Selalu ada celah untuk bermain dan korupsi di tiap proyek pemerintah.
Setidaknya demikian kesimpulan yang dapat saya tarik dari sudut pandang atau kacamata pribadi setelah sekian lama terlibat baik secara langsung ataupun tidak dalam kegiatan pengadaan barang maupun jasa atau kerap. Pengadaan proyek milik pemerintah ini ada yang dikelola sendiri (swakelola), penunjukan atau pengadaan langsung maupun lelang umum melalui e-Procurement ataupun non e-Procurement.
Ada empat tahap yang biasanya dilalui oleh setiap kegiatan dalam satu tahun anggaran, meskipun ada juga untuk beberapa kasus hanya melewati tiga di antaranya. Dalam tahapan ini terdapat beberapa orang pelaku kegiatan yang memang secara resmi diatur dalam Peraturan Presiden berkaitan dengan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Tahapan tersebut adalah perencanaan dan pelelangan, pelaksanaan, pengawasan dan penerimaan pekerjaan.
Lantas apakah celah untuk bermain dan korupsi yang dimaksud berlaku untuk keempat proses di atas? Tentu saja.
Aman
Namun, memang tidak semua pelaku kegiatan pengadaan mau memanfaatkan celah dan berusaha untuk melakukan tindak korupsi dan mengabaikan peraturan ataupun tata cara yang seharusnya ditaati. Ada juga yang lebih suka untuk bermain aman, demi jaminan masa depan. Walaupun hanya memiliki sedikit tabungan namun kebahagiaan keluarga itu pasti adanya.
Oke, pertama dari proses Perencanaan dan Pelelangan. Di sini banyak celah untuk bermain dan melakukan tindak percobaan korupsi terhadap kegiatan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah baik yang dilakukan dengan cara Swakelola, Penunjukan/Pengadaan Langsung dan Lelang Umum. Yang paling kentara biasanya adalah ‘penguncian spesifikasi ataupun syarat yang dimintakan kepada rekanan’. Tujuannya untuk meminimalkan antusiasme dan minat penawaran yang kelak akan diajukan para Penyedia atau Rekanan.
Apabila ada minimal tiga rekanan saja yang mampu melakukannya, itu sudah lebih dari cukup untuk bisa melanjutkan proses lelang ke tahap Evaluasi dan Penetapan Pemenang.
Namun, ada juga yang mengajukan harga tawar untuk pengadaan barang/jasa tertentu, terutama yang dilaksanakan dengan cara Swakelola atau Penunjukan/Pengadaan Langsung. Tujuan utamanya adalah mencari selisih harga dari yang disepakati dengan harga pasar. Meski peraturan sudah memasukkan unsur keuntungan yang diambil dari harga tawar, sekitar 3 persen kalau tidak salah, namun praktik untuk melakukan mark up harga tetap banyak dilakukan. Hal ini terutama apabila barang/jasa yang diharapkan memiliki nilai yang sulit untuk dipastikan dalam rentang waktu tertentu.
Praktik percobaan tindak Korupsi juga dapat dilakukan pada kegiatan yang dilelangkan baik melalui jalur e-Procurement maupun non e-Procurement. Caranya beragam. Salah satu diantaranya adalah ‘penguncian spek dan syarat tadi’. Namun, ada juga yang kadang berusaha untuk mengabaikan aturan atau tata cara yang telah ditetapkan. Misalnya pemberlakuan aturan Black List kepada Rekanan yang tidak hadir dalam sesi Pembuktian Kualifikasi atas usulan Calon Pemenang kegiatan tertentu.
Dalam sesi Pembuktian ini biasanya Rekanan dikonfirmasi kembali, apakah memang benar mampu melaksanakan pengadaan barang/jasa dimaksud sesuai nilai penawaran yang diajukan? Seandainya Rekanan mangkir, secara aturan yang bersangkutan dikenakan Black list atau masuk dalam Daftar Hitam.
Namun, kabarnya celah ini dapat dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu dengan hanya mengenakan sanksi “digugurkan saja, tanpa Black List”. Artinya, calon Pemenang Pertama tersebut dapat mengajukan penawaran kembali pada kegiatan lain. Nah, lalu kaitannya dalam paket Pengadaan adalah, saat Calon Pemenang Kedua diajukan sebagai Pelaksana Kegiatan, biasanya pekerjaan diberikan (sub) kepada rekanan Pemenang Pertama tadi, dan nilai selisih Penawaran antara Rekanan Pertama dan Kedua, dibagi rata antara Rekanan dan oknum.
Mudah
Masuk dalam proses Pelaksanaan. Bagi yang terbiasa bekerja di lapangan, saya yakin tanpa dijelaskan pun praktik celah untuk bermain dan percobaan tindak Korupsi dapat diketahui dengan mudah. Satu contoh yang barangkali kerap dilakukan adalah Pencurian Volume, terutama pada pekerjaan yang tidak dapat dijangkau oleh mata.
Misalkan, ketebalan penghamparan Aspal. Dengan mengurangi dimensi sekitar 1 hingga 2 mm dari yang seharusnya setebal 6 cm untuk mendapatkan rasio ketebalan 5 cm pasca-pemadatan dengan alat berat, biasanya tidak akan terlihat menjolok saat dilakukan pengujian ketebalan.
Bayangkan apabila dimensi tersebut dikalikan panjang dan lebar jalan plus nilai satuan yang ditawar, berapa banyak rupiah yang bisa ‘dihemat’?
Belum lagi jika menyinggung soal perbandingan campuran yang digunakan. Misalkan saja, apabila secara spesifikasi yang disarankan dalam satu pekerjaan Pasangan Batu Kali ditentukan Campuran 1:5 (baca: 1 semen, 5 pasir), yang kemudian diselewengkan menjadi 1:7 atau 1:8? Bayangkan juga berapa zak semen bisa ‘dihemat’ selama berlangsungnya kegiatan?
Termasuk pula di antaranya penurunan Kualitas. Ini biasanya kerap terjadi pada bahan/barang yang sangat sulit dibedakan oleh penglihatan mata manusia, kecuali apabila dilakukan pengujian dengan teknik laboratorium. Meskipun demikian, tidak sedikit pula hasil Pengujian laboratorium tersebut dapat dibeli untuk menghasilkan nilai kualitas setara spesifikasi.
Berlanjut pada Proses Pengawasan. Nah, kalo soal ini biasanya sih tak kalah rentan akan celah permainan, siapapun itu yang dilibatkan di dalamnya. Apakah berasal dari unsur Pemerintah (istilahnya dikenal dengan sebutan Direksi Teknis) ataukah berasal dari Konsultan Pengawas yang memang menguasai betul tahap Perencanaan sebelumnya?
Masalahnya adalah, oknum atau pelaku yang terlibat didalam tugas Pengawasan inipun bisa dibeli dengan cara memberikan honor bulanan selama masa pekerjaan itu dilakukan. Tidak heran apabila praktik percobaan tindak korupsi seperti Pencurian Volume, ketidaksesuaian perbandingan Campuran atau Penurunan Kualitas dapat disetujui begitu saja dari balik meja tanpa harus diperiksa kembali secara teliti di lapangan berdasarkan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam dokumen Kontrak.
Apalagi jika satu Direksi Teknis atau Konsultan Pengawas mendapatkan tugas Pengawasan di lebih dari satu kegiatan di lokasi yang berbeda, dalam waktu yang overlap atau bahkan bersamaan. Bisa ditebak sejak awal bahwa proses Pengawasan tersebut akan sulit dapat dilaksanakan sesuai dengan Tanggung Jawab yang diembannya.
Atau yang sifatnya lebih halus lagi adalah, memberikan opsi pekerjaan tambahan pada yang bersangkutan untuk langsung mengerjakan beberapa item pekerjaan yang dapat diambil alih secara pribadi atau tim yang dimilikinya. Meski ini dapat dibenarkan dalam pekerjaan Minor, namun melibatkan oknum Pengawas biasanya lebih rentan akan tindak penyelewengan sehingga proses Pengawasanpun akan berjalan secara ‘ewuh pakewuh’.
Amplop
Terakhir, tentu saja terletak pada proses Penerimaan Hasil Pekerjaan atau yang dikenal dengan nama tim PPHP. Tugas dari tim ini adalah memeriksa hasil akhir yang disampaikan oleh Tim Pelaksana dan Pengawas, dengan mengacu pada spesifikasi kegiatan pada Kontrak. Baik secara dimensi, volume, kualitas dan visual.
Pernah membaca berita sebuah media lokal terkait permintaan sejumlah uang untuk setiap kali pemeriksaan yang diajukan Rekanan oleh Tim Pemeriksa? Di sinilah celah terjadinya tindak korupsi. Pemeriksaan itu bisa lolos dengan membayar sejumlah dana saat tim turun ke lapangan. Tidak hanya embel-embel amplop, tapi juga makan siang hingga layanan lainnya, tergantung permintaan.
Namun, ada juga yang memberikan Target sejumlah uang untuk setiap titik atau item yang dicurigai mengandung unsur permainan atau yang dapat dijadikan catatan.
Lantas, dari mana seluruh biaya di atas berasal? Tentu dari kantong rekanan atau Penyedia. Memang dalam laporan keuangan ‘tak resmi’ terdapat pos pembiayaan yang dianggarkan atau dialokasikan secara khusus untuk membeli semua proses sebagaimana tersebut di atas. Biasanya dimasukkan pula dalam biaya penawaran kegiatan/proyek, diselubungkan ke harga satuan di masing-masing Volume. Kalo tak salah sih namanya ‘pos entertaiment’. Mohon dikoreksi jika salah.
Pertanyaan kedua, mengapa saya berani mengungkapkan ini semua kepada publik? Karena semua kegiatan yang ada dan dilaksanakan pemerintah berasal dari uang rakyat (termasuk saya tentu saja) dalam bentuk pajak. Jadi ketimbang pajak yang kita bayarkan sedikit demi sedikit dimakan ‘rayap’, harapan saya sih masyarakat bisa ikut serta dalam pengawasan di setiap kegiatan di lingkungan kita. Mengingat tidak semua unsur Pengawasan yang terlibat di dalamnya mampu bekerja dengan bersih dan baik.
Caranya? Silakan melakukan pembelajaran di kantor Direksi Keet yang biasanya hadir di sekitar lokasi pekerjaan. Di situ biasanya terdapat gambar kerja dan perencanaan yang kelak akan dilaksanakan, jadwal pengambilan pekerjaan hingga buku tamu sebagai catatan yang berkunjung.
Lakukan pencatatan dan rekam bukti baik dalam bentuk gambar atau foto, bahkan video sebagai bahan. Kalau pun mau dipublikasikan dalam bentuk video Van Der Spek kemarin pun tentu saja masih bisa. Ini adalah satu bentuk kepedulian kita sebagai pembayar pajak pada setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Jangan sampai lantaran kita tidak lagi ingin peduli, soal kualitas pekerjaan pun dikorbankan demi mengisi kantong pribadi mereka yang terlibat di dalamnya. Masyarakat berhak tahu. Dan jika pun Pemerintah (dan Rekanan) merasa bersih, mengapa musti takut? [b]
tulisan ini keren. tengs bli pande sudah membaginya. jadi tahu bagaimana seluk beluk dan cara korupsi yg baik dan benar. hehehe..
yg jadi pertanyaan, kira2 bagaimana kita sbg warga bisa mengawasi biar tidak terjadi korupsi itu. bisa gak ya kita menggunakan media sosial utk itu?