Musim layangan di Bali telah tiba-tiba.
Birunya langit Bali pun kembali penuh dengan aneka bentuk dan warna layang-layang. Melayangan atau bermain layang-layang memang termasuk tradisi di Bali. Tradisi ini bahkan sudah menjadi festival dilombakan.
Namun, berjalannya zaman dan empasan arus modernitas membuat permainan rakyat ini kerap kali membuat ketidaknyamanan para pengguna lalu lintas.
Aksi mendominasi jalan raya dan geber-geberan knalpot berong sepeda motor kerap kali mewarnai konvoi mengusung layang-layang. Bahkan tak jarang para pengusung layangan abai terhadap aturan berlalu lintas, salah satunya tidak menggunakan helm.
Antropolog asal Bali, Degung Santikarma, melihat hal tersebut sebagai sebuah terjemahan ide-ide pelestarian tradisi yang mengarah pada isu maskulinitas atau ekspresi kejantanan. Bahkan menurut dia hal tersebut juga mengandung ekspresi militeristik.
“Ini seperti konsep klaim teritorial. Misalnya mengambil jalan raya seolah-olah hanya milik kelompok mereka,” katanya.
Menurut Degung, perilaku melanggar aturan saat melayangan adalah bukti bagaimana sempitnya solidaritas. “Saya kira ini perlu dipikirkan kenapa tradisi jadi seperti ini,” tambahnya.
Lebih dari itu, Degung menambahkan, fenomena lomba layang-layang ini sebagai politik identitas yang dikontestasi. Ada identitas yang dipertaruhkan, tapi bukan identitas kebalian.
Identitas yang dimaksud, kata Degung, lebih mengarah pada identitas banjar atau desa.
“Malah isu identitas lebih tinggi daripada keselamatan tentang ruang publik,” kata dosen antropologi George Mason University, USA ini.
“Ruang ekspresi identitas ini uji coba terhadap teori identitas keBalian. Bahwa, keBalian itu hanya sebuah imajinasi,” tambahnya.
Selain itu bermain layang-layang atau lomba layang-layang juga memuat romantisme kaum urban terhadap kelampauan masa kanak-kanak. Alumni pascasarjana antropologi University of Melbourne, Australia ini menjelaskan romantisme tersebut ada pada kalangan menengah ke atas.
“Tapi pelakunya justru dari kalangan kelas bawah yang energinya dieksploitasi dan dimobilisasi. Ini mengukur kekuatan barometer energi sosial orang Bali mau diterjemahkan kemana,” tuturnya.
Pria asal Kesiman, Denpasar ini mengungkapkan dahulu ketika ia masih anak-anak lomba layang-layang lebih bersifat kompetitif jauh berbeda dengan zaman sekarang. “Layangannya tidak besar, juga diadu main putus benang, itu seperti kejantanan yang diekspresikan. Makanya dulu itu kalau mau lomba layangan semalaman membuat benang gelasan,” katanya.
“Kalau sekarang malah jadi gengsi jor-joran kelas menengah ke atas mengeluarkan uang juta-jutaan. Hal semacam ini membuat masa cepat dikooptasi,” tambahnya. [b]