“Sudah terlalu banyak pembangunan, sudah overkill, sudah macet terlalu panas,” ujar Birgit Brauchler dari sambungan telepon WhatsApp pada 18 Juni 2024.
Birgit, seorang akademisi ilmu antropologi asal Jerman. Pertama kali menginjakkan kaki di Sanur pada tahun 2013. Sebelumnya, Ia telah ke Bali untuk meneliti gerakan Bali Tolak Reklamasi. Penelitian itu menghasilkan jurnal ilmiah berjudul Bali Tolak Reklamasi: The local adoption of global protest.
Ingatan Birgit masa itu, solidaritas seluruh elemen masyarakat menolak proyek reklamasi Teluk Benoa begitu solid. Gerakan itu melibatkan para seniman, aktivis, akademisi, warga dan profesi lainnya. Masa itu juga terdengar lagu penyemangat gerakan bertajuk Bali Tolak Reklamasi. “Tolak reklamasi tergolong gerakan yang sukses tapi walaupun tidak ada reklamasi sekarang ada banyak proyek-proyek lain ya di mana-mana muncul,” ucap Birgit.
Sanur menjadi sasaran lokasi proyek pembangunan, seperti RS International, Pelabuhan, ICON Bali Mall sampai Magnum Residence. Berdasarkan Perda Kota Denpasar Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2021-2041, Pasal 53 ayat 3 menyebutkan aturan tentang pengembangan fasilitas pusat perbelanjaan. Isinya, pengembangan pusat perbelanjaan atau toko swalayan dikembangkan pada lokasi yang memiliki akses langsung atau di pinggir jalan fungsi arteri dan kolektor.
Kekhawatiran yang menjadi kenyataan timbul. Kawasan Sanur kian macet. Lainnya, bagi Birgit adanya mall akan mempengaruhi pendapatan pedagang maupun pemilik toko kecil di sekitar Sanur. Selain berdampak pada lingkungan, pembangunan di Sanur menurut Birgit juga akan mempengaruhi pola interaksi antar warga. “Longrun, it destroy the environment, they don’t know their neighbor, individual lifestyle,” ujar Birgit dalam bahasa Inggris.
Pentingnya Warga Terlibat Pengawasan Tata Ruang di Bali
Selama pembangunan berlangsung di Sanur, Birgit tidak mendengar adanya gerakan penolakan maupun petisi. “Waktu itu saya tidak dapat lihat bahwa ada gerakan yang tolak mall itu. Saya tidak melihat ada ada demo-demo atau ada petisi,” jelas Birgit. Ketiadaan gerakan atas mega pembangunan yang subur di Bali bagi Birgit harus segera dicari penyebabnya.
Ada beberapa indikator yang dapat dilakukan untuk memantau. Seperti membandingkan antara regulasi dengan kenyataan yang ada. Mengajukan rekomendasi kebijakan atas tata ruang Bali. Metode pengecekan melalui satelit Google Earth dapat memantau alih fungsi lahan yang terjadi. Misalnya di area Sanur. Perbedaan kondisi peruntukan lahan ini dapat menjadi acuan dalam rekomendasi kebijakan atas tata ruang di Bali.
Mengadakan rembug bersama warga adalah kewajiban pemerintah dan hak warga untuk berbicara. Seperti diskusi “Anak Muda Bicara Kota Denpasar, Yakin Nak Kodya?” yang diselenggarakan pada Jumat, 21 Juni 2024 di Youth Park, Lumintang, Denpasar. Diskusi yang merupakan kerja sama antar Kota Kita dan BaleBengong mengumpulkan aspirasi warga dan langsung ditanggapi dinas di Kota Denpasar.
Berbagai usulan menarik hadir. Misalnya memperhatikan kawasan dan peruntukan wilayah dengan metode pentahelix. Memperhatikan aspek ramah anak, perempuan dan disabilitas. Termasuk tata kota yang mendalami tradisi di masa lalu, misalnya konsep teba.
Sanur hanya satu kawasan di Bali yang membutuhkan pantauan atas tata ruang wilayahnya. Bagaimana dengan wilayah lainnya di Bali?