Memantau kebijakan dan anggaran Covid-19 bisa dilakukan warga. Karena saat ini ada realokasi anggaran besar untuk penanganan dampak pandemi ini. Dari sisi anggaran kesehatan, bantuan sosial, dan pemulihan ekonomi bagi sektor usaha.
Untuk menangani dampak COVID-19 terhadap ekonomi warga, pemerintah merealokasikan anggaran untuk pemberian jaring pengaman sosial (JPS) atau yang lebih dikenal dengan bantuan sosial (bansos). Anggaran program bansos pun terus bertambah seiring terus mewabahnya COVID19. Pada awal April 2020, pemerintah mengumumkan menganggarkan pemberian bansos Rp 110 triliun atau 27,1 persen dari total APBN untuk penanganan Covid-19. Anggaran ini kemudian bertambah hingga Rp 203 triliun, belum termasuk dengan anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah daerah dan desa.
Pendataan pemberian bansos dari pusat menggunakan pendataan (DTKS dan non-DTKS) di Kemensos. Inilah data yang kerap berbeda dengan data di tingkat daerah atau desa. Warga bisa mengecek https://cekbansos.siks.kemsos.go.id/
Pemberian Bansos COVID-19 sudah di tahap berikut, silakan cek apakah kamu masuk sebagai calon penerima di data versi Kementerian Sosial ini.
Melihat tingginya potensi penyalahgunaan bansos di tengah pandemi, Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama 11 mitra di 13 daerah mengadakan pemantauan distribusi bansos dan membuka posko pengaduan. Daerah-daerah tersebut yaitu Aceh, Medan, Palembang, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Semarang, Bali, Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kendari, Manado, dan Makassar. Meski pemantauan ICW terbatas pada 13 daerah tersebut, aduan warga yang masuk juga berasal dari daerah lain, seperti Jambi, Kuningan, Sumenep, Konawe Utara, Minahasa Utara, dll.
Hasil pemantauan bantuan sosial di 13 daerah sudah dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada publik pada 3 September 2020. Pemantauan ini dilakukan seiring penganggaran dana bansos dampak pandemi. Indonesia mengumumkan kasus pertamanya pada 2 Maret 2020.
Almas Sjafrina memaparkan, dari hasil pemantauan distribusi bantuan sosial sejak 2 Juni hingga 31 Juni 2020 terdapat 239 temuan dan aduan warga terkait masalah atau dugaan penyalahgunaan bantuan sosial. Masalah terbanyak yang ditemukan yaitu adanya dugaan pemotongan atau pungutan liar (46 kasus), di mana 34% atau 16 kasus di antaranya terjadi di Jakarta.
Dalam diskusi publik ini, juga ada inisiatif pemantauan lain. Salah satunya Irma Hidayana, salah satu pendiri LaporCovid19. Lapor Covid berbasis relawan, berkembang dari 10 jadi 300 relawan dan kolaborator ahli, paling muda anak SMA kelas 1 yang input data ke rekap harian, data sains, dan analisis untuk tawaran kebijakan. Warga bisa ikut melaporkan melalui WA Bot.
Salah satu data alternatif adalah data kematian terkait COVID-19 dibagi dua terduga dan kasus positif. Terbesar malah terduga 58 persen (9982) per 28 Agutus dari total 17.426 karena masih banyak daerah yang tidak melaporkan soal kasus kematian ini.
Sementara Muhammad Imanuddin Asisten Deputi Perumusan Pelayanan Publik menjelaskan sistem pengaduan warga, SP4N LAPOR dengan penanganan pengaduan maksimal 2 hari.
Yoyo Raharyo dari AJI Denpasar menyebut kurangnya transparansi data dan informasi terkait penanganan Covid ini. Menurutnya peran media sangat vital. Misalnya terkait menggunakan sumber-sumber sebagai pemberi informasi di rumah sakit misal jumlah kematian. Karena itu, sejumlah wartawan melakukan kolaborasi peliputan. Dari sisi pengadaan alat kesehatan juga dinilai susah diakses informasinya. “Misal harga pokok rapid test, bagaimana pengadaannya?” tanya Yoyo dalam diskusi tersebut.
Kedua, menurut Yoyo, situasi COVID-19 juga memukul media. Padahal jurnalis sangat dibutuhkan untuk pengawasan, tetapi di sisi lain usahanya terancam. Pemerintah Provinsi Bali juga memberikan bantuan pada media dalam skema pemulihan ekonomi. “Diperkirakan mempengaruhi independensi media sendiri. Ini dilematis. Mau bertahan dengan independensinya terganggu. Masih ada yang tetap kritis,” lanjutnya.
Analisis Regulasi dan Anggaran
Pemantauan di Bali dilakukan kolaboratif oleh BaleBengong, LBH Bali, AJI Denpasar, dan alumni Sekolah Antikorupsi (Sakti) Bali pada Juni-Agustus 2020. Berikut rangkumannya.
Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan kebijakan percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) berupa Peraturan Gubernur (Pergub) No. 15 tahun 2020. Dalam Pergub ini disebutkan alokasi angaran di Bali dari sumber APBD sebanyak Rp 756.069.643.295, dibagi menjadi:
1. Penanganan kesehatan terkait COVID-19 dengan pagu sebesar Rp 274.769.643.295
2. Penanganan dampak COVID-19 terhadap masyarakat dalam bentuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) dengan pagu sebesar Rp 261.300.000.000
3. Penanganan dampak COVID-19 terhadap ekonomi dengan pagu sebesar Rp 220.000.000.000
Luh De dari BaleBengong melakukan audiensi, bertemu Kepala Dinas Kesehatan menjelaskan pemantauan ini dan wawancara terkait strategi penanganan Covid. Untuk membantu warga mengakses informasi anggaran kesehatan, pemantau menyampaikan surat permohonan informasi, selain menggunakan komunikasi langsung ke unit terkait.
Hasil akses informasi realisasi anggaran kesehatan sampai 31 Agustus 2020 ke Dinkes Bali, dialokasikan untuk:
– Alat Kesehatan dari APBD (Belanja tidak terduga) sebesar Rp 57.682.922.126 (35%)
– Alat dan bahan Medis Habis Pakai dari APBD (Belanja Tidak Terduga): Rp 52.443.036.027 (32%)
– Insentif dari APBD (Belanja Tidak Terduga) sebesar Rp3.687.500.000 (2%) dan dari APBN sebesar Rp 2.100.000.000
– Lain-lain (karantina, penyediaan ruang isolasi, gaji tenaga kontrak) dari APBD (Belanja Tidak Terduga) sebesar Rp 50.118.135.216 (31%)
Total anggaran kesehatan untuk percepatan penanganan COVID-19 dari APBD sampai 31 Agustus sebesar Rp163.931.593.369 dan dari APBN sebesar Rp 2.100.000.000.
Sebaiknya data alokasi anggaran dipublikasikan di website Dinas Kesehatan agar warga bisa memantau. Untuk mencegah prasangka juga di tengah bencana pandemi ini. Kesehatan adalah motor penggerak, garda depan dalam penanganan percepatan pandemi. Jika akses informasi terbuka, warga bisa ikut mengadovasikan kebutuhan-kebutuhan sarana prasarana kesehatan yang belum cukup tersedia.
Pergub 15/2020 diubah dua kali. Pertama, diubah dengan Pergub Nomor 32 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Paket Kebijakan Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Di Provinsi Bali (disahkan 25 Juni 2020).
Dalam Pergub ini ada tambahan lampiran terkait Petunjuk Teknis (Juknis) Pemanfaatan Dana Desa Adat yang bersumber dari APBD 2020 dalam penanganan Covid-19. Pemerintah Provinsi Bali mulai tahun 2020 mengalokasikan Dana Desa Adat yang bersumber dari APBD masing-masing sebesar Rp 300 juta kepada 1.493 Desa Adat di Bali yang sudah ditransfer langsung ke rekening masing-masing Desa Adat. Dari Juknis itu disebutkan pembagian dana tersebut yakni 150 juta untuk penanganan Covid, sisanya saldo akhir per Juni tidak ada penjelasannya.
Diubah lagi dengan Pergub Nomor 39 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Paket Kebijakan Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Di Provinsi Bali. (disahkan 6 Agustus 2020)
Perubahannya pada penambahan penjelasan di 2 pasal, yakni pasal 12 (ayat 2) dan pasal 13 (ayat 3) tentang BST pada kelompok Pekerja Formal dan kelompok Pekerja Informal yang terkena pemutusan hubungan kerja atau yang dirumahkan tanpa dan/atau dibayarkan upahnya dibawah 50% (lima puluh persen) dari upah per bulan oleh perusahaan bidang pariwisata, perdagangan dan industri. Nilainya Rp 6oo ribu sejak Mei-Juli, bisa diperpanjang sampai September.
Mekanisme pemberian (lampiran II Pergub) ini sangat tergantung pada validitas data Dinas Ketenagakerjaan. Pemantau menilai, tahapannya cukup birokratis. Yakni:
Calon penerima BST mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikota Cq. Kepala Dinas yang menangani ketenagakerjaan. Bupati/Walikota mengusulkan nama-nama calon penerima beserta kelengkapannya kepada Gubernur Cq. Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM Provinsi Bali. Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM bersama Dinas Pariwisata dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali melakukan verifikasi atas usulan yang diajukan oleh Bupati/Walikota. Penerima BST ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
Perubahan dalam jangka waktu sebulan dari perubahan kedua sampai ketiga ini menunjukkan ketergesaan dan minimnya sosialisasi. Selain itu, ada dugaan cacat hukum karena distribusi bantuan disebutkan sejak Mei, padahal kedua regulasi disahkan setelah Mei (akhir Juni dan awal Agustus).
Dalam pasal 6 peraturan tersebut disebutkan bahwa pemanfaatan realokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2020 untuk percepatan penanganan Covid-19 harus berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan kepatutan.
Pemerintah Provinsi Bali juga mengeluarkan Pergub No. 23 tahun 2020 tentang Pemberian Bantuan Jaring Pengaman Sosial kepada Lembaga/Organisasi dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi Bali. Pasal 6 menyebutkan pemanfaatan realokasi anggaran APBD Semesta Berencana Provinsi Tahun 2020 untuk percepatan penanganan Covid-19 harus berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan kepatutan.
Dalam Pasal 7 ayat 1 dijelaskan bahwa penanganan dampak Covid-19 dalam bentuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) juga diberikan kepada lembaga/organisasi. Bentuk dan besaran bantuan yang diberikan kepada lembaga/organisasi ini berupa barang kebutuhan dasar dan disalurkan kepada anggotanya tersebut. Bantuan tersebut hanya diberikan satu kali.
Tim pemantau menelusuri hal ini dengan mengirimkan surat permohonan informasi pada 14 Juli kepada PPID Pemprov Bali untuk meminta Juknis. Permohonan dijawab pada 24 Juli. PPID Pemprov Bali cukup responsif dalam menjawab permintaan informasi.
Sumber bantuan Jaring Pengaman Sosial bersumber dari APBD Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun Anggaran 2020 yang dianggarkan melalui Belanja Tidak Terduga. Mekanismenya juga berjenjang.
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selaku Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah (SKPKD) menerbitkan SPM-LS paling lama 1 hari sejak diterimanya persyaratan pencairan Belanja Tidak Terduga lengkap dan sah, untuk selarjutnya diterbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh Bendahara Umum Daerah (BUD).
Setelah itu Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali mengadakan barang kebutuhan dasar. Barang kebutuhan dasar yang disalurkan kepada lembaga/organisasi dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) di Provinsi Bali sesuai dengan jumlah yang disetujui.
Penerima bantuan sosial menyampaikan pertanggungjawaban penyaluran barang kebutuhan dasar kepada Gubernur cq. Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali berupa surat pernyataan bermaterai 6.000 telah menyalurkan bantuan berupa barang kebutuhan dasar yang ditandatangani oleh pimpinan lembaga/organisasi; daftar penerima bantuan dari masing-masing lembaga/organisasi terlampir; penerima bantuan sosial bertanggungiawab secara formal dan material atas penggunaan bantuan sosial yang diterimanya dan sebagai obyek pemeriksaan oleh pemeriksa internal dan eksternal.
Dalam diskusi publik yang dihelat BaleBengong, Dinsos Bali menyebut sudah menyalurkan bantuan ke Pengurus Daerah Muhammadiyah Bali, PWNU Bali, dan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Bali. Masing-masing mendapatkan 15 ton beras. Tiap KK mendapat 5 kg.
Pengawasan pemberian bantuan melalui lembaga/organisasi ini penting diwaspadai mengingat tahun 2020 ini tahapan Pilkada dimulai. Di Bali, pilkada serentak akan digelar 9 Desember 2020 di 6 kabupaten/kota yakni Tabanan, Bangli, Denpasar, Badung, Karangasem, dan Jembrana.
Perubahan APBD Bali
Realokasi anggaran untuk penanganan COVID-19 di Bali, berdampak pada APBD tahun berjalan. Perubahan Ketiga Atas Peraturan Gubernur Nomor 57 Tahun 2019 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun Anggaran 2020. Regulasi ini menyebutkan defisit ditetapkan lebih dari Rp 755 milyar (12 persen dari total belanja). Ada mata anggaran Belanja Tak Terduga senilai Rp 502.104.021.234,68.
Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Kesehatan
Seira, pemantau lain mencoba mengakses PBJ di tingkat provinsi dan kabupaten. Tak mudah menemukan informasi terkait PBJ kesehatan untuk mericek ke total alokasi anggaran, termasuk detail barang dan jasa yang dibeli. Berdasarkan penelusuran informasi di situs SIRUP Provinsi Bali sampai Agustus, ditemukan ada sebanyak 18 Rencana Umum Pengadaan (RUP) yang berkaitan dengan COVID-19. Seluruh informasi RUP tersebut didapatkan dari hasil pencarian dengan menggunakan kata kunci COVID, corona, rapid test, swab, PCR, masker, APD, alat pelindung diri, thermo gun, dan sanitizer. Informasi tersebut dikumpulkan dari SIRUP Provinsi Bali pada tanggal 26 Agustus 2020 pukul 17:00 WITA.
RUP terkait COVID-19 di Provinsi Bali yang ditemukan tersebar pada lima satuan kerja yang berbeda yaitu: Dinas Kesehatan sebanyak 10 RUP, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) sebanyak 5 RUP, Dinas Perindustrian dan Perdagangan sebanyak 1 RUP, Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang Perumahan dan Kawasan Permukiman sebanyak 1 RUP, dan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan sebanyak 1 RUP.
Metode pemilihan yang digunakan pada 18 RUP terkait COVID-19 di Provinsi Bali terbagi menjadi 4 metode yaitu: metode dikecualikan sebagai metode terbanyak (7 RUP), pengadaan langsung (6 RUP), penunjukan langsung (3 RUP), dan e-purchasing (2 RUP). Sebanyak 9 RUP (6 RUP pengadaan langsung, 3 RUP penunjukan langsung) yang seharusnya dimuat pada LPSE Provinsi Bali tetapi tidak dimuat. Asumsi pemantau untuk bagian ini adalah adanya RUP yang sudah selesai pelaksanaannya tetapi pengadaannya tidak dimuat pada LPSE Provinsi Bali.
Sementara 6 RUP mencantumkan pelaksanaan kontrak hingga April dan Juni 2020, dan ada RUP yang pengadaannya belum selesai sehingga belum dimuat pada LPSE (3 RUP mencantumkan pelaksanaan kontrak hingga Agustus dan Desember 2020). Namun tidak ada RUP yang mencantumkan volume pengadaan yang memuat jumlah barang yang dibeli.
Berdasarkan informasi dan catatan di atas, dapat ditarik simpulan bahwa informasi rencana pengadaan yang dimuat di SIRUP Provinsi Bali masih sulit ditelusuri. Hal ini dapat dilihat pada tidak jelasnya informasi mengenai jumlah volume pengadaan barang, uraian serta spesifikasi pekerjaan yang juga tidak lengkap.
Selain itu masih ada RUP yang menurut detail paket, pengadaannya telah selesai dilaksanakan tetapi tidak dimuat pada LPSE Provinsi Bali. Pemerintah juga tidak konsisten mengikuti ketentuan dalam Perpres No. 16 Tahun 2018 karena ada RUP pengadaan barang dengan metode pengadaan langsung yang nilai pagunya lebih dari Rp 200 juta (senilai Rp 4,9 M bahan medis habis pakai).
Warga bisa ikut memantau pengadaan barang dan jasa pemerintah ini dengan membuka laman https://sirup.lkpp.go.id untuk cek RUP dan cek LPSE untuk mekanisme atau ikut pengadaannya. https://lpse.baliprov.go.id/
Ini penampakan SIRUP dan LPSE sampai akhir September. Nampak ada penambahan paket PBJ, karena bersifat dinamis.
Kurangnya transparansi dalam pengadaan barang dan jasa terkait COVID-19 dapat menjadi celah terjadinya korupsi yang berpotensi menghambat proses penanggulangan pandemi COVID-19. Oleh sebab itu rekomendasi yang dapat diberikan kepada pemerintah pada proses pengadaan barang dan jasa selanjutnya pada pemerintah berikut ini.
1. Membuat RUP yang sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa yang berlaku
2. Melengkapi setiap detail dari RUP yang dibuat meliputi volume, uraian, dan spesifikasi pekerjaan
3. Mengunggah informasi pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang telah dilakukan ke LPSE
Mengajak Publik Terlibat Mengawasi
Dalam melakukan pemantauan JPS, pemantau mengadakan serangkaian kegiatan, yaitu membuka posko pengaduan, no telp pengaduan, dan form pelaporan. Ada juga menyebarkan survei bansos, diskusi publik, dan membuat siaran pers.
Posko pengaduan dibuka di kantor LBH Bali, demikian juga penerimaan pengaduan lewat telpon dan medsos. Pengaduan langsung hanya 2 pihak yakni soal biaya karantina dan BST pendidikan. Sementara lewat telp dan email tidak ada, formulir pelaporan diisi 8 orang, jadi total 10 laporan warga. Dari jumlah ini, 4 kasus yang ditindaklanjuti dengan cara konfirmasi dan lewat diskusi publik.
Sementara di Bali, temuan kasus dari media dan laporan warga yang dirangkum sebanyak 33 kasus terkait distribusi bansos dalam periode Mei-awal September. Terbanyak BLT dana desa 14 kasus dan BST Kemensos 12 kasus. Jenis dan dugaan penyalahgunaan sekitar 23 kasus, terbanyak inklusion error (tidak sesuai syarat) sebanyak 13 kasus, penerima bantuan ganda, dan keterlambatan. Sisanya, 10 kasus adalah non-penyalahgunaan, ketika warga merasa terdampak dan sudah melaporkan status diri ke kantor desa namun belum menerima bantuan.
Tindak lanjutnya dengan klarifikasi dan meneruskan ke saluran pengaduan yang dikelola pemerintah seperti LAPOR, Jaga Bansos KPK, dan Dinsos Bali. Sedangkan survei bansos yang direspon 75 orang menyimpulkan sebagian besar warga tidak tahu jenis bansos dan penerimanya, memerlukan bansos tapi tidak dapat, dan perlu akses informasi publik yang terbuka.
Surat Permohonan Audiensi tentang Mekanisme Pengawasan Penganggaran terkait Penanganan Covid-19 oleh DPRD Bali diajukan untuk 26 Agustus. Namun dari konfirmasi per 31 Agustus lalu belum disanggupi.
Posko pengaduan dibuka di kantor LBH Bali, demikian juga penerimaan pengaduan lewat telpon dan medsos. Pengaduan langsung diterima dari 2 pihak yakni soal biaya karantina dan BST pendidikan. Sementara formulir pelaporan diisi 8 orang, jadi total 10 laporan warga. Dari jumlah ini, 4 kasus yang ditindaklanjuti dengan cara konfirmasi dan lewat diskusi publik.
Dari form laporan warga, pengaduan dominan terkait Kartu Prakerja (3 orang tidak lolos dan saldo tidak bisa digunakan untuk kursus), sisanya bansos PKH dan BLT desa.
Diskusi Publik untuk Klarifikasi
Salah satu strategi konfirmasi dan klarifikasi temuan adalah melalui diskusi publik daring atau online. Dilakukan empat kali diskusi publik. Pertama, Diskusi Publik online bertajuk “Suara Warga untuk Penanganan Covid-19 di Bali” pada 16 Juni 2020. Narasumber: Satgas Penanganan Covid Pemprov Bali, Ketua IDI Bali, dan kolaborasi pemantau. Hal yang dibahas adalah regulasi dan anggaran penanganan Covid, sarana dan fasilitas kesehatan, dan tantangannya. Mengundang sejumlah lembaga dan komunitas di Bali.
Kedua, Diskusi Publik online bertajuk “Suka Duka Bansos Pendidikan: Pembayaran Kuliah di Persimpangan Jalan” yang dihelat pada 7 Juli 2020. Narasumber: Dinas Pendidikan dan Olahraga, Koordinator Kelompok Aspirasi Mahasiswa Udayana, lembaga ektra dan intra kampus beberapa universitas di Bali.
Ketiga, Diskusi Publik Online “Cek Ricek Data Bansos Covid di Bali dan Pemanfaatan Hasil Desa”. Narasumber: Dinas Sosial Provinsi Bali, Ombudsman RI Bali, dan Desa Banyuseri, Buleleng. Dilaksanakan pada Selasa, 4 Agustus 2020.
Sebelumnya pemantau menyampaikan Pernyataan Sikap bertajuk Hindari Komersialisasi Kesehatan di Tengah Pandemi dibuat dan dipublikasikan pada 24 Agustus. Menindaklanjuti pembahasan Ranperda tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Ini usulan Gubernur Bali yang juga mencantumkan harga rapid test sebesar Rp 375 ribu pada 20 Agustus 2020. Hal ini mencerminkan komersialisasi kesehatan di tengah kesulitan hidup rakyat di pandemi ini.
Saat ini juga sedang diadvokasi ke Ombudsman Bali agar bantuan sosial tunai (BST) untuk mahasiswa agar anggaran yang baru terserap 61% terdistribusikan. Caranya dengan pembukaan distribusi tahap kedua. Syarat orang tua/wali harus KTP Bali dan surat PHK orang tua sulit dipenuhi karena sebagian mahasiswa dari luar Bali dan bekerja di sektor nonformal atau dirumahkan.
Karena itu, pemantau meminta pemerintah meningkatkan akses informasi publik dan transparansi karena informasi penting tak disediakan dalam kanal-kanal resmi. Misalnya yang paling mendasar adalah detail alokasi anggaran penanganan Covid, detail realokasi APBD, dan RUP pengadaan barang dan jasa.
Kedua, pemerintah aktif sosialisasi peraturan atau regulasi terbaru di semua kanal resmi seperti website dan medsos yang mereka kelola. Ketiga, aktif mengunggah data dan memperbaharui data di sistem PBJ (SIRUP dan LPSE) untuk memudahkan keterlibatan warga mengawasi dan mengetahui bantuan saat krisis. Keempat, mengunggah dan memperbaharui data distribusi alat kesehatan di kanal-kanal resmi pemerintah, menginformasikan titik krisis atau hambatannya agar bisa dimitigasi.
Masukan lain, merancang regulasi dengan melibatkan masyarakat sehingga tidak terkesan tambal sulam, misalnya program sudah dilaksanakan, tapi regulasinya baru dibuat. Berikutnya, merespon permohonan akses informasi lebih cepat dibanding ketentuan dalam UU KIP karena warga memerlukan informasi segera saat bencana.
“Tanpa proses lelang, pengadaan langsung yang terlalu bebas dan kurangnya transparansi memungkinkan indikasi penyalahgunaan,” lanjut Vany. Selain itu ia menyorot lonjakan kasus Covid yang tak diikuti kecukupan fasilitas kesehatan saat ini mendorong warga untuk mengakses anggaran kesehatan dengan mudah.
Meroketnya kasus infeksi dan berkurangnya layanan kesehatan juga menambah beban warga. “Warga harus mendapat informasi tiap saat kondisi layanan kesehatan yang tutup,” ujar Ody Putra, pemantau lain.
Salah satu celah yang bisa jadi alternatif adalah pemanfaatan dana desa penanganan Covid untuk alokasi bantuan logistik dan fasilitas karantina mengingat rumah sakit rujukan pasien Covid-19 nyaris penuh.
Untuk meluaskan hasil diskusi publik, juga didistribusikan siaran pers. Ada juga siaran Pers dan Pernyataan Sikap bertajuk Hindari Komersialisasi Kesehatan di Tengah Pandemi dibuat dan dipublikasikan pada 24 Agustus. Menindaklanjuti pembahasan Ranperda tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Ini usulan Gubernur Bali yang juga mencantumkan harga rapid test sebesar Rp 375 ribu pada 20 Agustus 2020. Hal ini mencerminkan komersialisasi kesehatan di tengah kesulitan hidup rakyat di pandemi ini. Pemantau mengajukan sejumlah rekomendasi yakni;
– Menolak komersialisasi kesehatan di tengah pandemi Covid
– Transparansi pengadaan barang dan jasa bidang kesehatan serta informasi penanganan Covid-19 selama pandemi.
– Mendorong Gubernur Bali dan DPRD Provinsi Bali untuk meningkatkan usaha penanganan Covid 19 terutama tracing (penelusuran) kasus baru dan tes yang mudah diakses publik.
– Mendorong Pemerintah, Komisi Penyelenggara Perlindungan dan Anak Provinsi Bali, dan Ombudsman untuk melakukan pengawasan terhadap pelayanan kesehatan terhadap masyarakat di tengah pandemi.
– Mendorong Pemerintah Bali dan Instansi terkait memberikan akses kesehatan walau pandemi dalam sistem terpadu penanganan dan pelayanan kesehatan bagi kelompok rentan khususnya ibu hamil, difabel, anak, dan lansia.
Tindak Lanjut Temuan
Ada sejumlah temuan yang ditindaklanjuti dengan klarifikasi langsung. Misalnya dua daerah dengan kasus pengembalian dana. Penerima bansos ganda di Kabupaten Gianyar diketahui dari temuan media, ada distribusi BST Kemensos di Desa Blahbatuh dan Payangan yang tidak merata dan ada ASN yang menerima bantuan. Ody Putra mengkonfirmasi langsung ke Kepala Dinas Sosial Gianyar (wawancara, 20/07/20) yang menyebutkan jika ada penerima salah sasaran, warga diminta mengembalikan kepada kepala desa dan pihak desa membuat berita acara untuk mengembalikan ke (perantara pembagian) yaitu POS Indonesia, BNI, atau BRI.
Ada juga laporan media di desa Beng, terkait ketidakcocokan data dari Dinas Sosial dengan desa Beng sendiri (RadarBali). Dikonfirmasi ke Kadis Sosial dan menyatakan telah berkoordinasi dengan kepala desa untuk meverifikasi ulang kembali data dari Kemensos dengan data lapangan di setiap desa. Pihak Dinsos mengakui data warga yang digunakan dalam pendistribusian BST ini menggunakan data tahun 2011 (wawancara A.A Putri, 20/07/20). Pendistribusian BST Kemensos setelah distribusi BLT Desa.
Karena skema pendistribusian bansos berkala dan data kurang valid, menyebabkan penerima bantuan ganda. Penerima ganda harus mengembalikan bantuan yang sebelumnya telah diterima. Sebanyak 560 KK dari 45 desa di Gianyar harus mengembalikan BLT Desa senilai 336 juta (NusaBali, 03/07/20).
Setelah dikonfirmasi, Kadis Sosial Gianyar menyebut sudah diminta mengembalikan dengan menempuh mekanisme. Kepala desa menjaring warga yang memperoleh bantuan ganda, selanjutnya warga mengembalikan ke pihak desa, dan pihak desa membuat berita acara pengembalian yang diserahkan kepada Dinas Sosial Gianyar serta ke (perantara pembagian) yaitu POS Indonesia dengan jumlah dananya.
Berbeda dengan BST Kemensos yang harus dikembalikan kepada Kemensos melalui perantara pembagiannya, BLT Desa harus mencari penerima pengganti untuk menerima bantuan tersebut. Dari hasil konfirmasi wawancara ditemukan, ada 14 KK di Desa Pejeng yang tidak mendapatkan penerima pengganti, dan bantuan tersebut diserahkan kembali ke kas desa (wawancara, 20/07/20). Namun tak mendapat berita acara pengembaliannya.
Konfirmasi ke sekretaris Desa Pejeng Kaja menyatakan keluh kesahnya perihal penerima ganda yang berasal dari BLT Desa dan BST Kemensos. Penyebabnya, ketidakcocokan data dari dinas sosial dan pihak desa. Desa mengaku telah melakukan verifikasi agar bantuan tepat sasaran, akan tetapi saat BST Kemensos, ternyata tidak cocok dengan data desa.
Pihak Dinas Sosial Gianyar dan Dinas PMD menyatakan akan ada bantuan gelombang kedua senilai Rp 300 ribu rupiah. Juknis BST Kemensos ini sudah ada, diberikan hingga Desember, Sedangkan BLT Desa hingga September, namun ini tergantung kemampuan desa.
Distribusi Bansos pada Penyandang Disabilitas
Pemantau menindaklanjuti hasil diskusi publik, yang menanyakan data penerima bansos untuk disabilitas. Bansos untuk disabilitas diberikan di PKH Kemensos dan bansos Pemda. Ada peluang juga bisa mendapatkan di skema BLT Desa asalkan memenuhi syarat KK miskin. Namun tidak bisa menerima bantuan ganda. Dari data Dinsos per 4 Agustus, bansos yang didistribusikan dari CSR BUMN sebanyak lebih dari 1800 paket untuk disabilitas.
Memantau Permohonan Mediasi
Anggaran Bantuan Sosial Tunai untuk mahasiswa sejumlah Rp 22,5 Miliar hanya mampu terealisasi Rp 13,8 Miliar (61%). Disdikpora Provinsi Bali menyiapkan bansos senilai Rp 1.5 juta per semester/mahasiswa untuk sekitar 15.000 orang, namun hanya terealisasi 9.490 orang. Pemohon mengajukan mediasi dan laporan ke Ombudsman Bali pada 27 Agustus. Permohonannya dua hal, keringanan syarat penerima BST Pendidikan untuk mahasiswa dan pembukaan distribusi tahap kedua, karena anggaran belum terserap optimal. Karena syarat saat ini, KTP Bali dan surat PHK orang tua sulit dipenuhi.
Dari pemaparan di atas, pemantau menyimpulkan dan merekomendasikan:
1. Pemerintah meningkatkan akses informasi publik dan transparansi karena informasi penting tak disediakan dalam kanal-kanal resmi. Misalnya yang paling mendasar adalah detail alokasi anggaran penanganan Covid, realokasi APBD, dan RUP pengadaan PBJ.
2. Pemerintah aktif sosialisasi peraturan atau regulasi terbaru di semua kanal resmi seperti website dan medsos yang mereka kelola.
3. Aktif mengunggah data dan memperbaharui data di sistem PBJ (SIRUP dan LPSE) untuk memudahkan keterlibatan warga mengawasi dan mengetahui bantuan saat krisis.
4. Mengunggah dan memperbaharui data distribusi alkes di kanal-kanal resmi pemerintah, menginformasikan titik krisis atau hambatannya agar bisa dimitigasi.
5. Merancang regulasi dengan melibatkan masyarakat sehingga tidak terkesan tambal sulam, misalnya program sudah dilaksanakan, tapi regulasinya baru dibuat.
6. Merespon permohonan akses informasi lebih cepat dibanding ketentuan dalam UU KIP karena warga memerlukan informasi segera saat bencana.
7. Tiap unit terkait menggunakan format pelaporan yang sama terkait distribusi alkes untuk memudahkan identifikasi dan penelusuran warga.
Kami di transportasi sangat menunggu kebijakan Pemutihan Kendaraan! Bayar saja sudah susah! malah kena Denda. Semoga pihak terkait Paham kondisi Rakyatnya!