Mengapa isu lingkungan hidup dan global dianggap kurang seksi?
Sepertinya masyarakat kebanyakan kurang bisa menyerapnya. Saya paling senang menyalahkan media yang kurang mampu menyajikan informasi dalam bahasa yang mudah dipahami orang awam mengenai isu-isu genting.
Saat ini saya coba untuk memposisikan diri sebagai orang yang betul-betul awam tentang isu lingkungan hidup dan isu-isu global, seperti perubahan iklim dan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization). Dua hal ini adalah istilah yang jarang diperbincangkan orang kebanyakan.
Keduanya dianggap sangat tidak kentara hubungannya dengan garam dapur, harga BBM dan puting beliung tahun kemarin.
Jika saya, sebagai orang yang betul-betul awam, dipaparkan informasi tentang perubahan iklim seperti hal ini:
Perubahan Iklim adalah perubahan jangka panjang dalam distribusi pola cuaca secara statistik sepanjang periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan tahun. Istilah ini bisa juga berarti perubahan keadaan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi peristiwa cuaca rata-rata. Contohnya jumlah peristiwa cuaca ekstrem yang semakin banyak atau sedikit. Perubahan iklim dapat terjadi di seluruh wilayah bumi. (Wikipedia)
Kemungkinan besar reaksi saya adalah bingung dengan rangkaian kata-kata rumit tadi. Mendapat gambaran dari penjelasan istilahnya pun tidak, lalu apa hubungannya dengan manusia? Bukankah ini merupakan skenario Tuhan yang harus saya terima?
Butuh waktu bagi orang awam untuk memahami fenomena alam dan kaitannya dengan kegiatan manusia. Ini terutama bagi yang tidak mengalami dampak perubahan iklim yang dianggap “tidak terlalu ekstrem” seperti banjir di Bundaran HI di Jakarta.
Berapa banyak orang yang paham penyebab banjir di Jakarta dan menganggap banjir adalah hal wajar yang nanti akan surut dengan sendirinya karena itu sudah bagian dari tinggal di Jakarta, dari dulu juga kan sering banjir.
Belum lagi jika harus mengaitkan Organisasi Perdagangan Dunia dan perubahan iklim. Apa sih hubungannya dengan hidup saya, bawang di pasar, pekerjaan saya, kebiasaan saya? Jauh sekali rasanya keterkaitannya.
Bahkan mungkin banyak yang tidak merasa bahwa rata-rata dari kita adalah bagian dari dan pencetus krisis apapun yang ada saat ini.
“Sinting banget itu ya menebang pohon di Kalimantan, menganiaya masyarakat sana, membunuh orang utan, keji sekali,” kata penjual dan penggemar makanan ringan instan yang sumber bahan bakunya berasar dari wilayah konflik yang disebutkan.
Saya hanya terpana karena mengalami keterbatasan waktu dan kata-kata untuk menguraikan satu persatu kaitan antara dirinya dan kekerasan yang terjadi.
Kurang Efektif
Jika saya berikan tautan informasi berlimpah internet pun kemungkinan besar tanggapan yang akan saya dapat hanya tatapan kebingungan. Banyak istilah istilah rumit. Atau diam dan tetap menjual dan melanjutkan mengkonsumsi makanan kesukaannya.
Masih banyak juga yang sudah mulai paham, sedang belajar dalam gerakan lingkungan hidup, aktif terlibat dalam gerakan lingkungan hidup atau isu-isu sosial, belum sepenuhnya memahami keterkaitan antara acara, pergerakan, dan lain-lain yang dijalankan dengan sumber bantuan dana.
Fenomena ini lebih sering ditemukan di daerah urban. Lain halnya jika saya berbincang bincang dengan masyarakat di kampung yang masih jauh dari peradaban. Saya hampir tak perlu menjelaskan lagi. Bahkan saya banyak belajar dari mereka karena mereka yang hidup sederhana. Hanya mengambil secukupnya dari alam adalah panutan saya.
Di awal perkenalan saya terhadap isu-isu lingkungan dan isu-isu global lainnya, walaupun lambat laun paham, saya bingung harus memulai dari mana jika ingin menjadi bagian dari perubahan yang lebih baik. Mungkin ada juga yang merasa depresi. Tak menemukan solusi dari semua krisis yang dipahami atau dibaca. Lalu memilih menjalani kebiasaan, menjalani hidup “apa adanya” dan lebih baik mencari kesenangan daripada memikirkan hal-hal rumit.
Ada juga yang merasa belum siap untuk mengubah kebiasaan karena hidup yang dijalaninya sudah cukup membuat nyaman. Apalagi sih yang dicari selain kebahagiaan? Bukankan setiap orang mencari kebahagiaan?
Tidak cukup waktu rasanya memikirkan perubahan iklim, isu buruh, demo kenaikan BBM, WTO dan lain-lain yang tidak ada hubungannya dengan keluarga dan pekerjaan. Ada hal lain yang “lebih penting” untuk dipikirkan.
Begitulah, sayangnya, kenyataan yang seringkali saya temukan, hingga saya yakin, metode penyampaian informasi selama ini kurang efektif sehingga membuat isu-isu penting terlihat sangat jauh dari realita keseharian.
Revolusi Diri
Ketika terbentur dengan kenyataan ini, ada hal yang sebenarnya paling penting untuk dilakukan, alihalih berupaya merubah pandangan orang lain, jauh lebih baik merevolusi diri terlebih dahulu dan belajar memposisikan diri sebagai orang awam yang perlu diberikan pencerahan. Perubahan dalam diri jauh lebih penting ketimbang segala upaya mengubah pandangan orang kebanyakan.
Sebatas paham permasalahan tanpa bisa kritis terhadap kebiasaan diri sendiri, saya pikir jauh lebih fatal dari “kebutaan” orang yang awam akan isu isu genting. Pergulatan sesungguhnya ada di dalam diri sendiri dan berbuat baik saja tidaklah cukup, tapi harus berbuat baik dengan cara yang benar. (Paragraf ini terutama adalah catatan untuk diri sendiri :p).
Sumber petaka dari krisis lingkungan hidup dan krisis lainnya adalah ketidaksadaran akan kemampuan diri menjadi bagian dari perubahan sistem yang karut marut.
Segala macam ketimpangan yang ada justru dilanggengkan dengan kebiasaan-kebiasaan kita mengonsumsi tanpa mempertanyakan masalah harga, asal bahan baku, trend yang muncul di pasaran dan etika bisnis. Kebiasaan kecanduan akan merek dan gaya hidup tertentu yang seringkali dianggap representasi diri dan kualitas diri juga sangat sulit untuk dibenahi. Semua perusahaan berlomba lomba memproduksi, apapun, untuk dijual, mendapatkan keuntungan.
Sayangnya belum ada batasan berapa keuntungan yang adil dan batasan kekayaan yang bisa dimiliki individu tanpa mengorbankan banyak hal. Berapakah batasan yang pantas untuk mengeksploitasi sumber daya alam atas nama kebutuhan pasar? Berapa persen dari populasi dunia yang nota bene adalah pemilik usaha dan berapa persen yang dianggap target pemasaran?
Populasi konsumen (target pemasaran) yang dianggap sebatas deretan angka, dan sayangnya secara tidak sadar kita setuju hanya dianggap angka, merupakan kekuatan yang sesungguhnya dalam penentuan kebijakan ekonomi atau kebijakan apapun.
Tidak Susah
Bagaimana menjadi bagian dari perubahan tanpa harus jadi pahlawan kesiangan bukan hal yang luar biasa susah. Memulainya dari belajar mencari nama perusahaan yang memproduksi barang. Dari mana bahan bakunya didapat, bagaimana praktek bisnisnya, Berapa banyak tumpukan sampah di rumah jika membeli produk dalam kemasan. Bagaimana dampak dari keputusan untuk membelanjakan uang untuk produk produk tertentu.
Mencari alternatif produk yang relatif lebih aman, mengenali dan mengidentifikasi merek-merek yang mendominasi pasar hingga memahami dampaknya terhadap lingkungan hidup dan perekonomian di lingkungan tempat kita berada merupakan beberapa tahapan yang dapat membantu memahami sedikit demi sedikit krisis yang kita buat secara tidak sadar.
Sekadar berlatih bertanya pada pedagang sayur di pasar dari mana mereka mendapatkan pasokan sayurnya, di luar dugaan, dapat menuntun kita pada pemahaman akan krisis bahkan solusi.
Perusahaan fokus pada upaya menjual, menjual dan menjual. Salah satu upaya agar produk yang mereka coba pasarkan dapat diserap konsumen adalah beriklan. Jeli dalam mengamati pesan pesan terselubung, berupaya untuk kritis mempertayankan “kebenaran” dan citra yang dibentuk perusahaan merupakan kebiasaan yang harus terus menerus dipupuk agar tidak terus menerus terjebak dalam budaya “membeli adalah tanda bahwa kita eksis karena sanggup bayar”.
Produsen berupaya menciptakan kebutuhan sedangkan definisi kebutuhan semakin jauh dari arti sebenarnya. Pada hakikatnya, kebutuhan yang paling medasar adalah tanah, air, udara yang bersih dan hak untuk hidup. Jadi pertanyaan yang harus sering diulang dalam benak adalah, jika saya tidak membeli produk A merek Inainu, apa yang akan terjadi pada saya, matikah?
Latihan seperti ini bisa dilakukan sambil bersenang-senang di dalam mall atau supermarket. Bahkan Anda akan tergelak sendiri ketika memahami betapa mudahnya untuk berkata tidak terhadap kendali satu perusahaan besar, sedangkan Anda memiliki kemampuan untuk membeli apapun yang Anda pikir perlu. Jadilah tuan dalam pemikiran kita sendiri. Mulai saja dari situ. [b]