• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Saturday, October 4, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Budaya

Melacak asal Kata Esa dalam Pancasila

Made Gunawan by Made Gunawan
13 October 2017
in Budaya, Kabar Baru, Opini
0 0
6
Makna kata Esa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Komentar Eggi Sudjana tentang kata Esa memicu kontroversi.

Omongan pengacara tentang sila pertama Pancasila yang dikaitkan dengan Undang-Undang (UU) organisasi masyarakat (ormas) kembali mencuatkan polemik arti kata Esa.

Pernyataan Eggi Sudjana itu memperlihatkan kebingungannya mengartikan kata esa. Sudah ada banyak orang yang mempertanyakan pengetian kata esa yang selama ini diartikan satu, tunggal.

Lihat makna kata Esa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring.

Salah satunya seperti yang ditulis portal Apa Kabar Dunia dalam tulisan Esa pada Sila Pertama Bukan Berarti Satu.

Selama ini kita memaknai sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai pengakuan pada Tuhan yang Satu. Namun apa arti sesungguhnya Esa?

Nyatanya kata “Esa” yang diambil dari bahasa Sansekerta tidak mengartikan tunggal, atau satu.

Kata satu dalam bahasa sansekerta adalah EKA, bukan ESA. Lihat saja di semboyan Bhinneka Tunggal IKA. Bukan Bhinneka Tunggal ESA.

Lebih lanjut Apa Kabar Dunia menulis bahwa Esa itu adalah kata ambilan dari bahasa Sansekerta yang bentuk kata bendanya adalah Etad artinya Suchness, as this, as it is.

Untuk lebih jelasnya, bisa lihat di tautan berikut.

Ada juga sekelompok individu yang mengaitkan kata Maha Esa dengan MAHESA sebutan lain Dewa Siwa dalam keyakinan Hindu. Tentu rumus gutak-gatuk-gatuk seperti ini menyimpang jauh dari pola penyusunan kalimat dalam bahasa Sansekerta yaitu (maha) artinya “great” and (isha) meaning “lord, ruler”.

Pertemuan dua hurup A dan I dari kedua kata di atas berubah menjadi E, sehingga bentuk katanya menjadi mahesha. Pandangan sektarian seperti ini juga jauh menyimpang dari maksud dan cita-cita Pancasila itu sendiri, seperti yang dikatakan Bung Karno sang motor penggali Pancasila:

“Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.”

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Al-Quran Hadits, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.

Namun, marilah kita semuanya ber-Tuhan.

Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan! ”

Dialektika Wisesa

Bahasa Melayu sebagai ibu dari bahasa Indonesia memiliki sejarah serapan terhadap bahasa lain, tak terkecuali bahasa Sansekerta. Ada sekitar 60 persen lebih bahasa Melayu kuno berakar pada bahasa Sansekerta.

Salah satunya kata Wisesa yang menurut kamus KKBI berarti 1 penguasa utama; dua kekuasaan yang tertinggi.

Kata wisesa berasal dari bahasa sansekerta Visesa yang menurut kamus Sansekerta berarti extraordinary, abundant (luar biasa, melimpah).

Makna kata Wisesa dalam kamus bahasa Sansekerta merupakan asal kata Esa.

Lawan kata visesa adalah nirvisesa, yakni keadaan tanpa berketuhanan.

Jejak-jejak penggunaan kata wisesa sebagai kata yang mengacu pada Tuhan masih kita lihat dalam tardisi agama Hindu Bali, yakni PARAMA WISESA untuk menyebut sifat Tuhan yang maha kuasa, atau SANG HYANG WIDI WASA, yang mana kata wasa juga diduga berasal dari kata wisesa, sebagai sifat yang maha mengetahui. Juga ada sebutan GURU WISESA untuk sebutan pemeritah sebagai salah satu dari empat Guru (catur guru) dalam kepercayaan hindu.

Terusnya muncul kebingungan masyarakat terhadap arti kata esa pada dasar negara menunjukan bahwa pendidikan bahasa belum berjalan dengan baik dan fungsi balai bahasa belum maksimal sesuai harapan kita.

Lebih jauh menjadi tugas balai bahasa untuk menyelidiki, lalu memberikan pengertian yang benar terhadap kesimpang siuran makna bahasa di masyarakat. Apalagi menyangkut hal sepenting Pancasila sebagai dasar negara. Dengan demikian kesalahan memaknai artinya tidak berlarut-larut. [b]

Tags: BahasaOpini
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
Made Gunawan

Made Gunawan

Made Gunawan. Tertarik pada dunia tulisan, ingin belajar menulis.

Related Posts

Belajar Kepemimpinan dari Megoak-Goakan

Belajar Kepemimpinan dari Megoak-Goakan

2 October 2025
Dari Lumpur ke Layar: Bagaimana Banjir Menjadi Konflik Horizontal di Media Sosial

Dari Lumpur ke Layar: Bagaimana Banjir Menjadi Konflik Horizontal di Media Sosial

23 September 2025
Sentilan dari Gang Kecil di Kota Denpasar

Bill Kovach dan Wartawan Tenteng Nasi Bungkus

16 July 2025
Dampak Pembangunan Pusat Kebudayaan Bali Baru Sejauh Ini

Pejabat Rasa Raja

15 July 2025
Diskusi dan Konser Hari HAM “Semakin Dibungkam Semakin Melawan”

Konser Bukan Cuma Menyanyi dan Bergembira, namun Juga Masalah Kenyamanan dan Keamanan

9 July 2025
Suka Duka OSS: Desa Tidak Tahu Pembangunan Baru

Menjawab Permasalahan Perizinan Berusaha di OSS

27 May 2025
Next Post
Mengolah Tabu Jadi Tebu

Mengolah Tabu Jadi Tebu

Comments 6

  1. ALBERTUS says:
    5 years ago

    Pancasila lahir di ende NTT, arti kata Esa di sila pertama kemungkinan di ambil dari bahasa setempat yaitu ende, karna dalam bahasa ende Esa artinya satu, begitukah kira2 ?

    Reply
  2. totok sucahyo says:
    5 years ago

    kata esa dalam pancasila bukan diambil dari bahasa sanskerta, tapi diambil dari bahasa austronesia isa/esa yg artinya satu. dalam berbagai macam varian bahasa Austronesia hingga masa sekarang ini masih banyak yang menggunakan kata esa/isa untuk menyebut kata satu. misalnya dalam bahasa Tagalog, Merina (Madagaskar), Hawai, bahasa2 formosa, dan juga dalam beberapa bahasa daerah di nusantara masih menggunakan kata isa. sedangkan kata esa jg masih digunakan, contohnya dalam bahasa minahasa

    Reply
  3. totok sucahyo says:
    5 years ago

    kata esa dalam pancasila bukan diambil dari bahasa sanskerta, tapi diambil dari bahasa austronesia isa/esa yg artinya satu. dalam berbagai macam varian bahasa Austronesia hingga masa sekarang ini masih banyak yang menggunakan kata esa/isa/asa untuk menyebut kata satu. misalnya dalam bahasa Tagalog, Merina (Madagaskar), bahasa2 formosa (suku asli Taiwan), dan juga dalam beberapa bahasa daerah di nusantara masih menggunakan kata isa/asa. sedangkan kata esa jg masih digunakan, contohnya dalam bahasa minahasa

    Reply
    • totok sucahyo says:
      5 years ago

      kata esa dalam pancasila bukan diambil dari bahasa sanskerta, tapi diambil dari bahasa austronesia isa/esa yg artinya satu. dalam berbagai macam varian bahasa Austronesia hingga masa sekarang ini masih banyak yang menggunakan kata esa/isa/asa untuk menyebut kata satu. misalnya dalam bahasa Tagalog, Merina (Madagaskar), bahasa2 formosa (suku asli Taiwan), dan juga dalam beberapa bahasa daerah di nusantara masih menggunakan kata isa/esa. sedangkan kata asa jg masih digunakan, contohnya dalam bahasa banjar

      Reply
  4. totok sucahyo says:
    5 years ago

    kata esa dalam pancasila bukan diambil dari bahasa sanskerta, tapi diambil dari bahasa austronesia isa/esa yg artinya satu. dalam berbagai macam varian bahasa Austronesia hingga masa sekarang ini masih banyak yang menggunakan kata esa/isa/asa untuk menyebut kata satu. misalnya dalam bahasa Tagalog, Merina (Madagaskar), bahasa2 formosa (suku asli Taiwan), dan juga dalam beberapa bahasa daerah di nusantara masih menggunakan kata isa/esa. sedangkan kata asa jg masih digunakan, contohnya dalam bahasa banjar

    Reply
    • Tyohara says:
      5 months ago

      Semua klaim2 user “totok sucahyo” ini jelas2 terkesan seperti tidam terima terhadap realita yg ada, semua klaim anda salah karena bukti2 yg anda sebut semua tidak relevan dan jauh dari akar perkembangan bahasa dan sashtra Nusantara yaitu era Hindu budha, yg mana itu jelas menggunakan serapan sansekerta, dan sumber2 yg ada sebutkan itu tidak memiliki bukti tertulis dan jelas, misal manuskrip, arca, prasasti, lontar, dan apapun segalanya tidak ada, jadi jelas2 semua komentar dari user “totok sucahyo” itu sangat ngawur dan murni cocoklogi

      Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Jejak Pangan, Jejak Iklim. Apakah Benar Bali Surplus Beras?

Jejak Pangan, Jejak Iklim. Apakah Benar Bali Surplus Beras?

3 October 2025
Kata Warga Ubud tentang Kemacetan dan Fasilitas Publik

Kata Warga Ubud tentang Kemacetan dan Fasilitas Publik

3 October 2025
Belajar Kepemimpinan dari Megoak-Goakan

Belajar Kepemimpinan dari Megoak-Goakan

2 October 2025
Sanur Berbenah: Proses yang Tidak Semulus Itu

Sanur Berbenah: Proses yang Tidak Semulus Itu

1 October 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia