
Apa hal yang paling tidak siap tetapi harus disiapkan juga? Hmmm, kematian mungkin salah satunya. Kala hidup lagi asyik-asyiknya atau mesra-mesranya, pasti jadi lupa akan ada akhirnya. Jadi lupa kalau yang hidup pasti akan mati juga.
Dahulu, menghadapi kematian di Bali terasa sulit. Menurut penulis Gde Aryantha Soethama, ia menggambarkannya dalam sebuah esai bertajuk Jangan Mati di Bali. Esai itu mengisahkan orang Hindu di Bali yang sukses di perantauan. Saat ia ingin pulang dan mati di Bali, saudaranya melarang kepulangannya sekaligus keinginannya untuk menghabiskan hari tua dan mati di Bali.

Namun, itu dulu. Kini adanya alternatif ngaben melalui krematorium, memudahkan prosesi kematian di Bali. Balebengong melakukan survei sederhana terkait krematorium melalui aplikasi X, dari 284 akun yang berpartisipasi, hasilnya sebanyak 65 persen responden setuju dengan adanya krematorium. Pilihan lainnya berupa harus melakukan upacara di sema desa, 12 persen. Sedangkan 23 persen lainnya memilih perlu mempertimbangkan.
Salah satu pengikut X Balebengong berkomentar bahwa Ia setuju dengan adanya krematorium. Akun @pandebaik itu menjelaskan minimal standar di Setra (Kuburan) Badung sudah bagus. Hal yang didapatkan di Setra Badung seperti parkir leluasa; dekat/berdampingan dengan krematorium; banten (sesajen-red) diganti usai upacara sebelumnya; biaya lebih murah. Ia menambahkan sekali jalan (prosesi upacara ngaben) bisa untuk 4 layon (mayat). Menurutnya, Setra Badung memiliki opsi paket berupa ‘tambahan bantuan tenaga’ jika dibutuhkan.
Krematorium Santha Yana, Krematorium Cekomaria

Tak hanya krematorium di Setra Badung, salah satu krematorium beken di Bali adalah Krematorium Santha Yana. Krematorium yang lebih dikenal dengan Krematorium Cekomaria ini, berlokasi di Jalan Cekomaria, Peguyangan Kangin, Denpasar Utara.
Pihak di balik krematorium ini adalah Yayasan Santha Yana Dharma, merupakan bagian dari Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi Pusat, sekretariatnya bernama Pasraman Widya Graha Kepasekan. Kini dipimpin oleh I Made Raka. Rabu (18/10), Raka menjelaskan lahirnya Krematorium Santha Yana. “Bagaimana upaya kita memberikan pelayanan kepada umat, terutama umat Hindu, yang lebih mudah dijangkau dan pelaksanaannya tidak begitu rumit,” ungkap Raka.
Lelaki yang baru menjabat selama tiga tahun ini mengungkapkan awal mula berdirinya Krematorium Cekomaria pada Januari 2008 lalu, tidaklah mudah. “Tantangannya banyak yang mencemooh, memprotes, mem-bully, kita dibilang merusak adat dan budaya,” ujarnya menggebu. Hal itu tidak menghentikan pengelolaan krematorium, sebab bagi Raka prinsipnya adalah memberikan solusi kepada masyarakat Hindu di Bali.

Raka bekerja sama dengan Mangku Nyoman Arya alias Mangku Alit. “Karena beliau (Mangku Alit) memiliki setra pribadi, Pura Dalem pribadi, Mrajapati pribadi, bagaimana pengurus Maha Gotra berbicara dengan Mangku Alitnya,” ungkap Raka.
Paket ritual kematian di Bali ala Krematorium Cekomaria harganya bervariasi. Dimulai dari Rp 8 juta rupiah hanya untuk kinsang di gni, paket lainnya yaitu Rp 16 juta rupiah untuk ngaben, dan paket paling lengkap hingga ngelanus mencapai Rp32 juta rupiah. “Kita buka dengan biaya yang cukup terjangkau, akhirnya masyarakat mulai berdatangan,” jelas Raka.
Pelaksanaan setiap ritual membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Raka menjelaskan jika mengambil paket kinsang di gni, durasinya selama 2 jam. Sedangkan, paket ngaben saja berdurasi selama 3 jam.
Adapun paket ngaben hingga ngelanus, memakan waktu selama 6 jam. Durasi waktu tersebut sudah termasuk menghanyutkan abu jenazah ke sungai maupun laut. “Sudah beres sampai sudah di pasih, di sini pakai seri, seri pertama 2 orang, masuknya 2 orang, sulinggihnya 2 orang juga,” ungkap Raka.

Selama sebulan, Krematorium Cekomaria dapat melayani ritual kematian sebanyak 60 hingga 65 sawa (jenazah). Sebelum pandemi Covid-19, terdapat 80 sawa yang ditangani. Berdasarkan pengamatan Raka, saat ini telah bermunculan krematorium lainnya di Bali. “Sekarang masyarakat ingin cepat, ada duasa sekarang tapi gak mau dapat nomor (antrean) terakhir, dia pindah ke Krematorium yang ada di Bangli atau di Klungkung,” jelas Raka.
Krematorium Santha Yana bekerja sama dengan Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, PHDI, dan Kementerian Agama RI. Saat ini sudah ada 8 pegawai yang khusus menangani administrasi hingga pelaksanaan ngaben dari Maha Gotra. Sedangkan banten dan mangku disiapkan oleh pihak Mangku Alit.
Raka berharap keberadaan krematorium dapat membantu masyarakat Bali. “Saya berharap ritual Hindu itu dibuat berdasarkan sastra, bagaimana dia bisa membantu masyarakat supaya Hindu itu jangan dibuat ruwet, ribet,” jelasnya. Ia menyarankan dana yang diberikan pemerintah untuk desa adat di Bali agar dimanfaatkan untuk proses serati (pembuat banten) yang sesuai dengan sastra dan agama Hindu. “Desa adat dikasih dana oleh pemerintah bisa dimanfaatkan untuk serati banten untuk buat banten yang patut dan puput,” tutup Raka.
Pada akhirnya, semua tentang pilihan yang harus dipersiapkan . Apapun pilihannya, kembali lagi pada yang mereka yang hidup, mereka yang berdiskusi, mereka yang menentukan. Adapun yang ditinggalkan, semasa hidup dapat membicarakan kemampuan melaksanakan ritual kematian, agar tidak berakhir menjadi beban maupun konflik keluarga.
Plus dan minus pilihan ritual kematian di Bali selalu berdampingan. Ngaben di desa maupun proses di krematorium juga demikian. Tak ada yang mampu memprediksi kematian seseorang, sebelum ajal tiba di Bali, tabungan ritual kematian harus dipersiapkan. Bagaimana? Sudah ada dananya atau masih diusahakan? Jeg semangat ton!