi masih sepi di pantai berbatu Tulamben, Karangasem. Namun, dua perempuan berumur 40an tahun sudah hilir mudik membawa tangki oksigen di kepalanya.
Pantai Tulamben merupakan salah tempat favorit untuk menyelam di Bali. Berjarak sekitar 20 meter dari pantai di kedalaman antara 5 hingga 20 meter terdapat bangkai kapal Amerika Serikat USAT Liberty yang tenggelam saat Perang Dunia II. Bangkai kapal ini menjadi salah satu daya tarik bawah laut Tulamben selain terumbu karang dan ikan.
Pagi itu, misalnya, puluhan turis mancanegara bersiap menyelam dari dua titik, di sisi utara maupun selatan pantai. Kesibukan para penyelam ini pun diikuti sibuknya para tukang suun yang menawarkan jasa untuk membawa tangki berisi oksigen yang digunakan para penyelam di sini. Begitu pula dengan dua perempuan tukang suun pagi itu.
Dengan beban antara hingga 50 kg di kepala, mereka membawa tangki itu dari tempat parkir di sisi selatan pantai ke arah titik di mana penyelaman akan dimulai di sisi utara. Jarak kedua tempat itu sekitar 500 meter.
Mereka membawa tangki di kepalanya beralaskan handuk menyusuri pantai yang penuh batu. “Kami bisa sampai 25 kali bolak-balik tiap hari,” kata Ni Nengah Sari, salah satu perempuan tukang suun tangki di Tulamben.
Peran Sama
Pekerjaan sebagai tukang suun tangki muncul seiring dengan maraknya kegiatan menyelam di Tulamben sejak tahun 1970an. Salah satu daya tarik utama memang bangkai kapal milik Amerika tersebut. Tenarnya titik menyelam ship wreck maupun gerombolan ikan di pantai ini pelan-pelan menarik ratusan turis ke kawasan kering ini.
Dari yang semula kurang dari sepuluh operator menyelam di Tulamben, saat ini sudah ada ratusan operator dari yang lokal hingga yang internasional. Turis pun datang dari beragam negara, seperti Asia, Australia, Eropa, hingga Timur Tengah.
Tak mau membawa beban berat di punggungnya, para penyelam menyerahkan tangki ke para tukang suun tersebut.
Sari hanya satu dari puluhan tukang suun tangki di sini. Mereka bekerja dari pukul 5.30 pagi hingga 4 sore. “Kalau laki-laki malah sampai malam, sekitar pukul 9,” tambahnya. Tukang suun laki-laki ini melayani turis yang menyelam saat malam (night dive).
Tukang suun ini memang tak hanya perempuan seperti Sari. Tak sedikit pula laki-laki. Peran mereka semua sama, membawa tangki dari tempat parkir atau hotel ke titik penyelaman dan sebaliknya setelah selesai.
Gede Pasek, sekitar 45 tahun, salah satu tukang suun laki-laki itu. Pagi itu dia juga membawa tangki dari tempat menyelam, setelah para penyelam usai, ke tempat parkir. Sekali-kali dia juga membantu menaikkan tangki ke atas kepala tukang suun lainnya.
Usai membawa tangki dia berhenti sejenak menunggu tamu. Begitu ada penyelam naik ke pantai usai menyelam, Sari, Gede, dan puluhan tukang suun lain akan segera mendekatinya lalu mengangkut tangki yang selesai dipakai.
Menurut Gede, dulunya tukang suun tangki itu saling berebut tamu. Akibatnya, selain sering terjadi konflik sesama tukang suun, pendapatan di antara mereka juga tidak rata. Namun, saat ini para tukang suun tak lagi saling rebut satu sama lain. “Malu sama tamu kalau rebutan terus,” ujarnya.
Agar tak saling rebut tamu, tukang suun itu membentuk kelompok. Namanya Sekaa Tukang Suun Sekar Baruna. Saat ini ada 29 tukang suun yang bergabung di dalamnya. Para tamu yang dilayani tinggal mendaftar ke kelompok yang kemudian membagi pekerjaan ke anggota kelompok.
Para turis membayar Rp 9.000 untuk dua kali penyelaman. Uang sewa jasa kemudian dibagi secara adil pada tiap anggota kelompok. “Kami menerima hasilnya tiap dua hari sekali,” kata Sari.
Besarnya pendapatan para tukang suun ini naik turun. Tergantung banyak tidaknya turis. Sari mengaku kalau lagi ramai dia bisa mendapatkan Rp 90.000 per hari. Tapi, kalau sepi cuma Rp 30.000 per hari.
Uang ini mungkin kecil dibandingkan besarnya biaya penyelaman yang bisa sampai Rp 600 ribu atau lebih untuk sekali menyelam. Tapi, bagi Gede, uang tersebut sudah lebih dari cukup. “Yang penting cukup buat beli beras,” katanya. [b]