Deretan burung hantu terlihat di pinggir jalan dusun di kaki Gunung Batukaru.
Mereka hinggap di depan rumah warga Dusun Pagi, Desa Senganan, Kecamatan Penebel, Tabanan. Saat malam, burung-burung itu mengeluarkan pendar cahaya dari lampu di dalamnya.
Deretan burung itu memang sekadar lampu. Mereka inisiatif untuk mengenalkan kembali pada generasi kini. Burung hantu adalah predator alami hama tikus yang membuat hasil panen sengkarut.
Beberapa tahun ini, petani di Dusun Pagi resah. Hama tikus merajelala. Panen padi berkurang. Padahal warga sedang semangat menanam padi lokal jenis beras merah yang ditanam enam bulan sekali. Dusun ini juga baru memulai meninggalkan asupan kimiawi.
Anak-anak dan remaja kini makin akrab dengan rupa si Tyto Alba, nama latin burung hantu pemburu tikus sawah ini. Ada yang membuat rupa burung terkenal di kisah Harry Potter ini dalam bentuk patung, tanah liat, dan lainnya.
Selain bertengger sebagai hiasan depan rumah warga, burung-burung ini juga dibudidayakan. Dari empat anakan, kini sudah beranak pinak lagi hampir 10 ekor dalam dua tahun terakhir ini.
Misalnya saja, satu anakan kini berusia setahun dan punya lima anak. Tiap malam, rata-rata satu ekor burung hantu perlu dua ekor tikus yang diburu untuk menu pokok mereka. Dari empat ekor anakan pertama, tiga ekor sudah beranak pinak. Seekor tak bisa produktif karena kakinya patah kena benang layangan yang tajam.
Pergerakan para burung hantu bisa sampai radius 20 km, artinya ia bisa mengurangi tikus tak hanya sawah sekitar kandangnya juga desa lain. Tyto Alba dewasa mulai dilepas akhir 2015 sebanyak 4 ekor.
Panen Berkurang
Kisah pelestarian burung hantu sebagai predator alami hama tikus ini dimulai karena hasil panen terus berkurang. “Ada petani, jerami saja tak dapat,” ingat Kadek Jonita, salah seorang penggerak dusun ini. Pria yang dipanggil Dek Enjoy ini berdiskusi dengan warga lain.
Hingga mereka memutuskan harus belajar dulu ke Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Demak, Jawa Tengah yang berhasil membudidayakan burung hantu. Mereka berhasil membuat unit rumah-rumah burung hantu menjulang di tengah sawah dan hama tikus lebih terkendali.
Pulang dari Demak, warga Dusun Pagi kemudian memburu anakan Tyto Alba di Tabanan. Mereka berkeliling sekitar sebulan ke sejumlah lokasi yang disebut pernah terlihat kandang burung hantu. Sebagai binatang nocturnal, mereka mencari lokasi sepi, agak tinggi tak terjangkau warga.
“Mereka bersarang di atap rumah-rumah karena sudah sulit buat kandang di pohon-pohon tinggi dan tanpa sumber air,” tutur Dek Enjoy.
Dengan dana swadaya, warga mulai menangkar burung hantu ini di dusun Pagi. Sebagai awalan, Dek Enjoy yang juga petani ini mencarikan makanan bagi anak-anak burung hantu ini. Di rumahnya terlihat deretan senapan angin untuk memburu tikus yang merusak sawahnya. Dalam seminggu ia harus mendapatkan setidaknya 200 tikus yang diburu malam hari, dibantu senter. Sebelum diringankan oleh para preadator ini, senapan angin lah senjatanya memerangi hama.
Warga juga membuat rumah burung hantu di sawah dan tempat penangkaran. Di dalam kandang, terlihat empat ekor dewasa. Satu ekor yang sudah dilepasliarkan malah memilih sebuah atap bangunan tua untuk rumahnya.
Sekitar kandang berbau tajam. Tulang belulang dan kepala tikus terihat di sana-sini. Para burung hantu ini memang melepehkan sisa yang tak disukainya. Bau sisa organ tikus dan air ludah ini juga yang menjadi jejaknya untuk kembali pulang ke kandang, menuntunnya memastikan itu rumahnya.
Burung Hantu sang Pengendali
Dusun ini sudah lebih tiga tahun bergerak untuk kembali mempraktikkan tradisi pertaniannya yang alami di masa lalu sebelum revolusi hijau terjadi. Mereka beberapa kali membuat event pertanian bersama kelompok subak (organisasi pertanian di Bali). Namanya UmaWali. Sebuah perayaan alam dengan kesenian dan pendidikan. Warga diajak mengunjungi pertanian yang selaras alam dan mengenalkan anak-anak setempat tentang potensi alamnya.
Sebuah komunitas warga Tabanan bernama Tabanan Lover (Talov) mencoba mendorong pertanian organik dan menjawab keresahan petani Bali hingga kini yakni pemasaran beras langsung ke konsumen. Mereka membuat sistem pemasaran beras petani langsung ke konsumen. Caranya dengan program beras indent.
Tiap konsumen yang terdaftar sebagai pelanggan melakukan indent atau menyetorkan uang 10% pembelian dahulu ke kelompok petani Subak Ganggangan, di Desa Pagi, Tabanan. Ini adalah kelompok subak yang didorong Talov untuk tetap lestari dengan menjaga tradisi dan lahannya.
Pada awalnya ada petani yang ragu karena mereka terlalu sering dapat janji-janji dari berbagai pihak tetapi tidak terlaksana. “Saya sendiri sudah melakukan pola tanam organik ini sekitar 3 tahun. Meskipun lahan yang saya kelola sekitar 30 are tidak luput dari serangan hama tikus namun hasil yang saya capai masih sangat lumayan yaitu 1,8 ton Padi Bali,” tutur Dek Enjoy. Jika tidak diserang tikus hasilnya lebih dari 2,5 ton.
Tetapi yang paling mempengaruhi kesadaran petani adalah faktor biaya produksi. Walau hasil padi sama antara organik dan anorganik, setelah diselip hasil berasnya berbeda. Gabah anorganik kering giling umumnya menghasilkan maksimal 60kg beras/100kg gabah kering giling. Sementara yang organik mampu menghasilkan hampir 80kg beras/100 kg gabah kering giling.
Para pelanggan beras indent yang terdaftar disebut Sahabat Umawali. Mereka memberikan deposit di awal sebesar 10% dari total paket yang disepakati. Deposit dibayar di awal musim tanam. Tujuan dari deposit ini adalah menjalin ikatan pertemanan anatar petani dan calon pembelinya. Sehingga diharapkan ada gairah dan semangat lebih bagi petani mengolah lahannya.
Dengan jalinan yang erat, kedua pihak akan diyakini muncul ikatan emosional antara pemroduksi beras dan pengkonsumsi beras. Petani tidak lagi merasa sebagai profesi rendahan, dan konsumen menyadari ketergantungan mereka akan pangan.
Kesadaran ini diharap mampu memperbaiki sudut pandang masyarakat umum terhadap sistem Subak di Bali. “Karena Subak bukan hanya urusan produksi beras, tetapi adalah tempat hidup. Banyak filosofi hidup dan kehidupan ditanam di Subak. Utamanya adalah menjaga keseimbangan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan sang pencipta,” jelas Dek Enjoy.
Warga dari dusun lain di Tabanan mulai banyak mengapresiasi inisiatif komunitas ini. Misalnya ada gerakan Sahabat Peduli Celepuk dari Nang Oman untuk menggalang dana bagi pengembangan Tyto Alba. Celepuk adalah bahasa Bali untuk burung hantu. “Kecil-kecilan, sisihkan Rp 500 per hari untuk penangkaran celepuk,” katanya.
Ada penelitian untuk tesis di Program Pascasarjana Universitas Diponegoro oleh Johan Setiabudi (2014). Judulnya Strategi Pengembangan Pengendalian Populasi Tikus Sawah (Rattus Argentiventer) menggunakan Predator Burung Hantu (Tyto Alba) pada Lahan Pertanian Sawah Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang.
Salah satu simpulannya, petani masih pasif dalam kampanye preadtor alami ini. Barangkali inilah yang coba digiatkan Talov dengan membuat sejumlah pernak-pernik burung hantu agar lebih banyak yang terlibat, termasuk anak-anak.
Laman Undip menyebutkan di Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang pengendalian populasi hama tikus sawah telah dilakukan dengan cara fisik (gropyokan) atau kimia (emposan, racun) namun kedua cara tersebut memiliki dampak lingkungan yaitu cara fisik akan merusak padi, lahan pertanian dan cara kimia akan mencemari lingkungan baik padi, lahan pertanian maupun bagi kesehatan petani sendiri.
Pengendalian ramah lingkungan dengan cara hayati saat ini sedang dilakukan. Salah satunya dengan pemanfaatan musuh alami tikus sawah yaitu predator burung hantu yang dapat mengendalikan hama tikus sawah tanpa merusak padi, lahan dan tidak menimbulkan pencemaran. Pengembangan pemanfaatan burung hantu antara lain pembuatan karantina burung hantu, pembuatan rumah burung hantu (rubuha) secara kontinyu dan pembuatan peraturan desa mengenai perlindungan, pemanfaatan dan kelestarian burung hantu.
Tujuan penelitian di Kecamatan Banyubiru ini adalah untuk mengetahui berapa nilai kerugian yang dialami petani. Selain itu persepsi dan perilaku petani yang memanfaatkan burung hantu, pelaksanaan pengendalian hama tikus sawah, dan prioritas kebijakan yang dapat diambil dalam mengembangkan pemanfaatan burung hantu.
Metode yang digunakan untuk penentuan prioritas adalah menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process). Pengambilan data dengan menggunakan kuisioner ke berbagai pihak antara lain Bappeda, BLH, Bakorluh, akademisi, Kecamatan, Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan serta pihak karantina burung hantu.
Hasil penelitian menunjukan, pertama, kerusakan padi di Kecamatan Banyubiru pada tahun 2013 mencapai 98 ha dengan kerugian petani lebih 1 milyar. Kedua, persepsi petani dalam memanfaatan burung hantu di Kecamatan Banyubiru dirasa cukup efektif, efisien dan ramah lingkungan namun tidak dilakukan sebagian besar petani yang belum tergerak mengikuti langkah pemanfaatan tersebut karena ingin melihat hasil dan bukti dahulu.
Perilaku petani yang pasif ditunjukan dengan kurang aktifnya petani terlibat dalam pengendalian hama tikus sawah melalui pemanfaatan burung hantu.
Ketiga, pelaksanaan pengendalian hama tikus sawah dilakukan dengan sanitasi lingkungan, gropyokan dengan emposan, umpan beracun dan burung hantu secara berkesinambungan. Pemanfaatan burung hantu telah berjalan 1,5 tahun sudah mulai tampak hasilnya dan diperkirakan dalam 5 tahun ke depan akan terasa hasil dan manfaatnya.
Keempat, prioritas kebijakan dalam pengembangan pemanfaatan burung hantu adalah pembuatan karantina burung hantu, pembuatan peraturan desa mengenai perlindungan, pemanfaatan dan pengembangan burung hantu dan pembuatan rumah burung hantu secara kontinyu. [b]
Tulisan ini pernah dimuat media lingkungan Mongabay Indonesia.