Teks dan Foto ilustrasi Luh De Suriyani
Pasamuhan Agung atau rapat kerja Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali memutuskan desa adat harus meluruskan pengenaan hukuman kasepekang pada warga yang dinilai melanggar kesepakatan adat. Kasepekang atau pemberhentian sementara sebagai warga desa, dalam praktiknya dinilai melangar hak asasi manusia (HAM). Misalnya praktik pelarangan penggunaan kuburan dan pura bagi warga kasepekang.
MUDP Bali memutuskan pengenaan hukuman adat kasepekang hanya sebagai skorsing tanpa melakukan pengusiran dari desa. Warga yang kasepekang ini masih punya hak memanfaatkan setra (kuburan) banjar atau desa untuk melaksanakan penguruan jenazah dan memanfaatkan tempat suci atau pura atas sepengetahuan pengurus desa.
Selain kasepekang, MUDP juga meminta desa adat tidak memberikan sanksi pemberhentian permanen atau kanorayang pada warga. Dalam keputusannya, kanorayang hanya bisa diberikan paling lama tiga tahun untuk warga dengan kejahatan sangat berat. Beberapa orang mengusulkan untuk pemerkosa atau pencuri pretima (perlengkapan yang disucikan di pura). Namun kategori super berat ini akan diputuskan belakangan.
Demikian salah satu keputusan musyawarah MUDP yang dihadiri seluruh pengurus desa dan kabupatennya ini. Pesamuhan Agung adalah forum keputusan tertinggi untuk mebuat program kerja dan menetapkan atau memperbaiki aturan adat di Bali. MUDP adalah semacam lembaga perwakilan untuk pengurus desa-desa pekraman di Bali.
Babak baru penegakan hukum adat dengan pendekatan nilai-nilai HAM terlihat dalam Pasamuhan Agung MUDP Bali tahun ini. Dalam diskusi komisi-komisi di ruang Kantor Gubernur Bali, Renon, Jumat (15/10) itu, peserta Pasamuhan Agung mengkritisi dampak buruk kasepekang selama ini yang menjadi polemic.
“Kita harus membuat citra baru hukum adat Bali yang lebih beradab. Ini saatnya berpikir untuk berubah dan merevisi pengertian kasepekang yang salah dilaksanakan banyak desa,” ujar I Ketut Sumarta, Sekretaris MUDP Bali. Menurutnya, selama ini Bali cenderung mensakralkan peraturan adat sehingga enggan untuk mengubahnya, termasuk jika sanksi itu melanggar HAM. “Apakah kita menunggu Belanda yang mengubahnya atau negara lain yang pernah menjajah dulu?” serunya dalam paruman yang membuat suasana hening.
Selain bertentangan dengan HAM, sejumlah pengurus MUDP juga risau dengan makin hilangnya generasi muda dan warga adat karena beratnya hukum adat. “Desa pakraman jangan jadi diktator. Jangan hanya karena masalah pribadi keluarga, ada warga kasepekang. Warga kita bisa habis karena tak mau jadi krama adat,” ujar Ida I Dewa Ngurah Suwastha, Wakil Ketua MUDP Bali.
Jika ada desa-desa adat yang memberlakukan hukuman kasepekang tanpa memberikan hak-hak sebagai warga, maka dianggap sebagai desa bermasalah.
Prof I Wayan P. Windia, guru besar Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Udayana memaparkan, dalam sejarahnya yang mengatur desa pekraman sebelum MUDP kolonial Belanda sejak 1849 yang menguasai Bali. Kemudian hingga 1908 pengaturan oleh raja-raja pada jaman kerajaan di Bali. Baru pada 2004 MUDP Bali diresmikan setelah ditetapkannya perda soal desa pakraman.
Dalam laporannya, Windia yang juga Ketua Panitia Pengarah MUDP Bali memaparkan sejumlah program unggulan yang akan dirintis. Di antaranya, memperjuangkan desa pakraman sebagai subjek hukum formal sesuai UU, dan memperjuangkan penyelesaian perkara adat untuk mendapat legitimasi lembaga peradilan negara. Berikutnya, membebaskan kekayaan desa pakraman dari kewajiban membayar pajak, dan memperjuangkan mata pelajaran hukum adat Bali di tingkat SMP dan SMA di Bali.
“Perkara adat yang sudah diputuskan di desa seperti hak waris, kadang dibatalkan pengadilan. Ini yang harus disinergikan agar hukum adat punya wibawa,” jelas Windia.
Windia mendorong hukum adat makin beradab karena banyak tantangan yang dihadapi warga Hindu di Bali. Misalnya masalah internal desa adat seperti kewajiban fisik dan materi (ayah-ayahan desa) yang sama tanpa mengindahkan kondisi ekonomi warga. Masalah eksternal yang diidentifikasi misalnya pengusaha yang mengabaikan norma adat, konflik di desa akibat globalisasi dan hilangnya spirit kebersamaan.
Dengan kelembagaan desa adat, Bali masih memelihara sejumlah sanksi adat bagi warga adatnya. Hukuman ini di luar hukuman formal seperti pidana. Hukum adat hanya melingkupi persoalan yang melingkupi hak dan kewajiban warga adat di Bali.
Dalam pasamuhan ini juga ditetapkan sejumlah kesepakatan meningkatkan kedudukan perempuan dalam keluarga dan hak waris. Hak waris disepakati masih bisa dimiliki oleh perempuan yang melangsungkan perkawinan nyentana (laki-laki mengikut keluarga perempuan). Selain itu suami dan istri punya kedudukan yang sama dalam mengelola harta yang diperoleh selama pernikahan.
http://www.thejakartapost.com/news/2010/10/18/revision-draconian-punishment-demanded.html