Oleh Luh De Suriyani
Bak kompetisi sepak bola, gemuruh teriakan supporter memenuhi arena Parade Angklung Kebyar dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke 31 tahun ini di Wantilan Taman Budaya Arts Center, Senin.
Siang itu sangat terik. Wantilan yang berkapasitas sekitar 300 orang penuh sesak. Penonton telah meluap menjadi dua kali lipat. Sebagian penonton sampai memanjat tembok dan pohon-pohon sekitar panggung, satu jam sebelumnya. Banyak pengunjung penasaran, pertunjukan apakah yang akan pentas nanti.
“Pagelaran angklung saja kok sampai begini penuh,” keluh beberapa orang yang urung menonton karena yang terlihat hanya punggung-punggung orang yang berdiri sampai pintu masuk wantilan.
Angklung memang biasanya dikenal sebagai tabuh yang lembut dan pelan. Berbeda dengan gong kebyar yang memang cenderung cepat dan tiap dilombakan selalu penuh supporter.
Hari itu bertanding dua sekaa atau kelompok yakni Sekaa Angklung Eka Satya Dharma Kerti dari Kabupaten Karangasem dan Sekaa Angklung Giri Swaram Desa Sebunibus Nusa Penida, Kabupaten Klungkung.
Di belakang panggung, penonton lalu lalang di antara seniman yang sedang berganti pakaian, make up, dan melakukan briefing. Ruangan yang harusnya nyaman untuk seniman melakukan persiapan ini tak kalah pengap dengan di depan. Tak ada kipas angin, tak ayal puluhan penari dan penabuh sibuk mengipasi diri.
Barangkali semangat tinggilah yang mengenyahkan rasa lelah, panas, dan ketidaknyamanan. Karena mereka telah siap dengan pakaian tari yang penuh detail dan make up tebal itu dua jam sebelum waktu pertunjukkan.
I Nyoman Mertayasa, salah satu anggota Sekaa Giri Swaram mengatakan timnya membawa dua bus besar pendukung dari Nusa Penida. “Kami sudah tiba sehari sebelumnya. Kami tidur di Art Center ini,” katanya.
Sekaa ini menjalani perjalanan cukup melelahkan dan mahal karena harus menyeberang dari Pulau Nusa Penida untuk ke Denpasar, lokasi PKB.
Dua sekaa dan dua kelompok suporter fanatik ini siap tampil makasimal berkompetisi di arena PKB. Suatu hal yang menunjukkan PKB masih dipandang prestisius atau pemuas dahaga karena langkanya pertunjukkan berkesenian di Bali.
Ketika pembawa acara memperkenalkan dua partisipan parade, penonton di dua kubu peserta ini sudah saling berteriak membuat psywar. Situasi ini yang membuat makin banyak penonton datang, dan membuat wantilan ini over capacity.
Giliran pertama adalah tim Klungkung. Menampilkan Tabuh Kreasi Linggar Pelak. Bilah-bilah gamelan angklung dipukul dengan santai tapi bertenaga. Suara seruling menyelusup pelan, namun tak hilang oleh suara perangkat angklung lainnya. Tentu lebih nikmat terdengar jika teriakan suporter bisa ditahan.
Kemudian giliran tim Karangasem menunjukkan tabuh angklung kreasinya. Teriakan pendukungnya lebih keras lagi ditambah yel-yel.
Babak pertama adu tabuh usai, giliran adu tarian klasik dan kreasi. Klungkung mempersembahkan tari Oleg Tamulilingan dan tari kreasi Rare Kumara.
Rare Kumara berkisah tentang petualangan Kumara, anak Dewa Ciwa dan Dewi Uma yang dikutuk tidak bisa tumbuh dewasa. Kumara harus menghindar dari raksasa yang kerap memakan anak yang lahir pada penanggalan Tumpek Wayang.
Sementara Karangasem mendapat aplaus lebih meriah karena mementaskan tari kreasi berjudul Luh Nguntik. Artinya perempuan genit. Dibawakan enam remaja putri.
Busana penarinya kombinasi penari perut Timur Tengah dengan detail aksesoris khas busana tari Bali. Ada aksen penutup mulut transparan bak cadar dan topeng khas Bali.
Tak heran, dari busananya saja, pertunjukkan angklung menjadi tak biasa. Lebih bungah dan atraktif.
Menurut penata tari partisipan Karangasem, Ni Made Kinten, Luh Nguntik sangat kontekstual mengangkat gaya hidup remaja putri yang tampil menor dan gaul. “Tarian ini menceritakan dari seorang yang genit, bisa tumbuh kesadaran baru, seperti Mulat Sarira atau kembali ke jati diri,” ujarnya.
Salah satu penarinya, Ni Putu Diah Untariningsih, 15 tahun, tari kreasi membuatnya lebih bersemangat karena bebas menerjemahkan tema tarian. Sudah empat tahun berturut-turut ia mengisi PKB bersama tim kesenian daerahnya.
“Banyak yang ingin ikut menari di PKB. Karena pas liburan dan kita dapat tambahan penghasilan,” ujar Diah. Ia mengaku mempersiapkan pentas ini dengan serius karena berkompetisi dengan daerah lain.
Seperti juga semangat kedaerahan yang dibawa penonton dan suporter. Suatu atmosfer di PKB yang selalu menarik pengunjung datang tiap tahun. [b]
pasti nontonya hari senin tanggal 15 Juni 2009 yah…saya juga kesana mbok Luh, tapi ga nonton lomba angklungnya, rame banget jadi males kalo nonton pertunjukkan rame apalagi arena terbilang sempit, mendingan nonton Lomba Gong Kebyar…walau rame tapi luas arenanya…
Lomba angklung mirip sepakbola?
Sementara pertandingan sepakbolanya mirip pertandingan pencak silat..
dear agung,
u r correct! lapangan sepakbola skarang udah jadi arena silat-silatan dan adu tinju pemain, pelatih, official, dan wasit! seru juga. bolehlah sekali-kali nonton