Paradigma kuliah untuk bekerja harus diubah.
Kampus seharusnya menjadi sekolah untuk membuka usaha agar semakin banyak jumlah pengusaha di Indonesia, khususnya Bali yang memiliki jumlah penduduk usia muda cukup besar. Di sisi lain, keluarga juga harus mendukung usaha mereka.
Pengamat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Udayana Sayu Ketut Sutrisna Dewi mengemukakan masih banyak calon pengusaha khususnya mahasiswa belum mendapatkan dukungan dari keluarga dan komunitas karena masalah cara pandang atau paradigma tersebut.
“Kita lagi masa transisi, beberapa pihak bisa menerima, beberapa tidak. Anak-anak sudah berusaha tapi kadang belum didukung,” kata Dewi.
Berdasarkan pengalaman Dewi ketika membina anak muda seperti itu, para mahasiswa susah payah meyakinkan orang tua untuk menjalankan bisnisnya. “Dia sampai minggat dari rumah untuk membuktikan ke orang tuanya dia benar,” tuturnya.
Dewi menyampaikan pendapat dan pengalaman tersebut dalam diskusi “Tantangan dan Kendala Wirausaha Muda di Era Digital” yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar dan Bank Mandiri pekan lalu.
Dalam diskusi ini hadir juga pendiri PT Bamboomedia Putu Sudiarta dan Deputi Direktur Manajemen Strategis, Edukasi dan Perlindungan Konsumen (EPK) dan Kemitraan Pemda OJK Regional 8 Bali Nusra Yonas.
Menurut Sutrisna Dewi, pola pikir seperti itulah yang menurutnya menghambat kenaikan jumlah pengusaha muda secara signifikan. Sebab, anak dipaksa mengikuti keinginan orang tua dan bukan berdasarkan passion, misalnya dalam hal kuliah.
Dia memaparkan dari hasil polling di Universitas Udayana pada 2010 silam, didapatkan hasil sebanyak 56 persen dari total responden menyatakan salah jurusan. Dari jumlah yang salah jurusan tersebut, 90 persen menyatakan salah jurusan karena mengikuti keinginan orang tua.
Menariknya, kata dia, 76 persen responden yang disurvei ternyata memilih menyembunyikan usahanya dari orang tua.
Dia mengungkapkan salah kaprah memandang wirausaha juga berdampak terhadap upaya menciptakan komunitas usaha seperti inkubator bisnis untuk mahasiswa.
Karena itu, lanjutnya, gerakan kewirausahaan membutuhkan partisipasi dari banyak pihak, terutama keluarga dan komunitas. Mereka bisa memberikan dukungan bagi calon wirausaha sehingga semakin banyak generasi muda memilih menjadi pengusaha dibandingkan sebagai karyawan.
“Wirausaha bukan sesuatu yang dikenalkan sebagai cita-cita oleh orang tua, yang dikenalkan itu dokter, akuntan dan pekerjaan lain. Jadi wirausaha itu nanti kalau tidak dapat kerja di mana-mana,” tuturnya.
Sementara itu, Putu Sudiarta bercerita tentang pengalamannya sebagai wirausaha di bidang digital.
Dia menyarankan wirausaha dimulai sejak usia sebelum 35 tahun. Pada masa-masa tersebut anak muda memiliki ruang gerak lebih luas dibandingkan ketika usianya sudah lewat 35 tahun. Menurutnya, pada usia tersebut manusia memiliki kemampuan lebih tajam.
Diakuinya menjadi pengusaha tidak mudah, karena membutuhkan dedikasi kuat untuk bisa berhasil. Sudiarta mengingatkan bahwa potensi industri digital untuk menjadi ladang usaha sangat besar. Bahkan, Bali terbukti menjadi cikal bakal berdirinya perusahaan informasi teknologi seperti OLX.
Di era teknologi digital seperti sekarang, generasi mudah disarankan mencari problem yang dialami di Indonesia setidaknya 1 juta orang mengalami untuk kemudian dicarikan solusi berbasis aplikasi. Dia menegaskan industri digital dapat mendorong banyak solusi menjadikan Indonesia lebih efisien dan efektif.
“Di dunia digital pelakunya adalah anak muda yang punya niat luar biasa, masih punya determinasi kuat pada hidupnya dan melihat potensi besar di zaman digital ini. Kita butuh partisipasi anak muda untuk menyelesaikan problem itu, sehingga indonesia tak kehilangan momen bonus demografi dengan skil kuat,” tuturnya.
Yones menambahkan saat ini masyarakat tidak bisa menghindari dunia digital sehingga jika tidak mengikuti digital akan hanyut atau habis. Karena itu, generasi mudah disarankan untuk mengikuti dan memanfaatkan teknologi digital secara positif. [b]