Ingin terbang tapi tak punya sayap? Gampang. Sediakan saja uang. 🙂
Bermodal Rp 350.000, Anda bisa menikmati sensasi terbang layaknya elang. Di ketinggian, kita bisa melayang. Menikmati indahnya ujung Bali selatan. Atraksi paragliding ini bisa jadi pilihan wisata ekstrim di Bali selain yang sudah biasa dilakukan.
Sambil menikmati tubuh berayun-ayun serta pemandangan laut biru, bukit megah membisu, dan garis pantai putih mendayu, kita juga bisa membuktikan diri sebagai manusia perkasa, melawan gravitasi! Seperti melawan takdir. Inilah enaknya paragliding.
Kekuatan untuk terbang itu berasal dari parasut yang mengembang di atas kita. Dia menahan agar kita bisa terbang, meninggalkan bukit menuju laut lepas lalu dibawa angin ke ketinggian ratusan meter.
Tapi, karena kita hanya penerbang abal-abal, maka kita harus terbang dengan cara tandem. Kita berada di depan, sementara paraglider ahli di belakang. Dia akan mengendalikan parasut tersebut ke mana hendak menuju. Terbang ini biasanya bolak-balik sekitar 2 km di atas bukit dan pantai tersebut.
Saat paraglider ini sibuk mengendalikan parasutnya, kita yang “digendong” di depannya bisa memuaskan diri melihat pemandangan di bawah kita. Atau, jika membawa kamera, tak henti-henti merekam pemandangan tersebut.
Sebulan lalu, saya kembali merasakan sensasi terbang ini setelah sekitar delapan tahun lalu saya pertama kali mencobanya.
Lokasi untuk paragliding ini di Bukit Timbis, Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, sekitar 45 menit dari Bandara Ngurah Rai Bali. Tidak ada petunjuk apa pun ke sini. Lokasi ini berada di sisi kanan jalan raya Pecatu menuju Nusa Dua, setelah Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Nusa Dua. Ada jalan Bukit Payung. Dari jalan ini masih masuk sekitar 1 km dengan kondisi jalan aspal namun kemudian berkapur.
Karena tidak ada papan petunjuk ke arah bukit ini sama sekali, maka warga setempat bisa jadi penunjuk jalan. Bertanyalah pada mereka.
Kalau malu bertanya, ikuti saja jalan setapak ke arah ujung bukit sambil melihat ke langit. Siapa tahu Anda beruntung dan bisa melihat puluhan orang sedang terbang menggunakan paragliding ini.
Lisensi
Atraksi paragliding di kawasan ini mulai sejak sekitar 10 tahun lalu. Saat ini ada tiga operator atraksi wisata berisiko ini. Salah satunya Bali Paraglider Club (BPC). Ketiga operator ini ada di bukit yang tak jauh berbeda kondisinya, agak landai dan berada di ujung bukit yang bahkan mirip tebing.
Dari pos penerbangan ini, kita bisa melihat laut lepas Bali selatan. Di bawah sana, berjarak sekitar 75 meter, ada bentangan ladang rumput laut tempat warga sekitar menggantungkan sumber penghidupan. Pemandangan ini jadi objek tak kalah asiknya bagi pengunjung yang sekadar jalan-jalan ke sini sambil melihat para penerbang tersebut.
Untuk bisa menikmati terbang dengan paragliding ini, pengunjung harus membayar US$ 69. Harga tersebut untuk turis asing. Kalau untuk tamu Indonesia, biayanya hanya separuhnya Rp 350.000. Harga yang sudah termasuk penjemputan dan asuransi ini hanya untuk terbang tandem alias didampingi paraglider profesional itu tadi.
Paragliding termasuk atraksi wisata berisiko tinggi, seperti juga menyelam. “Karena itu perlu pendamping untuk pemula,” kata Rizky Widiantara, anggota tim pilot BPC.
Menurut Rizky, pengunjung boleh terbang sendiri jika sudah punya lisensi. Untuk mendapat surat izin ini, perlu ada pendidikan khusus selama dua hingga tujuh hari. Biayanya antara US$ 150-600. Lumayan mahal.
Maka, kalau hanya untuk menikmati enaknya terbang ini sesekali, cukuplah tandem. Apalagi untuk beli parasut juga sampai puluhan juta. Maka, mari pilih tandem saja.
Mual
Sebelum terbang, pendamping akan memberikan instruksi pada penerbang pemula. Misalnya posisi saat take off atau mendarat. Demi keamanan, penerbang tandem akan dilengkapi alat seperti harness, helm, dan parasut cadangan. Satu hal lagi yang penting, jangan pakai sandal jepit atau sepatu pantopel jika ke sini. Pakailah sepatu olahraga atau sandal gunung demi keamanan saat pendaratan.
Tantangan lain saat terbang dengan paragliding ini adalah menghilangkan rasa takut dan mual saat terbang. Kalau rasa takut sih sudah hilang. Namun, meski sudah pernah terbang sebelumnya, saya masih saja merasakan mual itu. Ini yang membuatnya terbang itu agak terganggu. 🙁
Waktu terbaik untuk terbang antara siang hingga sore hari. Meski demikian, atraksi ini juga terbuka dari pukul 9 pagi hingga 6 malam. Menurut Rizky, salah satu waktu terbaik adalah saat menjelang matahari tenggelam. “Melihat matahari tenggelam sambil terbang itu kenikmatan yang tak bisa diungkapkan,” tambahnya.
Namun, terbang pada siang hari pun tetap terasa nikmatnya. Sambil melayang, kita bisa melihat hamparan rumput laut, kawasan hotel di sekitar Nusa Dua, bukit yang terus dikeruk demi pariwisata, atau kawasan pura di sini. Melihat mereka dari sudut pandang berbeda juga memberikan sensasi berbeda dari biasanya.
Adapun bulan yang cocok untuk terbang hampir sepanjang tahun kecuali saat musim angin kencang, biasanya antara Oktober hingga Januari.
Pada waktu dan bulan tersebut, langit di sekitar Bukit Timbis ini pun akan dipenuhi puluhan atau bahkan ratusan penerbang. Jika tak punya cukup uang untuk terbang, cukuplah jalan-jalan dan duduk manis menikmati mereka melayang. Itu juga sudah memberikan hiburan tersendiri. [b]