Nama Samsudin mungkin asing bagi kita, tapi tidak bagi warga kawasan Lombok Barat Mataram.
Bermodal lagu ciptaannya sendiri, Samsudin bahkan bersaing dengan Peterpan grup musik asal Bandung yang termasyhur itu. Awalnya Samsudin berdagang obat keliling. Untuk menarik minat pembeli, Samsudin menyanyikan lagu Ndeq Kembe-kembe, yang berarti Tidak Apa-apa. Diselingi kendang bikinannya sendiri, lagi itu selalu dinyanyikan warga Desa Kuripan, Kecamatan Kediri, Lombok Barat tersebut. Dia berkeliling berbagai pasar di Mataram.
Samsudin kemudian diajak Lalu Adi, pengelola radio komunitas Suara Gunung Sasak Lombok Barat untuk rekaman. Setelah di-mixing agar suaranya lebih enak, rekaman itu pun beredar dari satu radio komunitas ke radio komunitas lain. Dalam sehari, lagu Ndeq Kembe-kembe bisa sampai 30 kali diputar. Samsudin pun bersaing ketat dengan Peterpan. Seperti halnya Peterpan, Samsudin kemudian ditanggap dari satu desa ke desa lain.
Jika sebelumnya Samsudin hanya mendengar lagu-lagu kelompok musik dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan sekitarnya maka kini Samsudin memproduksi sendiri. Dia bahkan mendapat popularitas dari lagunya tersebut.
Keberhasilan Samsudin jadi cerita keberhasilan radio komunitas bersaing dengan radio komersial. Bahwa kelompok-kelompok pinggiran dan kecil yang hampir mustahil bisa masuk radio komersial itu juga bisa didengar dan dikenal masyarakat luas. Mereka berhasil memproduksi informasi sendiri tak hanya mengonsumsinya.
Buku ini mendokumentasikan pengalaman komunitas-komunitas di Aceh, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat yang bisa mengelola sumber informasi dan menggunakannya untuk kepentingan bersama. Tak hanya sebagai penyampai informasi, radio komunitas juga jadi kekuatan untuk menyelesaikan masalah bersama, mengawasi tata kelola pemerintahan agar bersih, melestarikan kebudayaan lokal, dan menjalin sinergi dengan bentuk media yang lain. Hal itu dilakukan karena minimnya akses komunitas-komunitas tersebut pada media massa, terutama media arus utama (mainstream).
Selama ini media mainstream memang kurang memberi tempat bagi kelompok-kelompok marjinal. Lihatlah televisi, maka kita lebih sering melihat wajah-wajah penguasa modal politik, ekonomi, maupun sosial. Bacalah koran maka nama-nama sama juga yang kita temukan. Kelompok-kelompok yang tak punya cukup modal hanya diposisikan sebagai konsumen media, bukan produsen, atau setidaknya dilibatkan.
Namun kelompok tak cukup modal politik, ekonomi, dan sosial itu punya kekuatan lain yaitu komunalisme. Mereka dipersatukan oleh kesamaan latar belakang sosial maupun geografis. Bermodal komunalisme ini ternyata mereka bisa meninggikan posisi tawar dalam praktik penyebaran informasi. Mereka tak lagi hanya mengonsumsi informasi, tapi memproduksinya.
Cerita-cerita keberhasilan komunitas mengorganisasi diri dalam penyebaran informasi itu tersurat dalam buku terbitan Combine Resource Institution Januari 2007 ini. Ada cerita dari Yogyakarta, Jakarta Utara, Aceh, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, bahkan Tanah Toraja. Kesamaan cerita komunitas-komunitas tersebut adalah mereka bisa berdaya melalui penyebaran informasi.
Buku setebal 184 halaman ini membagi cerita keberhasilan itu dalam empat bab yaitu Menyelesaikan Persoalan Warga, Membangun Good Governance di Tingkat Lokal, Mengembalikan Kesenian Tradisional ke Tangan Masyarakat Pendukungnya, serta Memadukan Beragam Teknologi Informasi. Empat bab itu ditambah tiga bab lain untuk memberi perspektif dan kajian teoritis tentang perlunya komunitas memberdayakan diri melalui informasi.
Perlunya komunitas, apakah itu petani, masyarakat adat, atau penghuni pinggiran kali, untuk mengorganisasikan diri menyebarkan informasi tidak bisa dilepaskan dari makin menguatnya posisi informasi seagai dasar perekonomian dunia. Ada perubahan dasar perekonomian dunia, setidaknya di Amerika Serikat, dari berbasis pertanian ke industri (pada abas ke-19), ke pelayanan (setelah perang Dunia II), dan ke informasi (sejak 1970an hingga saat ini). Masyarakat ekonomi berbasis informasi adalah masyarakat yang hidup berdasarkan informasi, atau menyumbang informasi, untuk keberlanjutan sistem ekonomi.
Bukan hanya industri modern, industri tradisional pun mengandalkan aspek informasi dan pengetahuan kalau mau untung. Misalnya petani di Tanah Toraja bisa berbagi cerita dengan petani di Lagos, Afrika Barat tentang bagaimana mengorganisasikan diri agar harga produk pertanian bisa lebih tinggi.
Radio komunitas jadi salah satu pilihan untuk mengorganisasikan diri agar komunitas bisa berdaya mempraktikkan kebebasan informasi. Melalui radio yang dikelola dari, oleh, dan untuk komunitas ini mereka bisa berbagi informasi dan meningkatkan posisi tawar. Tidak sekadar berbagi, keterbukaan informasi itu pun bisa mendorong terjadinya penyelesaian masalah warga. Mulai terbukanya akses terhadap air bersih di Kamal Muara Jakarta Utara, terselesaikannya pencemaran air warga pinggir Kali Code Yogyakarta, terangakatnya posisi perempuan di Bandung dan Padang Pariaman, terdamaikannya konflik antar warga di Subang Jawa Barat, hingga tersedianya sarana belajar mengajar di Pekalongan Jawa Tengah.
Tak hanya menyelesaikan masalah warga, radio komunitas juga bisa menjadi pengawal pelaksanaan pemerintahan di tingkat lokal. Pengelolaan informasi melalui radio dan buletin bisa mendorong demokratisasi di Gunung Kidul Yogyakarta, menjalin kedekatan antar warga di Bandung, dan membangun kepercayaan dalam pengelolaan koperasi di Lombok Barat.
Selain itu, radio komunitas juga ternyata berguna untuk mempertahankan adat setempat dan melahirkan selebritis baru. Di Aceh Utara, radio komunitas Samudera FM jadi media untuk mengangkat kembali seni dan sastra Aceh yang lama tak didengarkan warga setempat. Berkat radio tersebut, seni dan sastra tradisi seperti nazam, dalail khairat, rukun, pantun, dan dzikir bisa diperdengarkan lagi. Di Lombok Barat radio komunitas bisa mengangkat Samsudin sebagai penyanyi bersaing dengan Peterpan bagi warga setempat.
Sebagai bagian desa besar bernama globalisasi, komunitas pun harus bisa memanfaatkan peluang yang dihadirkan globalisasi itu sendiri. Teknologi informasi telah menawarkan peluang bagi komunitas untuk terlibat dalam produksi informasi itu. Maka komunitas pun harus bisa menggunakan untuk kepentingan mereka sendiri. Lahirlah sinergi informasi yang memanfaatkan teknologi seperti internet, telepon seluler, dan seterusnya. Misalnya warga sekitar gunung Merapi membuat portal komunitas bernama Jalin Merapi di mana mereka bisa menyampaikan dan mendapat informasi tentang aktivitas merapi.
Buku ini ditutup dua tulisan tentang peluang dan strategi memberdayakan komunitas dari perspektif kebebasan informasi. Dengan cerita dan kajian yang diberikan, buku ini meyakinkan kita bahwa mengorganisasikan diri memproduksi informasi bukanlah mimpi. [b]