Teks dan Foto Luh De Suriyani
Warga dinilai masih sulit mengakses informasi publik. Ditambah masih banyak jurnalis, lembaga publik, dan masyarakat belum mengetahui hak-hak publik dalam mengakses informasi di lembaga publik.
Hal ini disampaikan Irawan Saptono, Direktur Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dalam Workshop Pengarusutamaan Akses Informasi dalam Isu Kesehatan, Perempuan, Anggaran, Pemberantasan Korupsi, dan Hak Asasi Manusia yang difasilitasi Institut Studi Arus Informasi (ISAI) di Kuta, Senin kemarin.
Undang-undang No 14 tahun 2008 tentang UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang akan mulai dilaksanakan pada Mei 2010 di Indonesia. “Namun publik masih belum menydari, termasuk juga jurnalis yang paling berkepentingan dengan data publik,” ujar Saptono.
Dalam UU KIP, Pasal 7 menyebutkan tentang kewajiban badan publik untuk menyediakan, memberikan, dan atau menerbitkan informasi publik. Disebutkan, badan publik harus mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien.
Informasi yang disediakan meliputi informasi badan publik, tentang kegiatan dan kinerja badan publik terkait, mengenai laporan keuangan, dan lainnya. “Badan publik wajib mengumumkan informasi secara berkala enam bulan sekali pada Komisi Informasi,” tambah Saptono.
Komisi ini baru terbentuk di tingkat nasional, dan akan memutuskan perkara atas sengketa informasi.
Sementara DPR dan pemerintah tengah giat merampungkan dan mengesahkan RUU Rahasia Negara yang berpotensi mengurangi jenis informasi yang bisa diakses publik dan ancaman pidana berat. Ironisnya, dalam draft akhir RUU ini tidak ada mekanisme pengujian atas jenis informasi. Hal ini cenderung menghambat penanggulangan korupsi dan pemenuhan hak asasi warga untuk mengakses informasi.
Faktanya di Indonesia telah banyak produk hukum yang menjamin kebebasan berpendapat dan mendapat informasi. Misalnya Pasal 28F UUD 1945, UU Pers, UU KIP, UU 28/1999 tentang Penyelenggara Negara Bebas Korupsi, dan lainnya.
Sejumlah jurnalis bersepakat memperluas dan memperkuat jaringan jurnalis dan publik yang mendorong warga untuk menggunakan haknya atas informasi di lembaga publik.
Jika badan publik tidak menyediakan dan menerbitkan informasi publik, dapat dikenai pidana kurungan maksimal satu tahun atau denda paling banyak Rp 5 juta.
Irawan Saptono mengatakan gerakan mendesakkan UU KIP harus dari publik. Warga yang mendapat manfaat dari implementasi UU KIP ini. Misalnya bisa mengakses data siap saja yang berhak mendapat Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), bagaimana mekanisme mendapat Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan lainnya.
Sementara Putu Wirata Dwikora, Ketua Bali Corruption Watch (BCW) mengatakan media harus mendukung warga untuk menggunakan akses yang dimandatkan UU KIP ini.
Di sejumlah lembaga, kata Wirata tidak ada mekanisme pelaporan ke masyarakat secara berkala mengenai kasus-kasus yang ditangani dan bagaimana perkembangannya. Misalnya di kepolisian, tidak ada laporan publik mengenai kasus yang siap dilimpahkan ke pengadilan atau yang dihentikan penyidikannya.
Wirata Dwikora mengatakan pihaknya sebagai organisasi anti korupsi akan makin sulit bekerja jika RUU Rahasia Negara ditetapkan. “RUU ini kontradiktif dengan UU KIP. Kami bisa terancam pidana tujuh tahun karena kerap mengakses informasi yang disebut sebagai rahasi negara karena berkaitan dengan indikasi korupsi,” katanya. [b]
Hayo, apa yang segera bisa dilakukan? Bisa dilakukan on- line juga kan?
Yuks kita dukung UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP)…!!
Yuuuukkzzzz
salam reformasi , dan salam kenal sama putra kalbar di pontianak,ttd Ketua DPD AWI aLIANSI wARTAWAN iNDONESIA kALIAMANTAN bARAT