Benarkah anggapan bahwa tumpek landep adalah odalan besi?
Agama Hindu di Bali sebagaimana pandangan Stutterheim adalah rajutan antara agama Hindu dari pusat (India) berbaur dengan tradisi lokal yang telah berkembang sebelumnya. Mulai dari aspek teologis sampai praktis, pembauran tersebut menjadi rajutan indah. Aspek kepercayaan lokal tidak serta-merta dinegasikan melainkan dianyam menjadi suatu perpaduan.
Kedatangan agama Hindu terjadi dalam rentang sejarah panjang dan bertahap berbaur dengan kepercayaan lokal. Sehingga dapat dipastikan tidak ada kolonialisasi agama yang datang belakangan, tetapi semacam lokalisasi agama yang datang dari luar dengan bentuknya sesuai dengan tradisi lokal.
Tradisi, menurut Giddens (2003), adalah sebuah orientasi ke masa lalu. Bahwa masa lalu memiliki pengaruh signifikan atau masa lalu dibuat memiliki pengaruh besar di masa sekarang. Jadi masa lalu diambil untuk mengkonstruksi masa depan.
Terkait dengan itu, tradisi lokal yang berorientasi masa lalu memiliki pengaruh terhadap beragam ritual keagamaan yang dijalankan masyarakat hingga kini. Tradisi agraris dilanjutkan atau diadopsi dalam menjalankan kehidupan agama hingga menginjak ke tradisi industri.
Hal ini dapat dilihat dari salah satu upacara keagamaan yaitu tumpek landep. Setiap Saniscara Kliwon Wuku Landep diperingatai sebagai Tumpek Landep bagi masyarakat Hindu di Bali. Diperingati setiap enam bulan sekali sesuai kalender saka atau 210 hari sekali. Tepatnya satu kali perputaran wuku yang jumlahnya 30 wuku. Landep adalah wuku kedua setelah wuku sinta.
Merujuk pada teks Sundarigama tumpek landep merupakan pujawali Bhatara Siwa dalam aspeknya sebagai Sang Hyang Pasupati penguasa alam dengan tujuan memohon ketajaman pikiran (sesuai difinisi landep yaitu lancip). Proses upacara dan upakara ditujukan di Kamulan.
Benih-benih tradisi dalam ritual tumpek landep telah ada pada masa agraris. Teknologi yang digunakan pada masa agraris (benda-benda tajam) dan hakekat manusia yang memiliki suatu emosi mistikal mendorongnya untuk berbhakti kepada kekuatan tinggi yang tampak konkret di sekitarnya dalam bentuk keteraturan alam, pergantian musiam dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan kehidupan dan maut.
Singkatnya manusia dalam menjalani kehidupannya diliputi oleh rasa takjub terhadap kekuatan adikodrati di setiap benda. Baik benda pusaka maupun benda yang dipakai sehari-hari dan telah membantu manusia dalam mengolah alam lingkungannya. Ketakjuban atas aspek dinamis tersebut dilanjutkan dalam bentuk pemujaan Bhatara Siwa dalam manifestasinya sebagai Dewa Pasupati Pengausa alam jagat raya.
Namun, fakta di masyarakat upacara tumpek landep lebih dikenal odalan besi. Umat Hindu Bali lebih terkonsentrasi kepada berbagai benda terbuat dari besi, seperti benda pusaka yaitu keris, dan pedang. Juga berbagai benda keseharian yang membantu kerja manusia misalnya motor, komputer, dan pisau.
Pandangan tersebut menjadikan tumpek landep seringkali menerima arti peyoratif, yang bernuansa material atau bahkan paganistik sebagai harinya besi atau otonan motor. Pemaknaan tersebut tidak dapat disangkal.
Benda pusaka maupun benda yang memudahkan kehidupan manusia diberikan porsi utama dalam pelaksanaan upacara tumpek landep atau peletakan upakara yang telah dijabarkan dalan pustaka Sundarigama. Akibatnya, sejauh konsumsi mata memandang implus-implus tersebut membuat terbentuknya makna sebagai harinya besi atau otonan motor.
Upaya mengedepankan makna tekstual selain untuk menangkal penghayatan yang dangkal dalam kehidupan beragama (bernuansa material) yang sakral juga merupakan upaya politis untuk menguatkan kembali nilai-nilai religius dalam norma sosial yang aktual dengan kehidupan masyarakat. Agama diharapkan memberikan sumbangsih dalam kehidupan masyarakat baik dalam penguatan konsensus maupun menumbuhkembangkan sikap-sikap yang dibutuhkan masyarakat dalam konteks kehidupan bersama.
Di tengah masyarakat yang terkurung dalam berbagai rasionalitas, agama berdiri menjadi salah satu referensi dalam menyediakan berbagai perspektif penyelesaian maslah kehidupan. Karena sebagaimana pandangan Hall (1985) tidak semua masalah yang ada dalam kehidupan manusia dapat diukur dan diselesaikan dengan akal.
Agama yang menyediakan hubungan transendental melalui upacara atau pemujaan yang mampu memberikan dasar emosional bagi rasa aman serta identitas kelompok yang kuat. Dalam pengertian lain agama memberikan makna signifikan dalam menjalani kehidupan sebagai perintah Tuhan yang wajib dijpatuhi untuk kehidupan suci di masyarakat.
Makna memiliki sifat produktif dan terbuka. Makna bersifat terbuka karena ketergantungan tidak terpusat tetapi menyebar. Pemaknaan dapat tergantung pada si pemberi makna dengan berbagai latar belakang yang dimiliki. Makna juga tergantung pada konteks (gerak sejarah) dan kepentingan.
Karena itu makna aktual dari suatu teks sosial dalam hal ini tumpek landep tergantung pada yang memberi makna dengan gajala-gejala yang melekat padanya.
Konsekuensinya, makna bersifat produktif selalu dapat diperbaharui, diremajakan atau direvitalisasi. Namun, harus diingat makna yang aktual adalah yang menyebar di masyarakat bukan makna pada pustaka atau teks. Sebab, masyarakat merupakan letak dari praktis kehidupan sedangkan teks atau pustaka hanya suatu ide. Ide harus dipraktiskan.
Di sinilah signifikansi revitalisasi makna mendapatkan akar aksiologisnya. Tumpek landep tidak hanya sebagai hari teknologi yang membantu kehidupan manusia tetapi juga hari di mana pikiran sebagai tonggak perubahan dapat menciptakan kehidupan layak dan harmonis dengan alam. Sesuai dengan pusat pemujaannya dihaturkan kepada Sang Hyang Pasupati penguasa alam. [b]
mantap pak IBM Satya Wira, Selamat Tumpek Landep, Semoga pikiran menjadi semakin Tajam (sesuai difinisi landep yaitu lancip)