Oleh Anton Muhajir
Istilah nol kilometer pertama kali saya baca di tulisan Andreas Harsono tentang Sabang. Pendiri Yayasan Pantau, yang bergerak di bidang peningkatan media, itu menceritakan pengalamannya mengunjungi monumen nol kilometer Indonesia di Aceh tersebut. Lebih dari itu, Andreas menuliskan tentang apa sih yang disebut Indonesia itu.
Saya lalu tergelitik untuk mencari juga. Di mana sih nol kilometer Denpasar?
Nol kilometer Denpasar berada di Jl Surapati. Tidak berupa monumen seperti di Pulau Weh, Sabang, tapi hanya patok beton kecil di kanan jalan satu arah ini. Balok kecil berisi angka 0 di sekelilingnya. Dari sinilah Denpasar berpusat.
Balok ini berjarak sekitar 20 meter dari Patung Catur Muka yang jadi pusat dari empat jalan utama di Denpasar: jalan Udayana ke selatan, jalan Gajah Mada ke barat, jalan Veteran ke utara, dan jalan Surapati ke timur. Di sekitar tempat ini ada pula kantor walikota Denpasar dan rumah jabatan gubernur Bali.
Di tempat ini pula pernah terjadi apa yang disebut sebagai Puputan Badung pada 20 September 1906. Pertempuran besar ini terjadi antara pasukan Belanda dan puri Badung dengan kekalahan di pihak Raja Badung dan tentaranya. Puputan ini dikenang, salah satunya, melalui patung di tempat ini pula. Ada patung berupa tiga orang, laki-laki, perempuan, dan anak kecil.
Patung ini berada di bagian utara lapangan bernama Puputan Badung. Dan, lapangan ini bisalah disebut sebagai tempat warga Denpasar melebur, terutama pada akhir pekan.
Pada Sabtu dan Minggu, tempat ini memang jadi pusat kegiatan warga Denpasar. Mulai dari skater, penari bali, arisan keluarga, main bola, main layangan, dan seterusnya. Hanya ada dua kelompok yang mungkin tidak bisa akur di sini: pedagang acung dan petugas Tramtib.. Soal ini kapan-kapan saya tulis tersendiri.
Agenda pasti yang selalu ada tiap Minggu di tempat ini adalah pentas budaya oleh anak-anak SD se-Denpasar. Tiap minggu anak-anak SD dari berbagai SD di Denpasar ini main tari bali. Menurut salah satu panitia, kegiatan ini dilakukan sejak Puspayoga menjadi walikota Denpasar. “Agar anak-anak tidak lupa pada kesenian tradisinya,” kata petugas itu.
Secara bergantian anak-anak itu tampil sekitar pukul 3 hingga pukul 6 sore. Tariannya ya macam-macam: tari baris, janger, dan seterusnya. Penonton pun meluber di sekeliling panggung kecil berlantai semen di sisi selatan lapangan ini.
Keluarga yang arisan biasanya duduk lesehan bergerombol di bawah pohon. Termasuk keluarga besark saya juga beberapa kali mengadakan arisan di sini. Selesai arisan dilanjut ngobrol santai kangin kauh alias ngalor ngidul.
Kelompok lain yang hampir pasti tiap minggu mengadakan kegiatan adalah kelompok Falun Gong yang selalu mengadakan olah tubuh di sisi pojok utara lapangan ini. Mereka berdampingan dengan anak-anak skater yang asik berjumpalitan di trotoar lapangan.
Kegiatan di Lapangan Puputan Badung makin lengkap karena tiap dua minggu sekali ada kampanye pluralisme dari National Integration Movement (NIM). Kelompok yang didirikan Anand Krishna ini memang gencar mengampanyekan pluralisme meski kadang terlalu verbal. Secara rutin mereka berkampanye dengan menyanyi bersama tentang pentingnya merayakan perbedaan. Maka, makin lengkaplah perayaan perbedaan di nol kilometer Denpasar ini. [b]
wah baru tahu niy ttg nol kilometer 😉