Tak sekadar gambar, foto-foto ini juga merayakan perbedaan.
Sanur Village Festival (SVF) 2017 hadir dalam tema “Bhinneka Tunggal Ika” pada, 9-13 Agustus 2017. Mengacu pada tema tersebut, maka pameran foto di Santrian Gallery mengambil tema “Bhinneka Tunggal Ika” yang berlangsung pada 4 – 19 Agustus 2017.
Pameran foto dengan kurasi ini merupakan ajang ke-8 kali sejak berlangsungnya Sanur Village Festival yang sudah sampai pada penyelenggaraan ke-12 tahun ini.
Foto-foto merupakan visualisasi aktivitas masyarakat Indonesia dalam merefleksikan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai filsafah hidup dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berbeda-beda dalam ragam agama, bahasa, suku dan budaya, namun aktivitasnya menunjukan rasa persatuan sebagai Bangsa Indonesia.
Proses kurasi dilakukan lewat kurator tunggal I Made Iwan Darmawan, di mana setiap peserta mengirimkan karya fotonya lewat group facebook “Bhinneka Tunggal Ika (SVF 12)”.
Kurator menyeleksi dengan format sebuah foto esai untuk dapat menggambarkan sebuah filosofi yang hidup di tengah masyarakat Indonesia yang dijiwai dari Bhinneka Tunggal Ika.
Kurasi ini mulai pemilihan foto “Tarian Wayang Wong Sutasoma” (karya Wayan Gunadi). Dalam kitab Sutasoma yang ditulis Mpu Tantular di jaman kerajaan Majapahit dalam pemerintahan Raja Hayam Wuruk pada abad ke-14, disebutkan kalimat “Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”. Artinya Berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada kebenaran yang mendua.
Pada lambang Negara, kata Bhinneka Tunggal Ika tertulis dalam pita yang dicengkram oleh Burung Garuda Pancasila, seperti dalam foto Bersama Dalam Keberagaman (Gede Sudika Pratama) dan Bhinneka Tunggal Ika Maha Sakti (karya I Wayan Gede Supartha).
Para fotografer juga ada yang membuat format menerjemahkan filosofi “Bhinneka Tunggal Ika” seperti yang dimunculkan dalam foto karya Indahnya Keragaman (karya Anom Manik Agung), Bhinneka Tunggal Ika, Refleksi Sebuah Keberagaman (karya I Made Adi Dharmawan), Temanku Sahabat Baikku (karya Puja Astawa), Aku, Kamu dan Kita Tertawa Bersama (karya Kadek Arya Wahyu Diputra) dan juga foto berjudul Barong (karya Wayan Aksara) yang memunculkan sebuah bentuk kesenian dengan nama sama yaitu Barong, satu berkembang di Bali dan satu berkembang dalam kesenian Tiongkok yang juga berkembang di Bali.
Konsep nyata Bhinneka Tunggal Ika adalah dengan membangun semua tempat ibadah umat beragama dalam satu wilayah dan saling berdampingan di Nusa Dua, Bali seperti yang ditunjukan dalam foto Puja Mandala (karya Nyoman Arya Suartawan).
Para fotografer pula mencoba menemukan titik konsepsi perbedaan adalah satu dengan kegiatan yang digagas bersama, yang muncul dalam foto Kolaborasi Seni (karya Made Dwi Priyatna Indrawan), Megibung (KM Agus Mahendra) dan Upacara Bendera (Nur Efendi), Upacara Bendera di Kaki Semeru (Putu Sukmana Ghitha), dan Kesatuan dalam Keragaman (karya Agus Wiryadhi Saidi).
Foto lainnya menggambarkan bahwa sejumlah kesenian tumbuh dan besar di tanah Bali namun berasal dari luar Bali, dan menyatu dengan kebudayaan Bali. Seperti pementasan Tari Rodat di Goa Gajah (karya Kadek Raharja), Penjaga (karya Gusti Semarabawa), Ngayah (karya IB Subhakarma), Baris Cina Sanur (Linggar Saputra), Pelebon dengan Musik Rodat (karya Budiarta Aryawan) dan Angpao untuk Barongsai (Wayan Naya).
Pada foto lainnya terkurasi sebagai kegiatan yang beragam agama dan suku, namun tanpa ada jarak dalam memahami hubungan satu dengan yang lainnya dalam koridor berbangsa, terlihat dari, Saling Menghormati (karya Nyoman Hendra Adhi Wibowo), Doa Bersama (karya I Ketut Gede Kochiana), Beda Agama, Satu warna Satu Tujuan (karya I Made Satriya Dwi Baskhara), Ikut Bersedekah (karya I Ketut Widiatmika), Menabur Abu Jenazah (karya Raka Bujangga), Ied In Bali (karya Ida Bagus Krisna Wirajaya), Peringatan Yubelium 75TH (karya Agustinus Satmoko Tody P) dan Malabuh Gentuh (karya Putri Kusuma)
Foto pergaulan antar suku, agama dalam kegiatan yang lebih terbuka dan bebas seperti foto judul Moto Perbedaan (karya Taum Sardika), Lentera pemersatu (karya I Nyoman Kusala) dan Belajar Tari Bali (karya Wayan Gunada).
Juga kegiatan yang ada menunjukan bahwa keragaman itu bagian dari penyatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti ditunjukkan dalam foto judul “NKRI Harga Mati” (karya I Wayan Erwin Widyaswara) dan Penghormatan Terakhir (karya I Wayan Mardana).
Foto terakhir, sebuah foto close up suku Papua, membuat semua orang yang melihatnya danyakin bahwa kita semua akan berucap sesuai judul foto “Saya Indonesia” (karya foto I Wayan Gunayasa).
Foto yang dipamerkan lewas kurasi ini, akan diteruskan untuk terlibat dalam lomba foto oleh 3 juri independen (bukan kurator) yang merupakan fotografer, wartawan dan budayawan.
Hadiah yang diperebutkan adalah total Rp 14.000.000. Dengan perincian juara Juara 1 mendapat hadiah Rp 4.000.000,-. Juara 2 mendapat hadiah Rp 3.000.000,- Juara 3 mendapat hadiah Rp 2.000.000,- Dan 10 juara harapan dan masing masing mendapat Rp 500.000. [b]