Seni sebagai media perlawanan di gerakan Bali Tolak Reklamasi.
Ketika kita mendengar kata “melawan” atau “lawan”, maka yang terlintas di pikiran adalah “kekerasan”. Atau ada dua pihak yang berhadap-hadapan karena ada tindakan/perbuatan oleh satu pihak yang membuat pihak lainnya merasa dirugikan.
Kasus-kasus penyelesaian hukum, seperti pembebasan lahan, eksekusi sebuah tempat atau rumah, pemberontak yang melawan sebuah pemerintahan, demonstrasi terhadap sebuah kebijaksanaan, dan sebagainya.
Namun sebuah ‘perlawanan’ tidak selalu berupa kekerasan. Melawan dengan seni adalah sebuah bentuk perlawanan yang tidak dilakukan dengan kekerasan. Hal ini bisa kita lihat dalam perjuangan rakyat Bali yang tergabung dalam barisan tolak reklamasi Teluk Benoa di bawah Pasubayan Desa Adat dan ForBALI. Banyak aspek perjuangannya bernafaskan seni, walau mungkin ketika awal-awal perjuangannya dirintis hanya dengan demonstrasi seperti pada umumnya.
Saya sendiri tidak ikut dalam pergerakan dari awal. Namun ketika saya mulai ikut dalam barisan saya sudah melihat ada unsur seni masuk. Dalam setiap aksi selalu ada kesenian yang dipentaskan; apakah itu musik, kesenian tradisional, maupun kreatifitas seni lainnya. Dan istilah demo pun memakai istilah “Parade Budaya”, karena memang banyak unsur seninya di sana.
Perjalanan waktu menjadi saksi semakin banyaknya orang/komunitas/pihak yang tergabung dalam gerakan ini. Bahkan dalam dua tahun terakhir sejumlah desa adat mulai bergabung yang bernaung dibawah Pasubayan Desa Adat Tolak Reklamasi Teluk Benoa dengan ForBALI sebagai koordinator. Dan dengan masuknya desa adat maka unsur seni dalam pergerakan semakin kental karena setiap ada deklarasi atau pernyataan sikap dari desa bersangkutan selalu melibatkan seni, terutama dari kelompok musisi dan tentu saja pentas seni yang melibatkan Sekehe Teruna di desa bersangkutan.
Setiap kali ada aksi, saya selalu melihat ada saja personil dari kelompok musik maupun seniman yang ikut bergabung. Dari kalangan musisi, ada SID, Navicula, Nostress, Made Mawut, dan kelompok musik lainnya, terutama kelompok musik punk yang memang dikenal sebagai jenis musik ‘perlawanan’. Dari kalangan seniman, ada Made Bayak, Wayan Suja (pelukis) dan Gus Dark (kartunis). Dari kalangan seniman kesenian tradisional (bondres) ada Rarekual dari Singaraja, Temuyuk Mekuris, dan yang lainnya.
Sudah jamak diketahui bahwa orang-orang seni apakah itu dari unsur musisi dan pelukis, maupun kesenian lainnya, karya yang dihasilkan adalah sebagai respon terhadap apa yang tejadi di sekitar mereka atau lingkungan mereka. Dan sebuah ‘respon’ lahir dari sebuah kesadaran yang timbul dari dalam.
Dengan kata lain, simbul-simbul perlawanan BTR yang ada pada bendera, baju, baliho, stiker, lukisan, flyer, kartun dan sebagainya adalah merupakan sesuatu yang bersifat ‘seni’. Merupakan hasil daya cipta seni dari penciptanya sebagai respon terhadap apa yang terjadi.
Respon-respon ini bersinergi satu sama lain, meninggalkan sebuah endapan di alam bawah sadar di orang-orang yang berada pada ‘frekuensi’ sama, sehingga mereka tetap bisa merawat kesadaran kolektif tersebut.
Tanyakan perasaan mereka yang ikut dalam pergerakan ketika melihat bendera Pasubayan atau ForBALI berkibar, atau bagaimana lagu Bali Tolak Reklamasi (BTR) sering dinyanyikan maupun diperdengarkan tanpa pernah membuat bosan yang mendengarnya. Belum lagi spontanitas anak-anak kalau sudah mendengar lagu ini, mereka spontan ikut menyanyi. Sedikit tidaknya itu yang ada dalam pengamatan (saya sendiri menyimpan file lagu ini di HP, PC maupun kendaraan). Juga baju BTR yang menjadi selama ini momok bagi aparat. Desain-desain pada baju BTR itu adalah hasil kreativitas seni.
Menyadari hal ini, saya berandai-andai jika saja orang-orang dari kalangan musisi maupun seniman semakin banyak yang bergabung maka perjuangan menolak reklamasi Teluk Benoa maka perjuangan ini akan semakin kaya warna. Unsur seni yang terselip di dalamnya selanjutnya akan semakin membuat kesadaran kolektif semakin luas sehingga perjuangan menolak reklamasi menjadi gerakan seluruh rakyat Bali. Karena seperti yang dikatakan oleh salah satu musisi yang ikut di gerakan ini bahwa musik (seni) adalah media yang paling cair untuk membuka kesadaran orang.