Oleh Luh De Suriyani
Manteb, Manajer Hotel Wito, sebuah hotel melati di Denpasar kini ketar-ketir setelah peristiwa terputusnya aliran listrik tiba-tiba di Bali, Minggu malam pekan lalu. “Saya takut pemadaman listrik mendadak dan lama itu terjadi lagi. Padahal pas ada group meeting seperti Minggu itu dan tamu saya komplain. Ini berpengaruh sekali dengan bisnis,” ujarnya.
Minggu itu, Hotel Wito dengan 24 kamar di Jalan Kepundung Denpasar ini penuh dengan rombongan tamu dari Semarang. Jelang makan malam, aliran listrik tiba-tiba terputus. Seluruh lorong hotelnya gelap, sejumlah tamu yang berada di kamar keluar.
Maklum, AC dan kipas angin mati, situasi kamar jadi pengap. Sementara Hotel Wito tidak punya genset. Situasi ini berlangsung sampai sekitar dua jam. “Aduh, saya malu. Pas ramai dan tamu komplain. Listrik kan hal vital di hotel,” katanya. Apalagi, pemutusan listrik itu tanpa pemberitahuan sama sekali dari PLN.
Walau demikian, ia belum berani membeli alat pembangkit listrik sendiri karena harganya mahal dan belum feasible dengan operasional hotel.
“Pemadaman listrik cukup sering terjadi tiba-tiba, namun tak terlalu lama. Sering tanpa pemberitahuan. Kami hotel melati dan berbintang kecil kan selalu dinomorduakan,” keluhnya.
Manteb mengaku beberapa kali komplain langsung ke PLN, khususnya ketika tamu sedang melakukan meeting yang membutuhkan perangkat pengeras suara dan koneksi komputer.
Tak hanya line telepon konsumen PLN yang sibuk ketika terjadi pemadaman listrik, keluhan warga juga masuk ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Daerah Bali.
“Pada hari itu, telepon disini bunyi terus. Itu pemadaman yang mengejutkan dan lama,” kata I Njoman Suwidjana, Ketua YLKI Bali.
Hal itu, kata Suwidjana telah diperkirakan sebelumnya. PT. PLN Distsribusi Bali menurutnya harus menambah daya atau jumlah pembangkit listriknya di Bali.
Ia mengatakan listrik adalah komponen vital bagi industri perhotelan di Bali, tak heran pemutusan listrik hampir di seluruh Bali dan dalam waktu lama sangat berpengaruh. “Dengan kondisi sekarang, kami tidak yakin dengan kestabilan pasokan listrik,” kata Suwidjana yang juga pemilik hotel Puri Kelapa di Sanur ini.
“Saya sering dibilang pro PLN karena mendukung penambahan daya. Ini realistis karena cadangan listrik Bali kecil dan sangat tergantung kabel laut dari Jawa,” ujar Suwidjana yang menjadi ketua sejak 1999, ketika YLKI Bali didirikan.
Menurutnya Bali harus mandiri dalam pasokan listrik. Sayangnya, sejumlah proyek pembangkit listrik baru menuai konflik. Misalnya PLTU Pemaron di Kabupaten Buleleng ketika dibangun. Saat ini, PLTU ini sudah menghasilkan 80 megawatt.
Terakhir, rencana pembangkit listrik geothermal di kawasan wisata Bedugul, perbatasan Tabanan-Buleleng. Proyek ini ditentang warga dan aktivis lingkungan karena dinilai dapat merusak kawasan suci dan hutan. Pemerintah Bali pun akhirnya secara resmi menolak proyek ini.
“Masyarakat cenderung resisten dengan rencana proyek pembangkit listrik di Bali karena peristiwa itu. Ini memang dilematis,” ujar Suwidjana.
Ia mengusulkan PLN Bali membangun proyek di lahan non produktif seperti lahan kering di Kabupaten Karangasem atau di areal tempat pembuangan sampah akhir Suwung, Denpasar.
Untuk itu ia harap PLN segera melakukan audiensi yang lebih serius pada Gubernur dan DPRD Bali.
Selain pasokan daya, ia mengkritik monopoli PLN yang bergerak atas dasar kekuasaan dengan memanfaatkan kelemahan konsumen. “Konsumen listrik masih lemah karena sistem pembayaran listrik online bank yang tersebar saat ini,” ujarnya.
Konsumen harus membayar lebih banyak sekitar Rp 1600 karena dibebankan biaya pemungut dan biaya bank. Desentralisasi pemungutan biaya listrik, membuat konsumen membayar lebih banyak. Mestinya, beban ini menurut Suwidjana ditanggung PLN.
Hingga kini, pihaknya belum berencana melakukan class action ke PLN. “Kalau class action, basis hukum acaranya belum kuat di Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Kepala Humas PT PLN Distribusi Bali mengatakan belum ada konsumen yang meminta kompensasi karena kerugian pemutusan listrik Minggu lalu.
“Kami mengikuti aturan UU Perlindungan Konsumen. Listrik kan tidak sampai mati 24 jam,” ujar Mastika. [b]
yah si bapak mastika lucu bener ngelesnya… kalo listrik sampai padam 24 jam di seluruh bali, udah dipecat kale kepala PLN nya… ck..ck..ck…
begini ya bapak, biar kata cuman mati 1 jam ya pak, kalo kasusnya kaya hotel wito diatas… ya dampaknya gede banget pak…kenapa konsumen ga ada yang minta kompensassi, soalnya di masyarakat udah terbentuk mind set kalo urusan2 nuntut kompensasi kaya gini bakal paaaaaaaaaanjang dan laaaaaaaama.
Paling tidak seharusnya PLN bikin pemberitahuan lah sebelumnya ke pengusaha2 area yang listriknya bakal padam, jadi si pengusaha bisa siap siap….
Semua keluh kesah yang diungkapkan, terjadi karena sifat indolentia para pemimpin bangsa kita. Semuanya akibat infrastruktur yang ambruladul.
Semua masalah yang bersangkutan dengan ciptaan manusia dapat diatasi dan dihindari oleh manusia, kalau memang ada kemauan dan kesungguhan hati.
Soal pasokan listrik di Indonesia, khususnya dipulau Bali, dapat diatasi dengan membangun alat pembangkit listrik tenaga angin, windgenerator. Demikian pula membangun alat pembangkit listrik tenaga matahari.
Apagunanya kita disekolah rakyat diajari ilmu bumi, tentang angin passat, angin monsun, angin laut, angin darat dan katulistiwa, kalau kita tidak dapat memanfaatkan pengetahuan itu untuk kesejahteraan kita bersama. Soal biaya bukan masalah, sebab Indonesia adalah negara yang sangat kaya. Lacurnya kekayaan negara diprioritaskan bukan demi kepentingan rakyat, melainkan demi penguasa dan konglomerat.
Masalah yang akan muncul adalah masalah budaya, egoisme, kemauan dan kesungguhan hati, sebab kicir angin raksasa bentuknya sangat jelek dipandang mata. Namunpun demikian kicir2 raksasa tersebut sudah dibangun secara massal dinegeri Belanda dan negeri2 barat.
Pasokan listrik dinegeri yang maju jarang putus, kecuali ada bencana alam, atau penggalian kabel listrik. Semuanya diatur dengan jaringan komputerisasi yang canggih.
Saya maklum negeri kita sering dilanda kasus politik, dijajah Belanda dan Jepang, bahkan tahun 1958 dipulau Dewata masih ada gerombolan PRRI yang berhasil ditumpas oleh mobrig.
Dahulu, orang2 Bali yang sudah tua, termasuk saya, tidak pernah merasa pengap atau kepanasan, sebab arsitektur rumah kita dibangun sesuai dengan iklim didaerah katulistiwa. Contohnya Bali Hotel yang dibangun oleh Belanda. Semuanya terbuka, karena dulu di Bali memang tidak ada maling. Denpasar penuh dengan tebe dan dikelilingi oleh sawah yang subur, tanpa pupuk kimia dan pesticida.
Ketika ada bencana Tsunami di Aceh, langsung pikiran saya melayang kepulau Bali. Saya kagum akan kebijakan nenek moyang kita, yang melarang anak cucu-nya membangun perkampungan dekat pesisir pantai. Waktu saya masih kanak2, tidak ada desa, diseluruh pulau Bali, yang langsung terletak dipesisir pantai. Sanur, Benoa, Kute dulu kosong melompong. Jika terjadi sesuatu dikelak hari, semuanya adalah salah penguasa yang indolenz.
Bencana alam tidak dapat dihindari, tetapi akibatnya dapat dicegah atau setidaknya diminimalisir.
Saya sudah putus asa melihat keadaan negeri kita. Politisi hanya sibuk jual tampang dan umbar janji kosong.
Saya ada usul, kebijakan hari tanpa motor/kegiatan jangan hanya pas nyepi aja kalau di Bali. Pemprop Bali kalau bisa meniru pola yang dilakukan di Jakarta misal, car free day untuk wilayah-wilayah tertentu di denpasar. Dan ini hanya bisa dilakukan pas hari minggu saja. Just an idea
itu bukan pemadaman tapi karena gangguan
Belajar dari kejandian ini, alangkah baiknya Usulan tentang dibangunnya proyek pembangkit listrik segera dilaksanakan, mengambil lokasi yang non produktif seperti yang disebutkan diatas. Misalkan saja Karangasem, Negara atau daerah-daerah yang kemungkinan besar dapat meminimalisasi kontra dari kalangan masyarakat…
Tapi mati listrik enak juga lho! Suasana jadi sunyi. Ndak ada suara tivi, radio, dan nyala komputer. Seminggu sekali listrik dipadamkan gpplah. Minimal 4 jam di malam hari antara jam 6 sampai jam 10. Kan asyik tuh!!
sebaiknya, pertama bali harus mengurangi dulu konsumsi listrik terutama di bali selatan. Kedua, setuju dengan um pande, buat PLT di daerah kurang produktif. Potensi Bali bisa dengan gelombang laut atau uap. Jgn geothermal
saya tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Suwidjana. Emh.. saya merasa itu ngalor ngidul (maaf) atau karena saya aja yang kurang pandai mencernanya.
soal lain:
misalnya sekarang bali butuh pasokan 10x megawat. 2 tahun lagi butuh 30x megawatt. 10 tahun lagi butuh berapa megawatt lagi. 50 tahun? daerah kurang produktif mana lagi yang dipake?
menarik usulnya bli pushandaka, saya setuju tuh.
kalo nunggu pembangkit listrik alternatif dan ramah lingkungan, 20 tahun lagi gak bakal ada. Mending usulnya bli pushandaka, lebih kongkret 😀 😀
Kami konsultan dan kontraktor onsite power generation skala kecil. Kalau ada kebutuhan akan adanya suplai listrik yg handal kami bisa membantu. Pembangkit listrik dari kami di desain untuk bisa menghasilkan listrik dan pemanas atau pendingin dari satu bahan bakar (gas atau diesel) http://www.smitchp.com
Wahh… PLN nih gimana yaa…?