“Selama 22 tahun saya berjuang, lembaga sudah cukup memenuhi secara psiko sosial, tetapi masalah pendidikan anak saya mohon bantuannya,” ujar Tumini, penyintas tragedi Bom Bali pada Rabu (12/06) di Akmani Legian, Kabupaten Badung.
Tumini dan para perempuan penyintas korban lainnya hadir pada agenda Peluncuran Hasil Pemetaan Komnas Perempuan. Pemetaan tersebut berjudul Menelusuri Labirin Pemulihan dan Perjuangan Hidup Perempuan Korban Terorisme.
Imam Nahe’i, Ketua Gugus Kerja Perempuan dan Kebhinekaan, Komnas Perempuan mengungkapkan hasil pemetaan ini bertujuan untuk melihat kebutuhan spesifik perempuan korban terorisme. “Ingin memperlihatkan pada publik dan negara bahwa ada kebutuhan spesifik perempuan korban terorisme yang harus menjadi perhatian negara,” ujar Nahe’i pada Rabu (12/06) di Akmani Legian.
Menurut Nahe’i ada beberapa faktor yang menghambat pemenuhan hak-hak korban terorisme. Seperti regulasi, perspektif gender yang kurang kuat dan keterbatasan layanan. “Regulasi menghambat pemenuhan hak-hak korban dan perspektif gender yang kurang kuat sehingga membaca kebutuhan khas perempuan tidak terlihat,” ujar Nahe’i.
Khusus di Bali, pihak Komnas Perempuan melihat adanya budaya khusus yang membuat perempuan Bali kesulitan memenuhi haknya. Misalnya, budaya patriarki yang menghambat perempuan Bali korban terorisme memulai hidup baru pasca tragedi. Menurut Nahe’i budaya patriarki dapat dikendalikan dengan kebijakan yang adil. Patriarki akan terus ada jika tidak disapa dengan kebijakan yang adil.
Pihak Pemprov Bali diwakili oleh Staf Ahli Gubernur Bali Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, I Made Sudarsana. Menjawab pertanyaan Tumini, Sudarsana mengungkapkan Gubernur Bali telah mengakomodir kebijakan khusus tentang pendaftaran sekolah bagi siswa yang tergolong miskin/tidak mampu secara finansial.
Namun, Sudarsana tidak dapat memastikan pada korban maupun keluarga korban terorisme dikategorikan miskin atau tidak. “Saya kurang tahu apakah ini bisa dikategorikan miskin atau tidak. Solusinya menurut kami coba Ibu bersurat saja pada Bapak Gubernur ya, nanti bersurat aja Ibu gapapa, tidak bisa ngetik tulis tangan gapapa atau anak ibu,” ujar Sudarsana. Pihak Pemprov tidak dapat memberikan bantuan dengan segera karena terhalang regulasi dan sistem audit.
Selain Pemprov Bali, ada beberapa stakeholder yang menghadiri acara tersebut. Seperti Dinas Sosial Provinsi Bali dan Dinas Pendidikan Provinsi Bali. Pihak lainnya seperti organisasi yang spesifik membantu pemenuhan hak perempuan, seperti LBH BWCC dan ormas keagamaan.
Rekomendasi dari Komnas Perempuan
Komisioner Komnas Perempuan lainnya, Olivia Chadidjah Salampessy menyampaikan beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan berbagai pemangku kebijakan khususnya Pemprov Bali. “Keberlanjutan jangka panjang dan negara harus membangun resiliensi. Negara perlu melakukan identifikasi untuk pemenuhan hak korban,” ujar Olivia. Memetakan dan identifikasi ini seperti jenis luka yang dialami korban, tergolong berat atau ringan. Termasuk korban yang harus mendapatkan perhatian khusus.
Bagi Komnas Perempuan, hal terpenting yang dapat dilakukan Pemprov Bali adalah segera menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) Pencegahan Penanganan Ekstrimisme dan Terorisme. Salah satu wilayah yang telah memiliki RAD ini adalah Surabaya. RAD ini meliputi perencanaan, pencegahan, dan pemulihan korban.
Trauma yang ditimbulkan akibat peristiwa terorisme tidak hanya secara fisik, ada juga secara psikis. Selain itu, tragedi terorisme memberikan dampak sosial yang buruk bagi korban. Olivia mencontohkan berupa kebencian pada kelompok agama tertentu. “Trauma healing yang tidak tuntas, berdampak pada pengentalan kebencian atau kemarahan terhadap agama tertentu, misal islamophobia,” ucap Olivia.
Hasil pemetaan yang dikerjakan Komnas Perempuan masih belum dapat dipublikasikan secara luas. Butuh waktu sekitar satu hingga dua bulan kemudian, untuk proses revisi dan publikasi.