Teks Pers Mahasiswa Akademika, Foto Internet
Bali saat ini tidak lebih dari panggung sandiwara yang dimainkan masyarakatnya untuk memuaskan wisatawan ke Bali.
Masyarakat Bali mencitrakan dirinya pada suatu kehidupan nyata tetapi sebenarnya tidak nyata. Kehidupan sehari-hari dibuat-buat sehingga lebih nyata dari apa yang sebenarnya terjadi. Aktivitas masyarakat Bali cenderung berada dalam bayang-bayang semu. Mereka tidak berani menampilkan jati diri yang dimiliki. Maka, hanya kepura-puraan yang bisa dilakukan untuk memantaskan diri di hadapan orang lain untuk sebuah citra.
Untuk itu Bali melakukan tradisonalisasi diri. Bali menyesuaikan dengan permintaan pasar pariwisata karena telanjur dengan citra yang melekat. Bali takut, jika tidak mengikuti perkembangan maka akan ditinggalkan oleh gemerlapnya pariwisata. Untuk itu, berbagai upaya terus dilakukan untuk menunjang perkembangan pariwisata, terutama sarana penunjang fisik. Misalnya, pembangunan hotel, villa, restoran, dan sebagainya. Hasilnya kemudian hanya dinikmti sebagian pemodal.
Namum, di balik itu, Bali tidak berpikir tehadap dampak akibat citra tersebut.
Bali dulu adalah Bali yang sakral. Tari-tarian hanya dipakai untuk tujuan-tujuan keagamaan dan dipentaskan di pura. Tarian yang dipentaskan sama sekali tidak menggunakan tambahan alat-alat elektronik, seperti pengeras suara, pencahayaan, dan sebagainya. Tanpa adanya alat-alat tersebut tarian yang dipentaskan mampu membawa penontonnya ke dalam suasana magis.
Bali dulu adalah Bali di mana masyarakatnya berkomunikasi menggunakan huruf-huruf di atas daun lontar dan kentongan (kulkul) di setiap balai banjar. Yang akan dibunyikan jika banjarnya (masyarakat) akan berkumpul. Meskipun suara yang dihasilkan kulkul terbatas dalam penanda tetapi masyaraktnya tidak ada mengalami permasalahan dalam berkomunikasai.
Bali dulu dalam membuat rumah dan bangunan selalu menggunakan ukuran-ukuran badan si pemilik bangunan sesuai asta kosala-kosali. Misalnya, untuk menentukan ukuran panjang, satuan yang digunakan adalah ukuran “tangan terlentang”. Karena menggunakan ukuran tangan si pemilik bangunan itulah maka arsitek selalu bekerja sesuai bentuk bangunan yang dibuatnya. Maka, bangunan kelihatan rapi dan tidak menyalahi tata ruang.
Bali dulu adalah Bali yang hijau dan sejuk. Hamparan sawah di mana-mana dihiasi suara petani mengusir burung pengganggu dengan alat-alat tradisional. Misalnya, cakra tiing (baling-baling dari bambu yang bisa mengeluarkan suara). Pengerjaan di sawah pun masih menggunakan alat-alat tradisional, seperti tenggala yang ditarik menggunakan sapi atau kerbau.
Lalu, bandingkan.
Bali sekarang adalah Bali yang mengejar kemeriahan semata, yang mementaskan tarian-tarian dalam gemerlap panggung hiburan pariwisata. Tarian sakral pun dipaksakan untuk dipentaskan di panggung hiburan untuk kebutuhan pariwisata. Bali sekarang adalah Bali yang telah meningggalkan alat-alat komunikasi tradisonal. Saat ini, warga dalam berkomunikasi cenderung menggunakan alat-alat elektronik. Rapat banjar pun sering menggunakan LCD sebagai media penjelas.
Bali sekarang adalah Bali yang kacau akibat bangunan menyalahi tata ruang karena tidak diperhatikanya asta kosala-kosali dalam pembangunan. Bali sekarang adalah Bali yang panas akibat semakin sempitnya ruang terbuka hijau karena maraknya pembangunan perumahan dan jalan.
Dari kondisi itulah, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Mahasisawa “Akademika” menggelar lomba foto bertema “Kondisi Bali”. Tema ini bukan untuk mencari kejelekan Bali itu sendiri, melainkan untuk menyadarkan tentang kondisi Bali saat ini melalui hasil karya foto peserta lomba. Agar, hal demikian tidak terjadi berlarut-larut sekaligus menggugah hati yang melihatnya untuk melakukan perbaikan.
Lomba foto jurnalistik ini akan diawali dengan proses pengumpulan karya foto pada 1 – 27 Maret 2011. Kemudian foto akan dikurasi menjadi 20 besar pada tanggal 28 Maret 2011. Panitia akan mengumumkan pemenang lomba pada 10 April 2011 nanti.
Syarat dan ketentuan:
1. Peserta adalah pelajar atau mahasiswa di Bali.
2. Peserta menyertakan fotokopi kartu pelajar/ mahasiswa pada waktu pendaftaran.
3. Biaya pendaftaran Rp 20.000 per peserta.
4. Foto yang diikutsertakan adalah karya asli peserta yang dibuat pada tahun 2010 sampai dengan Maret 2011.
5. Foto yang dilombakan adalah berwarna hasil pemotretan dengan kamera digital.
6. Setiap peserta maksimal mengirimkan 5 foto tunggal (bukan seri) berupa file softcopy dalam CD. Format file JPEG dengan sisi terpanjang minimum 3000 pixel, resolusi 300dpi, minimal 2MB.
7. Format penamaan file foto yaitu no.urut foto, judul foto, nama peserta. Contoh: 01_Tukang Batu_Agus Budi.jpg
8. Masing-masing foto disertai data tentang tanggal pemotretan, lokasi pemotretan dan narasi yang mengandung unsur 5w+1 H. Informasi tersebut dibuat dalam file notepad atau word document pada folder terpisah dengan foto pada CD yang dikirim.
9. Bagian luar CD dilengkapi nama, alamat, dan no telepon yang dapat dihubungi.
10. Editing yang dilakukan hanya diperbolehkan mengatur contrast, brightness, dan cropping (hanya boleh 20%).
11. Foto yang dilombakan belum pernah dimuat di media cetak dan belum pernah memenangkan lomba.
12. Foto tidak mengandung unsur penghinaan atau pelecehan pada identitas lain, seperti agama, suku, gender, dan lain-lain.
13.Panitia tidak bertanggung jawab terhadap adanya tuntutan pihak lain atas foto yang dikirim.
14. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.
Pengumpulan Karya:
Sekretariat Persma Akademika Universitas Udayana. Dari pukul 13.00 – 19.00 Wita.
Jl. Sudirman, Denpasar- Bali (dibelakang gedung kampus Fisip Udayana)
Dewan Juri
– Made Nagi (Fotografer EPA)
– Lukman S. Bintaro (Freelance)
– Johanes P. Christo (Freelance)
Hadiah Pemenang
– Juara I : Uang Tunai + Trofi+ Sertifikat
– Juara II : Uang Tunai + Trofi+ Sertifikat
– Juara III : Uang Tunai + Trofi+ Sertifikat
Pameran:
20 foto terbaik akan dipamerkan mulai tanggal 10 April 2011 di Gallery Popo Danes, Jl. Hayam Wuruk, Denpasar. (Foto akan dicetak dan di bingkai oleh panitia)
Contact Person: Asykur 081958307070, Agung Parameswara 081805697500.
Keterangan: foto dari Boljugeyesight.
narasi nya terlalu memojokkan Bali.. tidaklah adil membandingkan Bali kini dengan Bali dulu, Bali bukan museum, bro!
Kita harus nya lebih melihat ke kenyataan bahwasannya yang abadi itu adalah perubahan…bagaimanapun juga kita harus siap dengan segala perubahan yang terjadi dan lebih bijak untuk menanggapi perubahan itu sendiri. Bali bagaimanapun juga akan mengalami perubahan, baik alamnya, SDM dan juga budayanya, perkembangan jaman, globalisasi juga salah satu yang memberikan andil akan perubahan tersebut…Bali dulu dan Bali sekarang kalau di bandingkan tentu tidak sebanding…. artinya kita tidak perlu membandingkannya tapi perlu mencermati perubahannya …sebagai orang Bali yang sudah mulai sadar akan keberadaanya kudu juga intropeksi dalam hal menghadapi perubahan ini tanpa harus mencari kambing hitam atau mencari kesalahan..karena bagaimanapun juga ..banyak orang Bali yang juga menikmati hasil yang baik dari perubahan ini…disamping banyak pula yang belum..Rwa Bhineda..memang tidak mungkin untuk memuaskan semua…just my IMHO Selamat Berlomba…!
@nak bali jani : kenyataan itu emang pahit, kenapa harus merasa terpojokkan oleh narasi ini ?
sebenarnya banyak hal yg ditutup-tutupi oleh penguasa bali (pemda prop-kab-kota) ttg betapa secara perlahan tapi pasti bali menuju kehancuran, baik secara sosial, budaya, religi dan ekonomi!
kalo mau cuman indah2nya soal bali, lbh mending onani !
diakui atau nggak, Bali memang kacau kalo dibanding sama dulu.
tapi bacaan diatas, menurut saya, seolah” Bali tuh udah nggak ada bagus”nya lagi..
padahal, pariwisata memang sektor yang paling banyak memberi pemasukan utk Bali kan? Memang seharusnya dipikirkan juga akibatnya. Jadi kita sbg masyarakat Bali jangan cuma menjudge Bali sudah buruk, buruk dan buruk. Tapi jg harus instrospeksi.
Lagipula nggak ada yg salah dgn mengikuti kmajuan teknologi, selama kita masih memegang teguh nilai” yg ada di Bali.
Pastilah selalu ada dampak utk sebuah perubahan. Yg baik dan buruk.
Rwa Bhineda…
begitu pemikiran saya.
-Selamat Lomba-
dan… rr… apakan hubungan keindahan bali dan onani?
kalo memang ada hal logis yg bisa menjelaskan antara bali dan onani!