Ubud Writers and Readers Festival adalah festival penuh glamour.
Setiap tahun selama 12 tahun dia mengundang penulis-penulis besar internasional dan dari tanah air. Tentu festival ini memakan biaya besar. Banyak perusahan menjadi sponsor.
Yang saya tahu, Freeport dan Citibank termasuk di antaranya. Publik Indonesia sayangnya tidak banyak mengetahuinya. Bahkan mungkin tidak peduli juga.
Tiga tahun lalu saya ke Ubud, tempat diselenggarakannya festival ini. Ternyata tidak banyak penduduk lokal yang tahu festival ini. Sambil makan di warung saya tanya ini itu. Termasuk soal festival yang gaungnya di dunia internasional sangat keras itu.
Tapi jawaban yang saya terima mengecewakan. “Banyak festival di sini, Pak” kata dagang nasi Be Guling.
“Oh tamu-tamu itu itu memang sering bikin party,” kata seorang pemandu wisata yang keliru menyamakan antara ‘festival’ dengan ‘party’.
Mungkin saya salah bertanya. Tidak seharusnya saya tanyakan festival para penulis, pemikir, dan penggerak kebudayaan ini kepada orang-orang biasa. Itu seperti bertanya jalan pulang kepada seekor sapi.
Di Ubud, sebagaimana di banyak tempat di Bali, memang ada berbagai jenis masyarakat: ‘nak Bali’ (orang Bali), tamu (turis atau bule), dan ‘pendatang.’
Seperti dalam masyarakat majemuk atau plural society-nya Furnivall, orang-orang ini punya kehidupannya sendiri. Hanya saja bedanya, kalau dalam masyarakat majemuk, mereka berbeda-beda namun toh mereka bertemu di pasar. Di Ubud, kadang mereka tidak bertemu sama sekali.
Tamu-tamu hidup dalam dunianya sendiri. Mereka hidup di bungalow, hotel, atau rumah-rumah pribadi yang umumnya berhalaman luas dan tertata rapi. Jelas, para tamu ini bukan orang sembarangan. Umumnya mereka kaya. Sangat kaya bahkan.
Sementara ‘nak Bali’ itu hidup seperti mereka menghidupi hidup yang sama dari sejak dulu kala: mereka ber-banjar; nyungsung pura, dan terikat dengan adat dan ritual. Kalau pun kedua segmen masyarakat ini bertemu, biasanya karena pertukaran ekonomi.
Tapi kalau ekonominya tidak ketemu, ya tidak akan pernah ada pertemuan.
Tentu para ‘tamu’ ini punya pembantu-pembantu (yang oleh kelas menengah Jakarta dengan malu-malu kucing disebut sebagai ‘asisten’ namun gajinya tidak meningkat sementereng istilahnya). Pembantu inilah yang berurusan ‘nak Bali’ atau ‘nak Bali’ itu sendiri yang jadi pembantu di rumah-rumah mewah itu.
Pendatang? Ya, ada yang seperti tamu juga. Para elite super kaya Jakarta banyak yang punya rumah di Ubud. Pendatang lain adalah semacam pedagang bakso atau dagang sate kambing yang banyak dijumpai di jalan-jalan Ubud.
Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) tahun ini agak istimewa. Selain karena dia berusia sudah selusin, juga karena berbarengan dengan pembantaian PKI yang terjadi 50 tahun lalu.
Rencananya dalam UWRF tahun ini akan ada diskusi tentang pembantaian tahun 1965. Namun, rencana itu akhirnya dibatalkan karena aparat keamanan lokal tidak akan memberi izin untuk acara festival ini jika diskusi tentang pembantaian 1965 tetap dilakukan.
Direktur dan pendiri UWRF Janet DeNeefe menulis di koran Australia The Sydney Morning Herald bahwa akhirnya mereka mengambil keputusan untuk membatalkan diskusi itu. Dengan nada yang mengharu biru dia menulis, “We are […] sorry for those whose sessions have been cancelled, for all the work that has been done. But I believe these panels might find better platforms in safer homes right now.”
Pada intinya, dia tunduk pada pihak keamanan demi izin.
Banyak reaksi yang saya dapati dari keputusan ini. Seorang penulis Indonesia menulis dalam bahasa Inggris mengungkapkan ‘solidaritasnya’ untuk ‘Ubud.’ Namun ada juga kolega dari luar negeri yang sangat kecewa dengan keputusan ini dan akhirnya memutuskan untuk tidak datang sama sekali ke acara UWRF.
Ada yang bertanya-tanya, “That’s it?” atau “Cuman segitu aja?”
Reaksi paling menohok datang dari seorang kawan. Dia terbahak-bahak menceritakan peristiwa ini kepada saya. “Masak kalah sama petajen,” katanya menyebutkan para penggemar sabung ayam yang memang marak di Bali.
Petajen selalu jadi sasaran pemerasan polisi. Tapi paling tidak petajen selalu melawan. Kalau dirazia, mereka lari. Lalu buka gelanggang lagi. Paling sial kalau tertangkap tangan.
Kalau itu terjadi, ya mereka terpaksa bayar polisi-polisi itu. Toh bayar itu melawan juga, bukan? Dengan membayar biasanya mereka bisa melecehkan dan memandang rendah polisi.
Namun yang lebih tragis lagi adalah kejadian semalam. Saya mendengar dari seorang kawan bahwa sesi panel untuk tolak reklamasi juga kabarnya dibatalkan. Saya tidak tahu, apa alasan pihak UWRF membatalkan sesi ini.
Ada dua hal yang saya pelajari dari kejadian ini. Pertama, kalau Anda benar-benar menginginkan kebebasan – seperti yang ditulis dalam kolom Sydney Morning Herald oleh direktur UWRF itu – maka kebebasan harus diperjuangkan, harus direbut, dan meminta pengorbanan.
Ketika Anda menyerah, dengan segera pihak yang merampas kebebasan Anda itu akan merasa bahwa kekuasaan mereka ternyata berjalan dengan baik. Ketika penguasa menyadari itu, mulailah mereka memeras.
Kedua, ada yang lebih esensial. Di Indonesia ini, berbicara tentang pembantaian 1965 adalah sebuah perlawanan. Anda harus tahu apa artinya melawan. Tidak ada artinya berbicara tentang pembantaian itu dengan meromantisasinya.
Ini bukan persoalan romantik! Ini adalah pertarungan.
Para pembantai di sini adalah pemenang. Mereka yang menulis buku-buku sejarah. Mereka yang memberikan narasinya. Mereka yang menciptakan imajinasinya. Anda harus bertarung bahkan hanya untuk membicarakan pembantaian ini.
Siapa lawan Anda sangat jelas. Dia hadir – dengan senjata, dengan surat izin, dengan massa bayaran atau massa yang sudah dicekoki secara ideologis, dengan modal, dan lebih-lebih lagi dengan kekuatan kata dan rekaan imajinatif seperti dalam karya sastra, teater, atau film.
Direktur UWRF di akhir eseinya menulis, “Censorship and writers festivals don’t mix, just like oil and water.” Yeah, right. But, please, don’t let censorship works! [b]