Kisah ini bermula ketika saya pulang kampung.
Siang itu saya dan teman-teman sedang ngopi di warung pinggir jalan milik seorang teman. Kampung saya yang biasanya sepi kini banyak orang karena ada semacam festival.
Kami ngobrol kesana-kemari dan mengomentari segala macam yang lewat sembari sesekali tertawa-tawa. Tiba-tiba ada pesan masuk ke ponsel saya. Pesan singkat dari seorang teman yang meminta tulisan Trunyan untuk segera dikirim.
Wah, padahal tadinya saya pikir tidak nyetor tulisanpun tidak apa-apa. Tapi sudahlah, tidak apa, saya bikin aja, toh tak ada ruginya.
Beberapa hari sebelum pulang kampung, saya sempat baca @balebengong ngetwit tentang melali ke Trunyan. Saya pikir seru juga melali kesana, syaratnya gampang tinggal kirim 1 tulisan beserta alasan kenapa mau ikut kesana dan semua ongkos dibayarin.
Saya kirim semua persyaratan dan ternyata saya sedang beruntung, saya bisa ikut kesana. Senang? Tentu saja senang.
Saya punya pikiran agak aneh mungkin. Saya selalu berpikir kalau melali adalah sebuah proses melupakan, melupakan kepenatan, melupakan kerja, melupakan semuanya. Ketika proses melali ini berakhir kita kembali pada ke-diri-an kita sebagai manusia.
Pikiran aneh ini bermula ketika saya sedang bengong dan tiba-tiba kepikiran kalau kata melali berasal dari kata lali. Selain itu juga mengingat masa kecil ketika orang tua sering memarahi saya dengan kata-kata, “Melali gen gaene, ingetang melajah nake.”
Di setiap kalimat, kata melali hampir selalu diikuti oleh kata yang bermakna mengingat. Dengan latar seperti itu, tentu saja melali ke Trunyan gratis menjadi sesuatu yang saya pikir akan menyenangkan.
Karena saya agak bodoh, saya selalu berpikir kalau Trunyan itu ada di seberang Danau Beratan. Imajinasi akan menyeberangi danau sambil main air semakin menjadi-jadi di kepala saya. Kemudian ada keanehan (yang tidak saya sadari), saya mendapat SMS kalau pick up point di Sanur dan kami harus sudah di sana sebelum pukul 7 pagi.
Keesokan harinya, di Sanur, kami dijemput oleh serombongan orang dari komunitas I am an Angel. Di sana saya baru tahu kalau host acara adalah I am an Angel, dan hari ini mereka akan memberikan bantuan kesehatan dan sepatu kepada anak-anak di sana.
Setelah beberapa saat saling tunggu kita berangkat dari Denpasar sekitar pukul 8 atau 8:30 untuk menjemput beberapa orang (lagi) di daerah Gianyar. Dari Gianyar kita langsung ke Karangasem. Kata pak Andi yang nyetir mobil, kita akan ke Trunyan melalui Desa Ban.
Di sini saya mulai bertanya-tanya dalam hati, “Bukannya Trunyan itu harus nyebrang danau, ya? Kenapa melalui Karangasem?” Saya sadar, referensi arah saya agak kacau dan hampir selalu salah, jadi saya diam saja. Karena terlalu bingung dengan arah, saya bertanya pada seorang teman dari Sloka Institut yang duduk di belakang, “Ini sebenarnya kita mau kemana sih?”
Sambil tersenyum agak manis dan sedikit bingung, dia menjawab tidak tahu.
Nah, saya tambah bingung, yang ngajakin melali ini saja tidak tahu, apalagi saya. Jadi saya duduk manis di dalam mobil menikmati perjalanan dengan tidur-tidur ayam sembari sesekali ngobrol.
Kami menuju Karangasem melalui Bukit Jambul. Sebagian masa kecil pernah saya habiskan di Klungkung, jadi perjalanan menuju Bukit Jambul sedikit mengingatkan saya pada masa-masa itu. Sekilas, keadaannya tidak begitu banyak berubah, dari Akah, Cucukan, sampai Tegak masih terlihat sama.
Melewati Bukit Jambul, jalanan mulai terlihat asing untuk saya, tapi, saya menikmatinya. Semakin jauh masuk ke “pedalaman” keadaannya semakin mirip dengan kampung halaman saya. Jalan beraspal yang buruk penuh lubang, kering berbatu, kiri-kanan hanya pepohonan yang diselang-selingi jurang, dan di beberapa ruas jalan pohon jambu monyet berderet tidak rapi.
Mirip sekali dengan kampung halaman saya yang menghampar hijau di musim penghujan dan berganti kecoklatan di musim kemarau. Semakin mendekati lokasi jalanan semakin buruk dan sempit.
Di sebuah tikungan rombongan berhenti, semua turun dari mobil. Saya tidak begitu paham kenapa kami berhenti di sini. Kami diberi penjelasan oleh host perjalanan ini, katanya jalan yang baru dibangun ini sempat putus. Penduduk sempat beberapa kali meminta pemerintah untuk memperbaikinya, tapi tidak mendapat tanggapan.
Sampai akhirnya mereka meminta bantuan pada I am an Angel.
Dengan bantuan I am an Angel, jalan bisa tersambung, dan anak-anak bisa melewatinya untuk bersekolah. Sebuah kisah terselip di sana. Singkatnya, penduduk sekitar diminta memilih salah satu caleg dari satu partai dengan janji jika dia menang mereka akan diberi jalan. Mereka memang diberi jalan, tapi tidak bertahan lama karena jalan itu tiba-tiba putus. Ketika mereka minta bantuan perbaikan jalan, tak ada seorang pun yang mendengar pinta mereka kecuali I am an Angel.
Memang terlihat dengan mata telanjang bagaimana penduduk sekitar terlihat menghormati host kami. Saya tidak akan lebih jauh bercerita tentang hal itu, saya hanya akan mengisahkan pengalaman saya dari sudut pandang yang tentu saja subyektif.
Kami di sana cukup lama karena ternyata kami menunggu rombongan dokter yang katanya mobilnya terperosok dalam perjalanan kemari. Beberapa penduduk diminta untuk menolong rombongan dokter, sedangkan kami melanjutkan perjalanan.
Tak berapa lama kami tiba di tujuan, yang ternyata adalah sebuah sekolah. Selayaknya sekolah di kampung-kampung “pedalaman” yang kering, halaman mereka berselimutkan debu tebal, dus kaki-kaki kecil legam itu bersepatukan debu beraksesoris koreng.
Di mata saya, anak-anak itu terlihat sehat dan ceria dengan cara mereka sendiri.
Acara dimulai dengan membagikan nasi bungkus untuk anak-anak yang sebelumnya diminta untuk mencuci tangan terlebih dahulu. Saya bingung, tanpa tahu apa yang harus saya lakukan karena sedari awal saya tidak diberi tahu apa yang akan kami lakukan di sini. Jadi saya berkeliling melihat ruang kelas, di salah satu kelas saya melihat tulisan “Untukmu Bangli Aku Mengabdi”.
Ternyata saya ada di Bangli!
Tadinya saya pikir kami di Karangasem. Memperjelas lokasi di mana saya berada, saya menghampiri seorang bapak dan bertanya-tanya di mana saya sebenarnya. Ternyata saya memang di Trunyan, tapi di balik bukit.
Desa Trunyan ternyata terdiri dari tiga banjar. Satu banjar berhadapan dengan Danau Batur, dua lainnya ada di balik bukit. Ternyata saya sudah berada di Trunyan. Bayangan bermain air langsung lenyap, demikian pula bayangan untuk melihat artefak-artefak kuna yang mungkin bisa melengkapi tulisan saya yang lain sirna sudah.
Rombongan lain yang membawa kamera dan/atau gadget lain masing-masing mengeluarkan dan mulai memotret apa yang menurut mereka menarik, kecuali saya karena saya memang tidak membawa apapun.
Yang saya lihat waktu itu adalah keriaan orang-orang kota menemukan barang antik dan kuno di tengah gempuran modernitas yang mungkin tidak mampu mereka bendung sendiri.
Ada yang memotret anak-anak yang berlarian membangunkan debu, ada yang memotret kaki-kaki legam korengan, ada yang memotret anak-anak yang sedang makan, ada pula yang memotret lanskap sekolah.
Yang saya lihat waktu itu adalah keriaan orang-orang kota menemukan barang antik dan kuno di tengah gempuran modernitas yang mungkin tidak mampu mereka bendung sendiri. Saya sendiri merasa risih karena saya satu rombongan dengan orang-orang itu.
Di samping itu saya juga melihat sorot kekaguman anak-anak yang melihat langsung dengan mata kepalanya gadget-gadget modern yang mungkin saja baru sekali mereka lihat seumur hidup mereka. Seingat saya, tak satu pun di antara pemegang gadget itu yang sudi memperlihatkan gadget mereka pada anak-anak dan berbagi sedikit kesenangan.
Ya, mungkin karena itu barang mahal.
Karena merasa risih, saya bergerak kepinggir di mana orang-orang tua duduk memperhatikan. Oya, selain anak-anak, anak-anak muda dan orang-orang tua pun ikut memenuhi halaman sekolah. Tapi bedanya, anak-anak muda dan orang-orang tua duduk di pinggir memperhatikan dalam diam sembari bercakap-cakap di antara mereka.
Saya sempat mencoba membuka percakapan, tapi hanya dijawab dengan gumaman yang tidak jelas terdengar. Mungkin karena saya orang asing. Dari tempat ini saya melihat orang-orang asing yang baik namun berkelakuan aneh. Bagaimana tidak aneh, mereka memotret anak-anak yang sedang makan, apa yang menarik dari anak kecil berseragam kusam makan nasi bungkus? Apa yang menarik dari kaki kecil legam beralas debu dan korengan? Mereka memang baik, tapi mereka selera mereka aneh.
Beberapa saat bengong di sudut ini, saya jadi merasa tidak enak. Saya merasa menginterupsi kebebasan mereka dengan kehadiran saya. Jadi saya melangkah masuk ke ruang di mana para dokter memeriksa gigi dan telinga anak-anak. Beberapa anak terlihat takut diperiksa, tapi tersenyum-senyum senang setelahnya karena mereka dihadiahi sikat dan pasta gigi.
Tidak begitu lama kemudian, saya dipanggil keluar. Ternyata host kami meminta beberapa pemuda untuk mengantar kami (rombongan Sloka Institute) ke puncak bukit untuk melihat lebih jelas di mana kami berada. Nah, ini saat melali yang sebenarnya, pikir saya.
Berbagai pembicaraan yang kebetulan saya (curi) dengar sebelumnya ternyata benar. Yang disebut jalan di tempat itu adalah setapak yang keluar masuk hutan. Track yang kami lalui cukup panjang, berdebu, dan naik-turun. Tapi semua terbayar ketika kami sampai di lokasi yang (katanya) puncak tertinggi di desa Trunyan.
Dari sana kami melihat Danau Batur dan banjar yang posisinya menghadap danau. Menurut anak-anak muda yang mengantar, kalau ada kematian di banjar mereka, mereka harus menempuh track sama yang kami lalui tadi untuk menuju ke areal pekeburan, demikian juga jika ada piodalan.
Waktu beranjak sore, kami harus kembali ke sekolah, tempat di mana rombongan menunggu kami. ketika kami sampai di sana, ternyata yang tertinggal hanya mobil yang mengangkut kami. sedangkan yang lainnya sudah mendahului. Sopir yang menunggu kami terlihat sudah tidak sabar. Kami berpamitan, dan berjanji suatu waktu akan kembali. [b]