Menikmati pembuatan gula merah alias gula Bali dari memanjat pohon kelapa, meledok, sampai kelahiran model baru, SuLuh.
Manis merupakan salah satu dari Sad Rasa atau enam rasa dasar yang dikenal masyarakat Bali. Gula yang sering kita jumpai di Bali ada dua warna yaitu merah dan putih, namun untuk produksi gula putih di Bali sepertinya belum ada, yang ada adalah produksi gula merah. Gula merah yang ada di Bali berbahan dari nira enau dan nira kelapa.
Pengerajin gula merah di Bali yang terkenal akan kualitasnya ada di Desa Besan, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Gula hasil produksi Desa Besan ini sering di sebut dengan Gula Dawan mungkin karena Kecamatan Dawan lebih familiar dibanding Desa Besan.
Desa Besan merupakan tempat kelahiran dari I Wayan Sudata, seorang pengerajin gula merah berbahan nira kelapa. “Sepuluh tahun setelah Gunung Agung meletus, tiang mulai melajah membuat gula merah dari tuak nyuh. Tiang belajar dari Bapan tiange, karena memproduksi gula merah ini merupakan warisan leluhur tiang dari sebelum ada gula putih. Dulu kakek tiang sempat juga membuat arak namun karena gula merah lebih cepat laku, ya akhirnya turun temurun kami memproduksi gula merah sebagai mata pencaharian kami,” tutur Sudata.
Sudata tidak berani mencampur tuak yang dia sadap sendiri dengan tuak yang disadap oleh orang lain karena dapat mempengaruhi kualitas gula merahnya. Sehingga untuk menjaga kualitas gula merahnya, Sudata menyadap nira sendiri yang dikenal istilah ngirisin. Sehari ngirisin dua kali yaitu pagi dan sore hari. Hasil dari ngirisin 15 pohon kelapa akan mendapatkan kurang lebih 20 litter nira, dan bisa menghasilkan 4-5 kilogram gula merah.
“tiang ngirisin uli umur 14 tahun, waktu itu banyak yang bekerja sebagai pengiris, tuak yang di peroleh ada yang dijadikan gula merah, dijadikan arak, ada juga yang dijadikan cuka. Sekarang tukang ngirisin sudah sedikit, semua beralih kerja di hotel, namun ketika hotel di Bali perlu gula merah, jadinya mesti didatangkan dari luar Bali karena hasil produksi disini tidak lagi sebanyak dulu akibat sedikitnya tukang kiris,” tambah Sudata.
Proses pembuatan gula merah di Desa Besan masih penggunakan peralatan yang tradisional, seperti kayu bakar dan jalikan (tungku tradisional Bali). Proses memanaskan tuak atau nira kelapa agar menjadi gula dikenal dengan proses mumpunin.
Proses mumpunin ini menggunakan api sedang agar gula yang dihasilkan tidak hangus dan berasa agak pahit. Setelah tuak berubah menjadi merah dan kental, kurang lebih 3 jam baru diledok (aduk). Alat pengaduk disebut dengan pengeledokan yang bentuknya seperti sendok makan berukuran besar dan terbuat dari kau kau (batok kelapa).
Proses meledok pun tidak boleh sembarangan karena bisa membuat gula tidak bisa mengeras di dalam cetakan. Cetakan gula merah di Desa Besan menggunakan kau kau berbetuk setengah bola. Di dalam kau kau di isi dengan daun pisang kering, kemudian baru tuangkan cairan gula ke cetakan.
Cetakan tersebut diletakan di atas ancak (anyaman bambu) dan tunggu hingga gula merah menjadi dingin dan mengeras untuk melepaskan gula dari cetakan, cukup dihentakan di atas telapak tangan.
Gula dari Desa Besan ini memiliki rasa manis yang khas dibandingkan dengan gula merah dari daerah lain. Warnanya pun berbeda dengan gula merah lainnya, gula merah pada umumnya berwarna agak gelap, tetapi gula dari Desa Besan berwarna merah gading, terlihat lebih terang. Walau lebih mahal, gula merah hasil produksi Desa Besan tetap menjadi incaran konsumennya, terutama para produsen makanan yang memerlukan pemanis alami.
Sudata dalam meningkatkan penjualan hasil produksinya, dia melakukan modifikasi bentuk gula merah yang biasanya bulat besar ukuran 1 kg, kini dia juga membuat gula merah mini ukuran 50gr yang di beri nama Su Luh. Su artinya baik, Luh itu adalah wanita, jadi gula Su Luh buatan Sudata diharapkan seperti wanita yang baik, dengan ukuran tentu mempermudah konsumen dalam mengosumsi gula merah buatannya, yang bisa langsung dijadikan pemanis teh atau kopi, bahkan dijadikan souvenir pernikahan namun harganya lebih mahal karena proses percetakannya lebih rumit.
“Gula merah tiang ini, tanpa bahan pengawet, tanpa campuran gula pasir, jadi aman dikonsumsi oleh penderita diabetes karena kandungan glikemiknya rendah, kalau orang sini gula merah bukan untuk pemanis saja tapi juga untuk upacara dan usadha (pengobatan), ya kalau mau pesan bisa hubungi ponakan saya di +6285739493399, PO napi adane care jani,” tambah Sudata.
Pengerajin yang kian berkurang membuat Sudata kadang kewalahan menerima orderan sehingga mesti pesan dulu jauh jauh hari. Harapan Sudata selaku pengerajin gula merah tentu agar pemerintah dapat memperhatikan nasib para pengerajin gula merah agar tidak punah.
Comments 2