Semakin sore semakin ramai sepanjang jalan di Loloan, Negara, Jembrana.
Para pedagang memajang aneka kuliner khas berbuka di bulan Ramadhan ini. Tak hanya Takjil, tenda-tenda ini juga menawarkan busana sejak pukul empat sore menjelang datangnya waktu berbuka.
Di sini, Base Loloan, sebutan untuk Bahasa Melayu Bali digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Kampung Loloan berjarak sekitar 90 kilometer dari kota Denpasar atau sekitar 25 kilometer dari Pelabuhan Gilimanuk. Sebagian besar penduduknya merupakan sebagai pedagang dan nelayan di Pengambengan.
Komunitas Islam di Loloan membawa warna dalam pergaulannya. Umat Hindu yang hidup berdampingan menyebut warga muslim di sini Nyama Loloan. Nyama berarti saudara. Di sini kosakata yang sering digunakan tidak jauh berbeda dengan bahasa Melayu lainnya, seperti Gia ne kabar kau atau apa kabar?
Bila berkunjung di bulan Ramadhan ini, jangan lewatkan mencicipi masakan khas Loloan, Pecel Ayam Kampung dan Kopyor. Keduanya sudah akrab dalam berbagai kegiatan. Kopyor selalu menjadi makanan pembuka yang keluar setiap setahun sekali.
“Tanpa kopyor ibarat makan tanpa sayuran,“ kata Iqbal yang menjajakan Takjil.
Tanah Loloan di Kabupeten Jembrana, Bali merupakan pemukiman umat Islam yang telah ada di Bali sejak lama. Karena eksistensinya ini, kampung ini menjadi wilayah umat Islam terbesar di Jembrana dan dikenal sebagai kampung kuno. Keberadaannya tidak terlepas dari pengaruh budaya Bugis dan Melayu yang dibawa beberapa tokoh di empat abad silam.
Seorang sesepuh umat Islam kelahiran Loloan 82 tahun lalu, Haji Achmad Damannuri menceritakan kembali perihal asal-usul keberadaan kampung ini. Keberadaan komunitas Islam di Desa Loloan ini bermula dari kedatangan orang-orang Bugis pada tahun 1653.
Pada waktu itu dalam sejarah kerajaan Sultan Hasanuddin ada Benteng Somba Opu di Makassar direbut oleh VOC. “Jadi laskarnya itu dikejar-kejar oleh Belanda akhirnya lari dan ketemulah muara sungai Ijo Gading,“ ungkapnya.
Para laskar yang menganut agama Islam ini kemudian berhenti di sebuah muara kampung Bali di wilayah Perancak. Bukti peninggalan ini bisa dilihat dari adanya Sumur Bajo pinggir pantai. Setelah berhenti sebentar di kampung Bali, orang-orang Bugis ini kemudian mencari pemukiman melalui sungai Ijo Gading.
Atas izin penguasa Jembrana, I Gusti Arya Pancoran, mereka diizinkan untuk menempati daerah Loloan. Saking akrabnya hubungan dengan penguasa dibuatlah kampung pertama kali di Loloan Barat dan Loloan Timur yang hidup berjejer bersama umat Hindu dari Merta Sari.
Dia menambahkan, kedatangan kedua umat Islam selanjutnya dibuktikan atas kedatangan seorang tokoh bernama Buyut Lebai pada tahun 1675. Buyut Lebai ini juga seorang ulama besar asal Sarawak, Malaysia.
Atas hubungan baik mereka dengan penguasa diperkenanlah untuk memperkenalkan ajaran agama melalui dakwah. Mereka inilah yang memberikan pengaruh kuat atas keberadaan bahasa Melayu di Loloan serta mengajarkan agama kepada orang Bugis menggunakan bahasa pengantar Malaysia.
Setelah kumpul antara Bugis dan Malaysia ini, dibangunlah Masjid Agung Baitul Qodim di Loloan Timur sebagai lambang kedatangan umat Muslim pertama kali. Adapun di wilayah Loloan Barat, terdapat pula Masjid Mujahidin yang usianya diperkirakan 200 tahun.
Di samping alat perang sudah diserahkan penguasa pada abad itu, kapal-kapal Bugis jenis Pinisi Lambo diubah statusnya menjadi perahu niaga antar pulau. Karena banyak pendatang tidak punya modal, maka umat Hindu saat itu membantu permodalan untuk menjalankan perdagangan.
“Sebenarnya kesatuan hubungan Islam dengan Hindu itu sudah ada sejak 4 abad lalu,“ terang Damannuri.
Kini, Masjid Agung Baitul Qodim menyimpan prasasti dari ukiran tangan yang berhubungan erat dengan datangnya rombongan ketiga yakni datangnya Syarif Abdullah atau Syarif Tua bersama anak buahnya yang keturunan Bugis (Melayu) serta orang Trengganu. Selain itu di Loloan Timur terdapat sebuah Benteng Fatimah sesuai nama istri Syarif Abdullah yang juga merupakan Putri Sultan Banjarmasin.
Untuk mengenang jasanya, nama Syarif Tua pun kini dipakai sebagai nama sebuah jembatan sungai Ijo Gading yang menghubungkan dua wilayah Loloan Barat dan Lolan Timur.
Damannuri memandang adat dan istiadat di Loloan perlahan mulai luntur mengalami perubahan. Bentuk rumah panggung khas Bugis pun telah banyak mengalami perubahan dari generasi ke generasi. Sementara beberapa ritual masih menggunakan tradisi khas Bugis seperti terlihat pada upacara perkawinan, kelahiran Nabi Muhammad dengan dekorasi lama, serta khitanan yang masih melambangkan orang tradisi Bugis.
Damannuri mengakui, bahasa Melayu dianggap cukup kuat bertahan sekian abad. Kini bahasa Melayu perlahan kian luntur atas pengaruh dari bahasa Bali. Misalnya dalam contoh kalimat Gedeg le awak sama kau. Artinya, aku marah denganmu. Gedeg sendiri artinya marah dalam bahasa Bali.
“Bahasa Melayu di sini pernah diteliti oleh ahli, mereka merekam masing-masing rumah tangga, dan dibawanya ke Jakarta. Hasilnya sudah banyak bahasa Bali yang masuk,“ kata Damannuri. [b]